Istidraj: Tidak Sadar Dampaknya, Malah Teperdaya


TintaSiyasi.com -- Perbuatan yang melanggar syariat Allah Subhanahuwa wata'ala, perbuatan dosa, buruk, dan tercela adalah definisi maksiat. Terkadang manusia lupa akan hakikat hidupnya, tidak menyadari akibatnya, tetapi justru teperdaya dengan kenikmatan semu sesaat. Begitulah gambaran mereka yang terjebak larut dalam kemaksiatan.

Padahal, hidup di dunia hanyalah ujian dan semua perbuatan akan menemukan balasannya. Dan balasan bagi orang yang berbuat taat maupun maksiat adalah pasti.

وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُۥ

Artinya: “Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”
(QS Al Zalzalah: 8)

Apabila manusia memahami hal itu, tentunya ia akan berhati-hati dalam setiap tindak tanduknya di dunia. Senantiasa berusaha meredam hawa nafsunya dan tidak mudah tergoda dengan bujuk rayu setan. Karena pada faktanya, manusia senantiasa digoda setan dari berbagai arah. Tak tertinggal dari situ manusia juga diamanahi hawa nafsu, agar senantiasa taat pada syariat. 

Melihat fakta yang bersemai kini, manusia sering diperbudak hawa nafsunya. Bukan akal yang menuntun hawa nafsu ke jalan hidayah Islam, justru malah akal dikalahkan oleh bisikan setan dan nafsu yang tak terkontrol. Bahkan, para pelaku maksiat tampak segar bugar, berumur panjang dan mempunyai harta yang banyak. Mereka sedang salah mengira bahwa dirinya tidak dihukum. Padahal ketidaksadaran mereka bahwa mereka tengah dihukum itu adalah hukuman dari Allah. Akhirnya merekapun bermaksiat lagi, lagi, dan lagi.

Para ulama menyebutnya istidraj yaitu kesenangan dan kenikmatan yang diberikan Allah ta’ala kepada orang-orang yang jauh dari-Nya atau suka bermaksiat. Dalam pengertian lain istidraj merupakan nikmat yang hakikatnya adalah hukuman dari Allah.

فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS Al-An’am: 44)

Ibnu al-Qayyim rahimahullah meringkas akibat maksiat dalam bukunya yang berjudul “Al-Fawaid” di antara efek maksiat ialah pelakunya tidak banyak mendapatkan hidayah, pikirannya kacau, ia tidak bisa melihat kebenaran dengan jelas, batinnya rusak, daya ingat yang lemah, waktunya hilang sia-sia, dibenci manusia, hubungannya dengan Allah renggang, doanya tidak dikabulkan, hatinya keras, keberkahan dalam rezeki dan umurnya pun musnah, diharamkan mendapatkan ilmu, hina dan dihinakan musuh, dadanya sesak, diuji dengan teman-teman jahat yang merusak hati dan menyia-nyiakan waktu, cemas berkepanjangan, sumber rezekinya seret, dan hatinya pun tergoncang.

Hilang rasa takutnya kepada Allah hingga mereka lupa diri dan terus terlena dalam kemaksiatan alias mati rasa. Tanpa sadar mereka sedang menunggu datangnya azab Allah yang pedih.

Bagi orang yang berakal seharusnya berbagai kegelisahan di atas dapat menjadi alarm buat mereka supaya bertobat menyudahi segala bentuk kemaksiatan. Namun, apa daya mereka cenderung menuruti hawa nafsunya hingga penderitaan hidup di dunia dan akhirat pasti didapatkannya.

Mawas Diri

Sejatinya, menjadi hamba yang senantiasa ingat kepada Allah Subhanahuwa wata'ala adalah keselamatan. Keselamatan di dunia dan akhirat. Berzikir kepada Allah Subhanahuwa wata'ala ada tiga macam, dengan lisan, mengingat dengan hati, dan mengingat dengan perbuatan. Mengingat Allah Subhanahuwa wata'ala mengantarkan kepada ketaatan, sehingga manusia mampu mawas diri dalam mengarungi samudra kehidupannya. 

"Dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." (TQS. Jumu'ah [62]: 10)

Dalam hadis Muslim telah diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam berjalan di jalan Makkah, kemudian Beliau melewati gunung Jamdan. Maka Rasulullah bersabda, "Berjalanlah, ini adalah gunung Jamdan. Dahulu di sini terdapat kaum Mufarridun." Para sahabat berkata, "Apa itu kaum Mufarridun Ya Rasulullah?" Rasulullah bersabda, "Orang-orang yang banyak berzikir kepada Allah." 

Hanya dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang. Sebaliknya, kegelisahan terkadang hadir karena hati lupa dan terjebak dalam kemaksiatan. Maka dari itu, memiliki hati yang peka itu penting, agar senantiasa mawas diri. Kepekaan hati dipupuk dengan banyak-banyak berzikir.

Selemah apa pun manusia, ketika sudah diteguhkan hatinya hanya pada iman Islam, ia akan tegar dan kuat menghadapi berbagai ujian hidupnya. Tak mudah tergoda dengan kenikmatan dunia yang semu dan tak mudah terperosok ke jurang kenistaan.

Berikut doa yang hendaknya dipanjatkan agar memiliki ketetapan iman Islam,

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Ya Muqallibal qulubi tsabbit qalbi ‘ala dinika.”

Artinya: Wahai Zat yang membolak-balikan hati, teguhkanlah hatiku berada di atas agamamu. (Imam Tirmidzi nomor 2.066)

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam menjelaskan, tak ada manusia melainkan hatinya berada dalam kekuasaan Allah. Dan Allah lah yang mebolak-balikan hati manusia. Karenanya pada hadis Tirmidzi nomor 3.444, dapat ditemukan juga doa yang dipanjatkan sahabat Mu'adz yakni: 

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا

“Rabbana la tuzigh qulubana ba’da idz hadaitana.” 

Artinya: “Ya Tuhan kami, janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah engkau beri petunjuk kepada kami.” (Imam Tirmidzi nomor 3.444)

Oleh: Nabila Zidane (Mutiara Umat Institute) dan Ika Mawarningtyas (Mutiara Umat Institute)

Posting Komentar

0 Komentar