Respons Indonesia terhadap Invasi Rusia ke Ukraina: Inikah Politik Bebas Aktif atau Hanya Mengekor ke Amerika?


TintaSiyasi.com -- Ada apa sebenarnya? Di kala rakyat sedang kesusahan mendapatkan minyak goreng, kedelai, dan menghadapi kenaikan bahan pangan, Jokowi justru mengunggah cuitan terkait invasi Rusia ke Ukraina. "Setop perang. Perang itu menyengsarakan manusia dan membahayakan dunia." Begitu kutipan cuitan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo di Twitter, Kamis (24/2/2022). 

Sebenarnya respons Jokowi terkait perang Rusia dan Ukraina tidak masalah, tetapi hal itu dihujani komentar warganet karena kondisi rakyat sedang susah akibat bahan pangan ada yang langka dan naik. Dikutip dari suara.com (25/2/2022), banyak warganet yang menyerbu kolom komentar orang nomor satu di Indonesia itu untuk membahas persoalan dalam negeri. Permasalahan itu adalah mengenai kelangkaan minyak goreng, tahu, dan tempe. Selain itu, warganet juga meminta Jokowi untuk fokus mengurus BPJS Ketenagakerjaan yang menuai kontroversi lantaran JHT hanya bisa cair saat pekerja berusia 56 tahun. 

Seharusnya, jika ingin mengomentari masalah luar negeri, masalah dalam negeri pun juga segera dicarikan solusi agar rakyat tidak kesusahan. Pada dasarnya, dalam menjalankan kegiatan politik dengan negara-negara lain di kancah internasional, Indonesia menganut paham politik "bebas aktif." Dalam pasal 3 UU Nomor 37 tahun 1999, bebas aktif artinya adalah Indonesia bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional serta tidak mengikatkan diri secara a priori pada kekuatan dunia mana pun. Dalam aturan tersebut, secara bersamaan, Indonesia juga turut aktif berpartisipasi dalam menyelesaikan konflik, sengketa, serta permasalahan dunia lainnya sebagai tujuan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Hanya saja, menilik fakta yang terjadi tidak demikian. Sikap pemerintah Indonesia di kancah luar negeri tidak bebas aktif, melainkan nampak tersandera. Buktinya, sikap pemerintah antara Ukraina dengan Palestina jauh berbeda. Begitu juga, dengan umat Islam yang mendapatkan kezaliman dari rezim-rezim antiIslam berbeda. Lantas bagaimana sebenarnya politik bebas aktif yang selama ini digaungkan oleh negeri ini?

Mengungkap di Balik Respons Indonesia terhadap invansi Rusia ke Ukraina

Memang cukup timpang, narasi yang disampaikan penguasa negeri ini ketika merespons masalah yang terjadi di dunia. Pasalnya, beberapa pekan yang lalu, heboh terkait pelarangan hijab di instansi sekolah di India. Pun pada saat Isra Mikraj, Israel kembali melakukan penyerangan kepada Muslim Palestina yang sedang merayakan peringatan Isra Mikraj. Tetapi, belum ada respons yang berarti dari penguasa negeri ini yang katanya menganut politik bebas aktif. 

Berbeda dengan soal Rusia yang menginvasi Ukraina, tiba-tiba penguasa negeri ini memberikan responsnya. Perang antara Rusia dan Ukraina adalah perang pragmatis negara-negara Barat. Rusia khawatir Ukraina memihak kepada negara-negara Eropa atau Amerika. Demi mengamankan kepentingannya, Rusia menginvasi Ukraina. Menelusuri lebih dalam, mengapa negeri merespons masalah tersebut, ada beberapa catatan kritis di bawah ini. 

Pertama, respons Presiden Republik Indonesia Joko Widodo terhadap invasi Rusia ke Ukraina yang mengatakan, setop perang karena menyengsarakan dan membahayakan dunia, lebih menunjukkan keberpihakannya kepada kubu Eropa dan Amerika. Karena, memang yang memulai perang adalah Rusia. Secara tidak langsung, penguasa negeri ini ingin Rusia menghentikan perang. Hal ini seolah mengkonfirmasi negeri ini mengekor kepada politik global yang dibangun Amerika. Maka lumrah, jika respons negeri ini terhadap nasib umat Islam di Timur Tengah yang diserang Israel tidak mendapatkan respons berarti. Begitu juga konflik umat Islam yang dizalimi rezim antiIslam juga tidak ditanggapi berarti oleh penguasa negeri ini.

