Sebelum Bernasib Seperti Sri Lanka, Kembalilah pada Islam


TintaSiyasi.com -- Hal ini harus dijadikan cambuk, pasalnya Sri Lanka bisa krisis begini karena sistem kapitalis ribawi. Ribawi telah berhasil membuat Sri Lanka bertekuk lutut tanpa senjata apa pun. Bisa disebut, kapitalisme ribawi adalah senjata terampuh melumpuhkan sebuah negara. Bayangkan, banyaknya pasukan militer, canggihnya teknologi yang dimiliki tak mampu menolong negara ini gara-gara sudah dilumpuhkan dengan utang ribawi. 

Sudah tahu begini, masih berenang-renang di kubangan ribawi. Bukannya malah bahagia, tenggelam kehabisan nafas bisa jadi. Karena sifat utang ribawi, makin banyak makin tercekik. Jika pelaku utang ribawi adalah negara, maka siapa yang akan membayarnya? Tengok ke Sri Lanka, pemerintah tak mampu berbuat apa-apa. Rakyat pun makin menderita dan cara berpikir kapitalisme hanya mengharapkan ada suntikan dana ke negaranya. Alias minta tolong ke dunia agar mau memberinya utang kembali. Bukan meminta obat, justru suntikan dana utangan akan memperburuk keadaan.
 
Hingga saat ini, Sri Lanka masih jadi buah bibir hari ini. Pasalnya, krisis yang menimpanya makin parah, para pejabat tak bisa berbuat apa-apa. Karena sudah buntu terkait utang yang menjeratnya. Dikonfirmasi dari finance.detik.com (12/7/2022), Aksi protes pun muncul sebagai buntut dari krisis Sri Lanka. Hal itu pun membuat Presiden Gotabaya Rajapaksa bakal mengundurkan diri dari jabatannya pada 13 Juli mendatang. Utang juga jadi persoalan yang dihadapi Indonesia. Posisi utang pemerintah Indonesia per Mei 2022 mencapai Rp 7.002 triliun atau 38,88 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Hal ini menjadi alarm Indonesia yang masih dicengkeram utang luar negeri dan pastinya utang ini akan makin berbunga. Karena tidak ada satu pun lembaga keuangan di dunia ini yang meminjamkan uangnya tanpa ribawi. Sekalipun ada pengamat yang mengatakan, Indonesia masih 'jauh' dari yang dihadapi Sri Lanka, tetapi ini tidak boleh diabaikan. 

Karena Indonesia sudah pernah masuk krisis moneter ketika kepemimpinan Soeharto. Pergantian pemimpin pun tak mampu membuat utang tuntas, justru makin ke sini makin bertambah utangnya. Dikutip dari bi.go.id (15/6/2022), Posisi ULN Indonesia pada akhir April 2022 tercatat sebesar 409,5 miliar dolar AS, turun dibandingkan dengan posisi ULN pada bulan sebelumnya sebesar 412,1 miliar dolar AS. Utang ini pun yang bisa menjadi pembunuh berdarah dingin.

Solusi

Bahas soal utang memang mencekam, tetapi jika ingin terbebas dari penindasan berkedok utang ribawi harus berani mengambil langkah mendasar dan strategis. Sebagai seorang Muslim, solusinya adalah dengan kembali pada sistem Islam. Sistem Islam diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Dalam Islam utang tetaplah utang, tetapi yang dibayar hanya pokoknya saja, haram sebuah negara Islam ikut membayar ribanya. Di sini sebuah negara perlu keberanian untuk berdikari di bawah kaki sendiri, teguh menerapkan sistem Islam dalam bingkai khilafah. 

Sekalipun Barat dan sekutunya sedang mati-matian mengkriminalisasi khilafah, tak sepatutnya umat Islam terbawa propaganda busuk mereka. Khilafah ajaran Islam harus dikaji dan dihakimi bagaimana hukum Islam memandang, bukan menghakimi khilafah dengan narasi sumbing para pembenci Islam. Kebencian mereka pada Islam memang sudah sampai ke ubun-ubun, tetapi perjuangan kita menyampaikan kebenaran ajaran Islam harus senantiasa berkobar. Tak ada kebaikan selain Islam, tak perbaikan selain dengan dakwah fil Islam.

Maka, untuk menjadikan ekonomi negara kuat hanyalah dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiah. Selain khilafah hanya membayar pokok utang, sistem khilafah yang akan menghentikan kapitalisasi sumber daya alam dan perampokan aset negara yang sudah dilakukan secara sistematis oleh kapitalisme sekuler. Karena dalam Islam dilarang menyerahkan konsensi SDA kepada kapitalis. Segala SDA dikelola negara dan dikembalikan lagi pada rakyatnya. 

Wajib

Dalam kitab fikih Islam pertama di Indonesia karya ulama besar Sulaiman Rasyid telah jelas disebutkan bahwa khilafah adalah persoalan politik dan ketatanegaraan. Bahkan beliau membahasnya dalam satu bab khusus: “Kitab Al-Khilafah”. Kitab ini telah menjadi rujukan wajib di perguruan tinggi dan menengah di Indonesia serta Malaysia sampai sekarang.

“Al-Khilafah ialah suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam, sebagaimana yang dibawa dan dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini di jalankan semasa beliau hidup dan kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar Bin Khaththab, Utsman Bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Kepala negaranya adalah Khalifah.” (Sulaiman Rasyid, 1951: 494)

Sejarah tidak terbantahkam telah menuliskan khilafah dengan kegemilangannya. Sehingga tidak mungkin lagi bernarasi menegasikan khilafah syariat Allah.

