Habis Hilang, Harga Minyak Goreng Menjulang: Simbol Kekalahan Negara di Hadapan Mafia Pangan

TintaSiyasi.com -- Habis hilang, terbitlah dengan harga menjulang. Sempat menjadi barang langka, minyak goreng kembali membanjiri pasaran. Rak toko/swalayan yang semula kosong, kini terisi minyak goreng kemasan berjajar rapi. Sayangnya sepi pembeli. Harganya yang mendadak melambung tinggi menyurutkan keinginan masyarakat khususnya kalangan bawah untuk membeli. 

Berbagai rasa memenuhi benak terutama kaum emak: kaget, sedih, heran. Mengapa saat agak murah barang menghilang, namun ketika pemerintah mencabut ketentuan harga eceran tertinggi (HET) pada Rabu (16/3/2022) dan menyerahkan harga minyak goreng sesuai mekanisme pasar, tetiba stok melimpah dengan harga RP22.000-24.000 perliter? Wajar jika kondisi ini mengundang kegaduhan.

Sebagian kalangan menyebut terjadi permainan oleh sekelompok orang demi meraup keuntungan. Diduga ada penimbunan hingga berakibat kelangkaan. Lantas saat masyarakat kian membutuhkan, minyak goreng dilepas ke pasaran dengan harga gila-gilaan. Jahat, bukan?

Dugaan tersebut kian mendekati kenyataan. Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengakui tak bisa melawan mafia minyak goreng karena keterbatasan kewenangannya dalam undang-undang. Pernyataan Mendag yang mengaku tak mampu melawan penyimpangan di lapangan serta tak bisa mengontrol para mafia dan spekulan seolah menjadi simbol kekalahan. 

Ironis. Negara kalah dan didikte oleh segelintir orang, sehingga gagal memenuhi kebutuhan pokok, pun melindungi rakyatnya. Diduga ketidakberdayaan ini akibat posisi para mafia minyak goreng yang terkesan dekat dengan pihak-pihak berkuasa. 

Rahasia umum bahwa senyawa peng-peng (penguasa-pengusaha) telah menjadi pengendali negeri. Tak hanya mafia minyak goreng, berbagai jenis mafia telah mengangkangi bangsa ini. Dari mafia tanah, mafia anggaran, hingga mafia Pemilu. Demokrasi bukanlah harga mati. Kini demokrasi rasa oligarki, bahkan tirani okhlokrasi. 

Peran Negara Memenuhi Hak Pangan Rakyat Terutama Kebutuhan Pokok

Misi pemerintahan di mana pun adalah untuk mewujudkan kesejahteraan manusia dan menjamin keamanan. Hal ini sejalan dengan pendapat beberapa pakar. Menurut Thomas Hobbes, tujuan utama terbentuknya suatu pemerintahan dalam sebuah negara adalah memberi rasa aman dan menjamin keamanan (security) bagi warganya. John Stuart Mill dan Thomas Paine berpendapat untuk menciptakan ruang kebebasan (liberty). Dan yang lebih penting, the Fabians mengemukakan untuk kesejahteraan umat manusia (welfare of mankind).

Dalam konstitusi (Pembukaan UUD 1945), sudah jelas termaktub tugas pokok negara yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 

Konstitusi mengamanatkan kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk bertanggung jawab memenuhi hak-hak sipil politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negara. Sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Culture Rights (Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya). 

Di Indonesia, realisasi hak atas pangan juga merupakan kewajiban konstitusional negara. UUD 1945 Pasal 28I ayat (4) mengamanatkan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Dalam konteks hak atas pangan, negara wajib memenuhinya sebagaimana HAM lainnya. Negara wajib memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan dan gizi yang terjangkau dan memadai. 

Oleh karena itu, pengabaian terhadap pangan dan gizi ini bisa dianggap sebagai pelanggaran HAM oleh negara. Bahkan, ketika hak atas pangan diabaikan secara terus-menerus, maka pelanggaran tersebut bisa disamakan dengan pemusnahan generasi secara laten (silent genocide). 

Hak atas pangan yang layak memiliki asas indivisibility, yaitu keterkaitan satu hak asasi dengan bentuk hak asasi yang lain. Artinya, hak atas pangan tidaklah berdiri sendiri, namun juga bergantung pada penghormatan akan kebebasan dasar yang lain. Hak ini membebankan tiga jenis kewajiban negara, yakni: menghormati, melindungi, dan memenuhi. 

Selanjutnya, dalam menilai realisasi hak atas pangan di suatu wilayah, paling tidak, terdapat empat indikator utama, yaitu ketersediaan (availability), akses (accessibility),  penerimaan (acceptability), dan kualitas (quality). Dengan demikian, pemenuhan sembako (sembilan bahan pokok) termasuk minyak goreng, menjadi kewajiban negara dengan empat indikator di atas. 

Tata niaganya harus menjamin rakyat untuk memperolehnya secara terjangkau dan tidak menyerahkan begitu saja pada mekanisme pasar, supply and demand. Jika begitu, ini menyalahi konsep negara kesejahteraan (welfare state). Buat apa ada Kementerian Perdagangan?
 
Pengaruh Mafia Pangan terhadap Kelangkaan Minyak Goreng di Indonesia, Negara Penghasil Kelapa Sawit Terbesar di Dunia
 
Bak anak ayam mati di lumbung padi rasanya pantas disematkan pada negeri ini. Pasalnya, Indonesia termasuk pemasok produk sawit terbesar di dunia. Menurut data Kementerian Pertanian tahun 2019, total luas kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta hektar. Tersebar di 26 provinsi. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat produksi minyak sawit mentah tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton.

Sejak tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat pertama dan menjadi raja produsen sawit terbesar di dunia. Tahun 2019, produksi sawit di Indonesia pernah menembus 43,5 juta ton. Pertumbuhan rata-rata pertahunnya mencapai 3,61 persen. Merujuk catatan Kementerian Perindustrian, realisasi produksi minyak goreng sawit (MGS) tahun 2021 mencapai 20,22 juta ton, sedangkan kebutuhan dalam negeri hanya sebesar 5,07 juta ton. Mengapa minyak goreng bisa hilang dan muncul kembali dengan harga tinggi?

Salah satu penyebabnya, dugaan terjadi kartel alias penguasaan produksi dan pasar oleh sekelompok produsen. Mereka bekerjasama demi mengeruk keuntungan dan menguasai pasar. Hal ini memungkinkan karena perkebunan sawit hingga produksi minyaknya dikuasai segelintir orang. 

Ketua KPPU Ukay Karyadi mengatakan struktur bisnis minyak goreng dalam negeri cenderung dikuasai oleh segelintir korporasi besar yang memiliki kekuatan mengontrol harga. KPPU mengungkapkan, 46,5 persen pangsa pasar minyak goreng di dalam negeri dikuasai oleh empat produsen besar. KPPU menemukan pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng juga merupakan pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO, hingga produsen minyak goreng. 

Hal ini menguatkan dugaan adanya praktik kartel (mafia) seiring meningginya harga minyak goreng sejak akhir tahun lalu. Merekalah pengeruk keuntungan besar di tengah derita rakyat akibat krisis minyak goreng. Anehnya, Pemerintah malah menuduh kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng disebabkan ulah warga yang panic buying lalu melakukan penimbunan. Sebaliknya, mafia penyebab krisis ini nyaris tak tersentuh hukum.

Mafia dan spekulan memang menjadi penyakit tersendiri dalam tatanan apa pun. Di bidang pertanahan, terkuak adanya mafia dan spekulan tanah. Begitu pula di dunia perdagangan liberal kapitalistik yang hanya berorientasi pada supply and demand plus profit oriented. 

Dugaan mafia dan spekulan kami yakin ada benarnya, mengingat produksi minyak goreng kita dinilai cukup bahkan termasuk negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Mafia memainkan distribusi dan harga dengan cara menimbun dalam jangka waktu tertentu sehingga terjadi kelangkaan. Akhirnya rakyat kesulitan mendapatkannya, terjadi antrean panjang hingga berujung kematian. 

Penimbunan bahan pangan oleh mafia bukan ditindak dengan memaksanya untuk dijual wajar, justru pemerintah menghapus HET serta menyerahkannya ke mekanisme pasar. Dan terbukti, setelah HET dicabut ternyata jumlah minyak goreng melimpah tapi dengan harga melangit. Jelas tampak negara kalah. Dikalahkan oleh mafia dan spekulan. 

Padahal dalam penimbunan barang itu ada sanksi pidananya, tercantum dalam Pasal 107 UU Perdagangan. Dalam pasal itu disebutkan, pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp50 miliar jika menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang. Sayangnya, penegakan hukum ini tidak berjalan. Dan mafia pangan pun terus beraksi. 

Negara dalam Kendali Oligark Peng-Peng

Betapa sering kita mendengar pernyataan dari para pejabat negeri ini yang menyatakan prinsip "negara tidak boleh kalah.” Namun di lain kesempatan, pejabat itu juga mengutip adagium dari Cicero yang berbunyi "salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.” 

Penggunaan prinsip negara tidak boleh kalah "yang keliru" sebenarnya menunjukkan bahwa sistem pemerintahan negara yang sedang dijalankan adalah sistem otoriter represif yang menghadap-hadapkan rakyat dan aparat negara, termasuk aparat penegak hukum (APH). 

Dalam pemerintahan otoriter, APH digunakan oleh penguasa sebagai alat mempertahankan status quo yang di-back up oleh hukum dan alat legitimasi tindakan jahat pemerintah. Khususnya jika pemerintah menghadapi yang mereka sebut sebagai common enemy, contoh radikalisme. Atas nama radikalisme, terkesan pemerintah boleh berbuat apa saja meski melanggar hukum dan HAM. Sementara jelas tidak terbukti tuduhan radikalisme menyebabkan kesengsaraan rakyat dalam hal kelangkaan minyak goreng, misalnya. 

Mafia perdagangan justru menjadi penyebab kesengsaraan rakyat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Ini lebih nyata, bukan halu, tetapi kenapa pemerintah justru terkesan "mbelani" mafia dengan menyerahkan kebijakannya untuk mengatur kepada mekanisme pasar yang jelas di bawah kendali mafia. 

Negara ini telah menjelma menjadi perusahaan raksasa berwajah dingin tetapi bengis terhadap rakyatnya sendiri. Hilanglah karakter diri sebagai negara benevolen, negara pemurah. Yang tersisa boleh jadi tinggal hubungan bisnis antara produsen oligark dan konsumen. Produsennya negara dan swasta, konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya kepengurusan dan penyelenggaraan negara ini hanya sebatas profit, bukan benefit. 

Sebagai negara hukum, sebenarnya hukum telah hadir untuk membatasi kekuasaan yang cenderung absolut. Ketika kekuasaan yang dahulu diatur oleh hukum kemudian berbalik menjadikan hukum sebagai alat melanggengkan kekuasaan, maka kekuasaan itu sudah mengendalikan hukum. 

Kekuasaan itu bisa berisi politik (jabatan-jabatan strategis) dan ekonomi (pengusaha) yang dikendalikan oleh segelintir orang, yang disebut oligark. Dalam bahasa kasarnya: peng-peng. Ketika oligark peng-peng mengendalikan negeri, sebenarnya kita tak lagi dalam sistem demokrasi. Namun senyatanya menurut Ian Dallas, berada di sistem okhlokrasi. 

Menilik kelahiran demokrasi, awalnya ‘Vox Rei Vox Dei” (suara raja suara Tuhan) di Eropa klasik dikudeta. Diganti suara rakyat suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei). 

Demokrasi seolah menjadi dibela sampai mati. Padahal terjadi penyelewengan. Karena di balik ‘Vox Populi Vox Dei’, menyelusup sekelompok orang penentu. Mereka yang menyusun ‘state’ tadi. Merekalah kaum bankir, pemilik bank sentral. Dan bank sentral menjadi makhluk ‘ghaib’ di luar ‘Trias Politica.’ Tak dikenali Montesquieu. Tak dikenali Machiavelli. Tapi menyelusup dalam teorinya JJ Rosseou. Inilah wujud ‘state’ yang nyata. Bukan lagi ‘Trias Politica.’ Melainkan ‘Trias Politica’ dikendalikan ‘sentral bank.’ 

Karena faktanya sentral bank memiliki kekuasaan. Mereka mengendalikan uang dan harta. Mereka entitas yang tak bertanggung jawab secara hukum pada entitas ‘Trias Politica.’ Mereka berdiri sendiri, utuh, mandiri tanpa pengawasan. Karena government bukan sebagai ownernya. Melainkan dimiliki segelintir kaum bankir. Sekuel itu bisa dibaca melalui Bank of England, 1668. Kala bank sentral pertama di dunia itu berdiri, mengendalikan Raja William sebagai nasabah terbesar. Raja Inggris berutang pada bank sehingga pemerintahan pun di bawah kendali bankir. 

Demokrasi telah berubah menjadi okhlokrasi. Dan okhlokrasi inilah yang menopang berdirinya oligarki yang merupakan gabungan dari peng-peng. Akhirnya, kita bisa memprediksikan bahwa penyelenggaraan kebutuhan masyarakat pun akan dikendalikan oleh peng-peng jahat, bukan oleh negara benevolen yang memang bertugas mengurusi, meriayah, menyejahterakan rakyatnya. Kini yang terjadi sebaliknya, negara dikalahkan oleh mafia peng-peng.