Kedua, jika perang tersebut terus terjadi, maka hal itu akan mempengaruhi sektor ekonomi, terutama komoditas dan inflasi. Lumrah, apabila banyak pernyataan meminta penghentian perang di sana. Padahal, sejatinya yang membuat negeri ini terkena dampak dengan dunia yang terjadi diakibatkan karena negeri ini berada dalam rengkuhan sistem ekonomi global kapitalisme yang dipimpin oleh Amerika serikat (AS). Kondisi ekonomi di negeri ini akan mudah dikendalikan oleh penguasa ekonomi global, jika masih menerapkan sistem ekonomi kapitalisme.

Ketiga, sejatinya respons tersebut hanya sebatas retorika politik bebas aktif semata. Sikap netral yang tidak memihak kepada Rusia dan Ukraina ini sebenarnya hanyalah topeng semata. Hakikinya, negeri ini tetap berada dalam hegemoni Amerika dan sekutunya. Hal itu ditunjukkan sikap negeri ini yang berbeda ketika melihat invasi negeri-negeri kafir penjajah kepada umat Islam. 

Seharusnya negeri ini memiliki arus dan mampu menjadi mercusuar kebaikan, tetapi karena berada di dalam cengkeraman kapitalisme global, politik luar negeri ini tidak independen dan berdikari. Sudah sepatutnya negeri ini menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Alasannya sederhana, karena Indonesia mayoritas dihuni umat Islam. Alangkah berkahnya jika mau menerapkan sistem Islam secara kaffah, pastinya Islam akan membawa rahmat ke seluruh alam.

Dampak Politik Bebas Aktif Indonesia kepada Invasi Rusia ke Ukraina atau ke Dunia pada Umumnya

Seolah-olah politik bebas aktif dan netral ini beda tipis. Tetapi, apakah bisa dinyatakan netral? Ataukah yang lain? Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005) karya M.C Riclefs, politik bebas aktif adalah sikap Indonesia yang mempunyai jalan atau pendirian sendiri dalam menghadapi masalah internasional tanpa memihak pada blok Barat maupun blok Timur serta turut berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia.

Atas dasar politik bebas aktif, dikutip dari Kompas.com, Indonesia memposisikan dirinya sebagai subyek dalam pengambilan keputusan hubungan luar negeri dan tidak dapat dikendalikan oleh kepentingan politik negara lain. Tetapi, pada faktanya, ada beberapa catatan. Pertama, politik luar negeri Indonesia tidak berdikari dan tidak akan mampu independen karena negeri ini masih menerapkan sistem kapitalisme sekuler. Dampak penerapan sistem ini luar biasa, berpengaruh pada politik dalam dan luar negeri. Lebih khususnya lagi, membuat negeri ini menjadi ekor dari politik kapitalisme global yang dipimpin Amerika serikat (AS).

Kedua, politik bebas aktif terkesan hanya lipstik semata. Bukan juga netral, tetapi lebih mengekor pada kepentingan Barat. Sehingga hal ini tidak akan membawa dampak yang signifikan di dunia, justru semakin menunjukkan Indonesia berada dalam cengkraman penjajahan sistematis yang dilakukan oleh kapitalisme global. 

Apabila Jokowi mengatakan perang menyengsarakan dan membahayakan dunia, justru berkuasanya kapitalisme global ini lebih menyengsarakan dan membahayakan dunia. Terutama dunia Islam. Hampir di berbagai negara, umat Islam senantiasa mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Mereka tidak bebas taat dan patuh kepada syariat Islam, ketika melakukan dakwah. Justru umat Islam mengalami penghadangan dari persekusi hingga kriminalisasi karena dakwahnya dianggap mengancam keberadaan kapitalisme sekuler.

Ketiga, tidak mampu membawa pengaruh dan perubahan di dunia luar. Politik bebas aktif, yang diklaim independen dan Indonesia bisa menentukan sikapnya sendiri ini tidak berpengaruh apa-apa terhadap konflik yang ada di dunia. Ya, sia-sia. Paling banter, Indonesia tampil membantu dalam hal pengiriman bantuan ke negara-negara konflik. Tetapi, tidak ada power untuk menghentikan kezaliman dan konflik yang terjadi di dunia.
 
Contoh nyata, nasib umat Islam di Timur Tengah, paling banter Indonesia mengirimkan bantuan pangan dan obat-obatan. Tetapi, tidak memiliki sikap mengirim tentara untuk menghentikan kezaliman Israel dan sekutunya terhadap Muslim di Timur Tengah. Apalagi Muslim di Uighur, Khasmir, ataupun di Rohingya. Negeri ini tidak memiliki keberanian membela umat Islam di sana, karena tersandera kapitalisme sekuler global Amerika.