Mengenai khilafah tidak boleh diambil substansinya saja atau prinsipnya saja. Karena lebih dari itu tata cara dan definisinya harus jelas sesuai dengan syariat.

Sistem khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang mampu bahkan pernah memimpin dunia selama 13 abad lamanya. Hubungan yang harmonis antara rakyat dan penguasa hanya akan ditemui dalam sejarah kekhilafahan.

Perpaduan tingginya iman dan taqwa telah menjadi motor penggerak para penguasa dalam mengurusi urusan umat. Hal demikian karena para pejabat yang lahir di sistem ini adalah sosok yang memahami Islam dengan benar. Menjadikan Alquran sebagai standar dalam membuat kebijakan.

Sistem khilafah adalah syariat Allah Subhanahu Wa Ta'ala di mana Allah yang maha tahu telah membuat sebuah sistem yang sesuai dengan fitrah manusia. Berbeda dengan sistem demokrasi yang terbatas. Karena hukum bersumber dari akal manusia yang lemah. Bahkan berbeda-beda keinginan akal manusia yang satu dengan lainnya.

Sistem Khilafah menjadikan rakyat sebagai tuan dan penguasa sebagai pelayan. Sumber daya alam adalah milik rakyat. Pengelolaannya diserahkan pada penguasa untuk kemaslahatan umat. Penguasa tidak punya hak untuk menjual sumber daya alam pada pengusaha swasta apalagi asing seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi.

Wajar, di negeri demokrasi, rakyat hanya bisa mengemis sisa-sisa kerakusan para kapitalis yang berkolaborasi dengan penguasa. Mereka telah menjadi komprador-komprador yang siap menghisap kehidupan rakyatnya.

Hari ini sistem khilafah sedang di monsterisasi. Padahal hanya sistem khilafah yang memiliki sistem kuat dan tepat untuk menopang sebuah negara berdaulat . Bahkan diyakini sistem khilafahlah satu-satunya harapan umat agar bisa keluar dari masalah yang membelenggu dunia. Menggantikan kapitalisme yang bobrok. Dan menyelamatkan manusia dari kerakusan para kapital.

Maka wajar jika para penjajah berkedok investasi takkan rela jika sistem khilafah menaungi sebuah negeri. Mereka akan melakukan segala daya dan upaya untuk menyingkirkan ide khilafah. Menciptakan narasi sesat dengan mengatakan khilafah adalah ancaman keutuhan Indonesia. Memaksakan kata khilafahisme itu ada padahal mengada ada dan dituduh bertentangan dengan pancasila.Mereka juga tak segan mengkriminalisasi organisasi dan para pengembannya. 

Dalil Khilafah

Syariat telah dengan jelas dan gamblang mendefinisikan khilafah. Para ulama terdahulu bahkan 5 Imam mazhab telah sepakat akan kewajiban menegakkan khilafah. Bahkan jumhur ulama menjadikan khilafah sebagai mahkota kewajiban.

Imam Ghazali berkata, ”Khilafah adalah mahkota kewajiban.” Disebut mahkota, karena tempatnya di atas. Ia adalah fardhu kifayah tertinggi umat Islam.

Seluruh kewajiban kita sebagai seorang Muslim tidak akan bisa terpenuhi tanpa adanya khilafah. Karena khilafah adalah pelaksana seluruh hukum Islam, merupakan penjamin kesejahteraan umat manusia, serta sebagai wadah pemersatu umat Islam seluruh dunia.

Para ulama telah menjelaskan dalil-dalil kewajiban khilafah, baik dari Al-Qur'an, Al-Hadits, ijmak sahabat maupun qaidah syar'iyyah. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa Keseluruhan dalil-dalil syariah merujuk pada ragam ungkapan yang tercantum dalam Al-Kitab (Al-Quran), As-Sunnah (al-Hadis), Ijmak & Istinbat (Qiyas).’  (Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, 2/273).

Dalil Al-Qur'an antara lain ayat-ayat yang mewajibkan penguasa untuk berhukum dengan apa saja yang telah Allah turunkan (QS. Al Maidah: 48, 49). Juga ayat-ayat hukum yang pelaksanaannya dibebankan kepada khalifah sebagai kepala negara khilafah, seperti qishash bagi pembunuh (QS. Al-Baqarah: 178), hukum potong tangan bagi pencuri (QS. Al-Maidah: 38), hukum cambuk bagi pezina bukan muhshan (QS. An-Nuur: 2), dan sebagainya.

Allah SWT berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اَطِيْـعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْـعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْ ۚ  فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْـتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَـوْمِ الْاٰخِرِ  ۗ  ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 59)

Adapun dari dalil As-Sunnah, Rasulullah saw., bersabda "Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.’ (HR Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib. (Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).

Rasulullah SAW, menegaskan, "Jika dibaiat dua orang khalifah, maka perangilah yang terakhir dari keduanya.’ (HR Muslim).

Berkaitan hadis tersebut, Imam an-Nawawi menerangkan, "Jika dibaiat seorang khalifah setelah khalifah (sebelumnya), maka baiat untuk khalifah pertama sah sehingga wajib dipenuhi, sementara baiat untuk ‘khalifah’ kedua batal sehingga haram dipenuhi. Inilah pendapat yang benar menurut jumhur ulama.’ (An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahîh Muslim, 12/231).

Berdasarkan kesepakatan para imam madzhab

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menegaskan, ‘Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, 12/205).

Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menegaskan bahwa Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib’. (Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, 5/416).


Oleh: Nabila Zidane (Analis Mutiara Umat Institute) dan Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute)

Posting Komentar

0 Komentar