Membangun Akuntabilitas Organisasi Nirlaba


TintaSiyasi.com -- Belum lama, majalah tempo menyoroti isu penyelewengan dana di salah satu lembaga filantropi. Judul edisi juli 2022 tersebut adalah Kantong Bocor Dana Umat, dengan fokus dugaan penyelewengan pendiri dan pengelola Aksi Cepat Tanggap (ACT) terhadap donasi masyarakat pada lembaga tersebut. 

Salah satu bagian menyebutkan, Ahyudin selaku pendiri dan mantan Presiden ACT mendapatkan kemewahan berupa gaji sebesar Rp250 juta per bulan dan secara leluasa memanfaatkan dana organisasi untuk membayar uang muka rumah dan membeli furnitur untuk istrinya. 

Fasilitas serupa diterima oleh pimpinan lain, misalkan senior vice president menerima gaji Rp200 juta, vice president dibayar Rp80 juta dan direktur eksekutif mendapat Rp50 juta. Selain itu para pimpinan tersebut juga mendapatkan kendaraan dinas mewah seperti Toyota Alphard, Honda CR-V, dan Mitsubishi Pajero Sport. Dibanding filantropi lain, fasilitas tersebut sengat jauh berbeda.

Di bagian lain, majalah tersebut menyoroti aspek tata kelola, transparansi, model campaign besaran potongan donasi, dan kisruh internal dengan mengangkat beberapa kasus di berbagai tempat dan program yang dijalankan. 

Meskipun mendapat opini wajar tanpa pengecualian pada laporan keuangan yang diterbitkan tahun 2019 oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Razikun Tarkosunaryo, fenomena buruknya tata kelola internal dan bangunan akuntabilitas pada ACT tampaknya masih rapuh. Hal yang sama bisa saja terjadi di berbagai lembaga nirlaba lain yang bergerak secara luas di berbagai bidang di sektor publik.

Tulisan ini mencoba memberikan salah satu perspektif dalam karut masalah tersebut ditinjau dari aspek akuntabilitas organisasi.

Pentingnya Akuntabilitas

Mengutip Ramanna (2013), akuntabilitas merupakan suatu bentuk tanggung jawab suatu entitas yang diberikan kepercayaan untuk mengelola pekerjaan serta menjelaskan bagaimana pencapaian dari pekerjaan tersebut. Sebagai salah satu istilah yang digunakan cukup luas di bidang sosial dan politik, terdapat ragam perspektif sudut pandang akuntabilitas. 

Bovens (2007) membagi akuntabilitas menjadi dua spektrum yaitu sebagai konsep ideal (virtue) dan sebagai suatu mekanisme. Pendekatan pertama, akuntabilitas digunakan sebagai konsep normatif yang menjadi standar untuk mengevaluasi perilaku publik, termasuk penilaian kualitatif pada suatu organisasi tertentu. 

Pada pendekatan kedua, akuntabilitas digunakan sebagai suatu mekanisme tertentu dimana pihak yang diberikan pengelolaan harus dapat mempertanggungjelaskan kinerjanya pada suatu forum. Forum yang dimaksud disini adalah para pihak berkepentingan terhadap pelaksanaan tanggung jawab tersebut.

Secara teknis dalam pendekatan mekanistik tersebut, organisasi nirlaba dihadapkan pada dua pihak yaitu pemberi mandat dan penerima manfaat (beneficiaries) yang tergabung dalam suatu forum. Seberapa besar rumusan pertanggungjelasan organisasi terhadap kedua pihak tersebut yang mampu memastikan tercapainya tugas utama program, semakin besar tingkat akuntabilitas yang dicapai.

Di sektor bisnis, banyak perusahaan telah menggunakan akuntabilitas ini sebagai parameter kinerja dengan baik. Hanya saja, mekanisme akuntabilitas tersebut lebih mudah dikenali dan diukur, karena salah satu goal utama bisnis adalah mendapatkan keuntungan dan meningkatkan kekayaan pemilik. 

Di sektor publik, organisasi nirlaba menghadapi tantangan yang berbeda. Selain keberadaan organisasi bukan untuk memakmurkan pemilik, capaian kinerja seringkali tidak mudah diukur karena terkait parameter sosial dan kualitatif.