Strategi Islam dalam Merespons Pertikaian Dunia

Ketika Islam memiliki institusi yang disebut Khilafah Islamiah, sikapnya jelas, tegas, dan sesuai nas Al-Qur'an. Yakni, menegakkan keadilan dan menumpas kezaliman di muka bumi ini. Keberpihakan Khilafah Islamiah adalah kepada Al-Qur'an bukan kepada siapa-siapa yang berkepentingan. Apabila ada dua negara kufur atau lebih berkonflik, tentunya khilafah akan melakukan penelitian fakta yang terjadi dan akan sikap yang diambil adalah untuk menegakkan keadilan.

Hanya saja ketika menentukan sikapnya, Khilafah Islamiah harus hati-hati. Jangan sampai terjebak dalam pergulatan konflik semu yang menyebabkan khilafah mengalami kerugian finansial atau fisik. Oleh karena itu, diperlukan pengamatan yang mustanir agar tidak terjerumus dalam konflik semu dan pragmatis negara-negara Barat. Tetapi, saat ini umat Islam belum memiliki institusi Khilafah Islamiah. Umat Islam tercerai berai karena nation state dan mengalami banyak kezaliman akibat rezim antiIslam. Strategi Islam yang seharusnya diaruskan oleh umat Islam sebagai berikut. 

Pertama, umat Islam senantiasa berdakwah dan menyeru umat agar berjuang bersama mengembalikan kemuliaan Islam dengan tegaknya Khilafah Islamiah. Kedua, umat Islam harus melakukan sterilisasi ide Khilafah Islamiah dari narasi negatif yang dibangun kaum kafir penjajah. Ketiga, umat Islam harus menjelaskan kebobrokan kapitalisme sekuler agar umat tidak terperdaya olehnya. 

Keempat, umat Islam senantiasa membongkar tipu muslihat yang dilakukan negeri-negeri Barat dalam menancapkan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Kelima, umat Islam terus berdakwah kepada penguasa, agar penguasa tersebut mau menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiah. Karena hanya inilah yang bisa menyelamatkan dari penjajahan yang terstruktur dan sistematis yang dilakukan kapitalisme sekuler.

Oleh karena itu, respons terkini umat Islam melihat Rusia dan Ukraina sejatinya adalah bentuk pertikaian pragmatis antara negara-negara Barat dan sekutunya. Respons masif yang harus diaruskan umat Islam adalah membela Muslim di India, Timur Tengah, Uighur, Rohingya, atau di mana saja mereka berada. Hanya dengan Khilafah Islamiah, umat Islam bisa bersatu dan menolong kaum Muslim di mana saja mereka berada.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama. Sejatinya respons tersebut hanya sebatas retorika politik bebas aktif semata. Sikap netral yang tidak memihak kepada Rusia dan Ukraina ini sebenarnya hanyalah topeng semata. Hakikinya, negeri ini tetap berada dalam hegemoni Amerika dan sekutunya. Hal itu ditunjukkan sikap negeri ini yang berbeda ketika melihat invasi negeri-negeri kafir penjajah kepada umat Islam. 

Kedua. Sebenarnya politik bebas aktif belum membawa pengaruh terhadap dunia. Sikap yang terkesan netral terkadang malah menunjukkan, negeri ini hanya cari aman saja. Walhasil, tidak mampu membawa pengaruh dan perubahan di dunia luar. Politik bebas aktif, yang diklaim independen dan Indonesia bisa menentukan sikapnya sendiri ini tidak berpengaruh apa-apa terhadap konflik yang ada di dunia.

Ketiga. Ketika Islam memiliki institusi yang disebut Khilafah Islamiah, sikapnya jelas, tegas, dan sesuai nas Al-Qur'an. Yakni, menegakkan keadilan dan menumpas kezaliman di muka bumi ini. Keberpihakan Khilafah Islamiah adalah kepada Al-Qur'an bukan kepada siapa-siapa yang berkepentingan. Apabila ada dua negara kufur atau lebih berkonflik, tentunya khilafah akan melakukan penelitian fakta yang terjadi dan akan sikap yang diambil adalah untuk menegakkan keadilan.[]

Oleh: Ika Mawarningtyas (Dosol Uniol 4.0 Diponorogo dan Mutiara Umat Institute)
Materi Kuliah Online Uniol 4.0 Diponorogo
Rabu, 9 Maret 2021
Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum. #Lamrad #LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar