Kebutuhan Bahan Pokok Naik, Apakah Ini Rutinitas Kapitalisme Ketika Ramadhan hingga Lebaran?


TintaSiyasi.com -- Seolah-olah menjadi rutinitas jelang Ramadhan hingga hari raya Idulfitri, bahan pokok naik meroket. Dikutip dari bisnis.com (6/4/2022), Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) melaporkan harga sebagian besar bahan pokok atau bapok mengalami kenaikan harga yang signifikan pada hari ketiga Ramadan 2022.

Sekretaris Jenderal DPP Ikappi Reynaldi Sarijowan mengatakan kenaikan harga itu dipicu karena permintaan masyarakat yang meningkat sedangkan pasokan komoditas yang terbatas. Ia pun meminta pemerintah untuk memberikan pasokan bapok supaya harga di pasaran stabil kembali. 

Kenaikan sejumlah bahan pangan tentunya semakin menambah beban rakyat. Pasalnya kondisi ekonomi rakyat masih sulit akibat pandemi. Apalagi peningkatan harga tersebut pasti dibarengi dengan naiknya harga bahan pokok lainnya. Tak menutup kemungkinan lonjakan harga pangan akan menyebabkan semakin rendahnya daya beli masyarakat.

Di samping itu, rakyat sudah dikecewakan dengan langkanya minyak goreng yang dilanjutkan dengan naiknya harga minyak goreng tersebut, naiknya harga BBM hingga naiknya PPN. Pertanyaannya, akan dibawa ke mana negeri ini, jika kondisi semakin sudah akibat naiknya bapok dan sebagainya?

Kenaikan harga pangan menjelang Ramadhan selalu menjadi momok bagi masyarakat, seakan menjadi tradisi. Masyarakat dibuat biasa dengan keadaan tersebut. Sementara negara hanya melakukan upaya praktis yang pragmatis dalam mengantisipasi kenaikan harga pangan seperti operasi pasar. Diamati dari beberapa hal tersebut kenaikan bapok diakibatkan oleh beberapa hal berikut. 

Pertama, karena pemerintah menyerahkan semuanya ke pasar. Dalam sistem kapitalis, pemerintah hanya sebagai regulator, bukan aktor yang mengatur jalannya distribusi pangan. Hal tersebut berpotensi membuat bapok naik tidak terkendali. Di saat yang sama pemerintah tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan pelaku-pelaku ekonomi yang memainkan harga bapok di pasar.

Kedua, pemerintah tidak memiliki persiapan dan perencanaan matang sambut Ramadhan dan lebaran. Seharusnya pemerintah mempersiapkan semuanya, sehingga kebutuhan-kebutuhan rakyat bisa dipenuhi, bukan malah menyerahkan di pasar.

Karena, operasi pasar yang sering dilakukan pemerintah nyatanya tidak bisa mengurai masalah kenaikan harga, karena jauh dari akar persoalan yang ada. Pada dasarnya harga pangan yang melonjak sehingga sulit dijangkau rakyat berpangkal dari lemahnya fungsi negara dalam mengatur sektor pertanian pangan akibat paradigma kapitalisme neoliberal.

Sistem tersebut telah meniscayakan peran pemerintah tidak lebih dari sekadar regulator dan fasilitator, bukan sebagai penanggung jawab urusan rakyat. Pengelolaan dan pemenuhan kebutuhan rakyat justru diserahkan kepada korporasi yang hanya mengejar keuntungan tanpa memperhatikan halal dan haram. 

Ketiga, kenaikan bapok ini bisa dipicu karena naiknya BBM. Sebagaimana diketahui, BBM adalah pemegang utama jalannya distribusi. Sudah jelang Ramadhan dan lebaran bapok biasanya naik, di saat yang sama BBM dan pajak PPN juga naik.

Jaminan Pangan di Era Khilafah

Pada masa kegemilangan peradaban Islam sebuah artikel menggambarkan Bagaimana sukacitanya masyarakat Khilafah Utsmaniyah menyambut bulan suci Ramadhan.