Merujuk pada laporan majalah tempo tersebut, ACT tidak sepenuhnya membangun akuntabillitas ini dengan baik. Di beberapa bagian disebutkan bahwa pihak penerima manfaat tidak mendapatkan informasi berapa besar seharusnya bagian yang mereka terima dari program donasi tersebut. 

Di sisi lain, pihak donatur tidak mendapatkan informasi sejauh mana suatu program telah dilaksanakan. Kalaupun ada, sebagian hanya menunjukkan bahwa program telah berjalan dan dokumentasi foto telah ditampilkan. 

Tidak jelas parameter keberhasilan dan ukuran pertanggungjelasan pada satu program tertentu, termasuk kinerja entitas secara menyeluruh. Aspek tata kelola organisasi juga perlu diperbaiki. Salah satunya adalah pertanggungjelasan pengelola kepada para relawan (volunteer) dan parameter kinerja organisasi. 

Pengelolaan keuangan tidak dijalankan dengan disiplin. Dana di satu program dapat digunakan untuk ‘menambal’ kekurangan pada program lain. Dari laporan tersebut, ACT juga masih berhutang karena dana pada satu program digunakan untuk kepentingan lain sehingga belum tercapai target program tersebut. 

Belum lagi kesesuaian target atau rencana program dengan realisasi di lapangan pada beberapa kasus yang diungkapkan. Selain itu, dana organisasi juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pimpinan. Buruknya pengelolaan keuangan seperti ini mengingatkan kita pada beragam kasus lain yang memanfaatkan pengumpulan dana dari umat. 

Menguatkan Kesadaran Publik

Pada prinsipnya, negara telah menjamin kebebasan individu untuk berserikat dan berkumpul. Secara teknis, terdapat peraturan terkait beberapa jenis organisasi nirlaba misalnya bentuk yayasan, Badan Hukum Perkumpulan (BHP) dan Ormas. Hanya saja, secara kelembagaan terdapat juga organisasi nirlaba yang tidak mencatatkan dirinya secara resmi (tidak berbadan hukum). 

Kesemua entitas publik tersebut dijamin oleh Undang-undang. Di sisi lain, pemerintah tidak mungkin mengatur semua jenis entitas sosial dan publik tersebut. Pada perkembangannya, bentuk organisasi nirlaba dan berorientasi laba seringkali juga beririsan dalam sektor publik, sebagaimana yang kini juga banyak ditemui di entitas pemerintah. 

Oleh karena itu penting menguatkan kesadara publik terhadap pengelolaan organisasi nirlaba. Hal ini karena tidak mungkin pemerintah mampu menjangkau pendirian hingga operasional beragam organisasi nirlaba tersebut. Penguatan kesadaran publik akan mampu mengendalikan dan memantau organisasi tersebut, mulai dari legitimasi pendirian hingga operasional harian. 

Para donatur harus sadar dan berhak tahu dan mendapat pertanggungjelasan dari lembaga terkait donasi yang diberikan. Begitu juga dengan para penerima manfaat, para relawan, serta masyarakat luas.

Kesadaran publik merupakan penopang utama berjalannya akuntabilitas organisasi nirlaba. Keberadaan mereka pada hakikatnya akan berjalan ketika mendapat legitimasi publik, meskipun belum tentu mendapat legalitas (berbadan hukum). 

Audit laporan keuangan hanya menjangkau kesesuaian laporan dengan standar akuntansi yang berlaku. Di sisi lain, ragam bidang yang digarap oleh organisasi nirlaba sangat luas dengan berbagai isu sosial, politik, kemanusiaan, lingkungan, dan seterusnya. 

Kepercayaan (trust) harus dibangun atas dasar kesadaran, bukan sekedar sentimen atas pendiri atau bidang sosial yang digarap tetapi juga tata kelola organisasi yang dibangun.

Wallahu A'lam 

Semoga Bermanfaat.





Oleh: Ihda Arifin, S.E., M.Sc., CMA., CIBA., CHRA.

Dosen UGM, Penulis Buku Akuntabilitas Organisasi Nirlaba, dan Founder @rumahsyariaginstitute

Posting Komentar

0 Komentar