Strategi Negara Memenuhi kebutuhan rakyat agar Terwujud Kesejahteraan Pangan

Kemunculan mafia peng-peng merupakan buah pahit yang mesti ditanggung saat mantra demokrasi kapitalistik hanyalah retorika tanpa makna. Berlandaskan pada kebebasan nyaris tak berbatas serta memprioritaskan pencapaian materi tanpa peduli halal-haram, maka pemujanya akan cenderung suka-suka kami (SSK). Poros kekuasaannya tak lagi melayani rakyat, namun demi korporat.  

Sementara Islam, sebuah ajaran hidup yang dipeluk mayoritas penduduk negeri ini telah menyediakan berbagai strategi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan merupakan konsekuensi logis keadilan ekonomi Islam yang dijalankan oleh negara Islam, yaitu ketika terpenuhi semua kebutuhan pokok (primer)setiap individu masyarakat, disertai jaminan yang memungkinkan individu memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai kemampuan mereka. 

Sebagai ajaran yang muncul dari Sang Pencipta Alam Semesta, tentu sayang jika tidak dijalankan oleh pemeluknya. Berikut ini strategi negara memenuhi kebutuhan rakyat sehingga terwujud kesejahteraan pangan.

Pertama, menata perdagangan serta ketersediaan kebutuhan pokok dan distribusinya ke tengah masyarakat. Tidak ada tempat dalam Islam praktik kecurangan dalam perdagangan semisal mencurangi timbangan, menipu konsumen dan mempermainkan harga. Semuanya haram. 

Kedua, melarang melakukan penimbunan. Di antara praktik perdagangan terlarang adalah menimbun komoditi perdagangan agar harga meroket, lalu produsen/pedagang menjualnya untuk mendapatkan keuntungan berlebih. Adapun menyimpan stok makanan, termasuk minyak goreng, untuk keperluan rumah tangga atau untuk bahan baku usaha para pedagang makanan bukan termasuk penimbunan. 

Ketiga, melarang praktik monopoli pasar termasuk kartel/mafia. Praktik perdagangan seperti ini hanya menguntungkan para pengusaha karena bebas mempermainkan harga. Sebaliknya, rakyat tidak punya pilihan selain membeli dari mereka. Inilah kezaliman nyata. 

Nabi SAW mengancam para pelaku kartel dan monopoli pasar, “Siapa saja yang mempengaruhi harga bahan makanan kaum Muslim sehingga menjadi mahal, merupakan hak Allah untuk menempatkan dirinya ke dalam tempat yang besar di neraka nanti pada Hari Kiamat.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Keempat, negara tidak boleh kalah oleh para pemilik kartel (mafia). Bahkan harus memberangusnya. Karena salah satu kewajiban negara adalah melindungi hajat hidup masyarakat serta menjaga keamanan dan ketertiban termasuk dalam perdagangan.

Kelima, memberikan sanksi bagi pelaku monopoli, kartel (mafia). Negara berhak melarang mereka berdagang sampai jangka waktu tertentu sebagai sanksi. Tindakan ini terutama bagi pengusaha dan pedagang besar karena yang paling mungkin bertindak zalim tersebut. 

Keenam, negara memprioritaskan kebutuhan negeri untuk rakyat ketimbang untuk keperluan ekspor. Pun menghapus berbagai kebijakan yang menimbulkan madarat bagi rakyat. Sebabnya, menimpakan madarat kepada siapa pun, apalagi terhadap rakyat, adalah kemungkaran. 

Demikianlah strategi negara dalam memenuhi kebutuhan rakyat sehingga terwujud kesejahteraan pangan. Namun idealitas ini hanya akan tercapai dalam penerapan syariat Islam kaffah oleh khilafah islamiyah. Sebuah sistem pemerintahan yang berlandaskan aturan Allah SWT dan Rasul-Nya, yang memanusiakan manusia sesuai fitrahnya. 


Oleh: Prof. Suteki (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analisis Politik dan Media)



Pustaka

Buletin Kaffah No. 236, Solusi Islam Mengatasi Krisis Pangan, 18 Maret 2022

Kewajiban Negara dalam Hak atas Pangan, binadesa.org, 11 Januari 2016

Posting Komentar

0 Komentar