Bulan Ramadhan menjadi kesempatan bagi sultan untuk bertemu rakyat secara langsung dalam jamuan buka puasa bersama. Sebagai timbal balik, hadirin kemudian mendoakan kebaikan untuk sultan. Tradisi tersebut disebut sebagai masabih murjaniyah.

Adapun para menteri dan pejabat lainnya, mereka membuka lebar-lebar rumahnya tiap hari Senin dan Jumat sepanjang Ramadhan. Masyarakat dijamu untuk berbuka puasa dengan berbagai macam hidangan, semisal buah-buahan, minuman, kacang-kacangan, serta berbagai jenis makanan lainnya. Acara buka puasa bersama itu biasanya diiringi dengan bacaan Al-Qur'an yang merdu. (at-Tarikh Kama Kana, hal 203, 204)

Di samping itu, khalifah menetapkan kebijakan khusus dalam rangka memuliakan bulan Ramadhan dan menjamin kebutuhan rakyatnya termasuk pangan.

Menjelang Ramadhan, khalifah memerintahkan pembentukan lembaga khusus untuk memantau makanan yang beredar di pasar dan mengatur harganya. Bahkan sultan sendiri ikut memilih kualitas gandum untuk pembuatan roti yang akan dijual serta menentukan berat dan jumlah garam yang ditambahkan ke dalamnya. Jika roti yang dihasilkan telah dipastikan baik oleh khalifah dan orang-orang yang berpengalaman tentangnya, barulah khalifah memerintahkan untuk membuat dan menjualnya kepada masyarakat.

Ini hanya salah satu fakta yang menunjukkan tanggung jawab khilafah dalam menjamin ketersediaan makanan bagi masyarakat dengan harga yang terjangkau, khususnya saat menyambut dan selama bulan Ramadhan.

Di luar Ramadhan, stabilitas harga pangan juga menjadi perhatian penting khilafah. Untuk peran tersebut khilafah memiliki struktur yang dinamakan Muhtasib (Qadhi Hisbah) di antara fungsi pentingnya adalah mengawasi aktivitas di pasar, termasuk pengawasan harga dan peredaran bahan makanan yang haram dan membahayakan bagi rakyat.

Pada masa Rasulullah SAW, beliau sendiri yang melakukan fungsi pengawasan di pasar-pasar, mencegah terjadinya kecurangan dan praktik-praktik kotor lainnya. Di samping itu, beliau pernah mengangkat Sa'ad bin Sa'id Al-Ash sebagai Muhtasib (pengawas pasar) di Mekah.

Hal tersebut terus berlangsung hingga masa Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelahnya. Pada masa pemerintahan Daulah Umayyah fungsi tersebut telah melembaga dalam suatu badan yang disebut 'amil al-suq (petugas pasar), di mana salah satu wewenangnya adalah menyelesaikan pelanggaran- pelanggaran di pasar dengan segera.

Pada masa Abbasiyah seperti Khalifah Al Ma'mun, qadhi hisbah saat itu berfungsi sebagai pengatur pasar, pemelihara pasar dari masuknya bahan makanan yang merusak masyarakat, melarang penipuan dalam bidang perdagangan, timbangan dan takaran serta menertibkan aktivitas ihtikar (penimbunan).

Secara berkala, para qadhi hisbah melakukan inspeksi pada timbangan yang digunakan pedagang dengan membawa timbangan yang sudah sah. 
Kebijakan dan pembentuk kan badan muhtasib tersebut, tidak lain merupakan wujud tanggung jawab negara agar bisa segera mencegah dan mengatasi berbagai distorsi pasar. Sehingga stabilitas harga akan terwujud dan pasar bersih dari praktik para mafia, kartel, penimbunan, penipuan dan sebagainya. Karena itu, kedaulatan pangan hanya terwujud dalam negara yang menerapkan Islam kaffah yakni Khilafah Islamiah.[]

Oleh: Ika Mawarningtyas dan Nabila Zidane (Mutiara Umat Institute)

Posting Komentar

0 Komentar