Hijrah: Sebuah Tansformasi Pemikiran Radikal


TintaSiyasi.com --  Ada meme yang sering saya gunakan, yaitu: "Angel...wes Angel". Angel banget tuturanmu..! Angel banget tuuu...tuuuranmu...! Inti perkataan ini bermakna bahwa sungguh sulit orang berubah karena seseorang itu "stubborn", keras kepala, semau-maunya sendiri. 

"Angel" (sulit) berubah padahal perubahan itu sebuah keniscayaan. Dunia ini pantareih berubah mengalir tanpa henti, begitu kata Heraclitus (5 BC). Satu kalimatnya sangat terkenal: "Seseorang tidak bisa dua kali masuk di sungai yang sama". Itulah perubahan dan perubahan itu adalah keabadian itu sendiri. Kita sebagai pelaku sejarah menyaksikan betapa peradaban manusia mengalami jatuh bangun, keterpurukan dan kebangkitan selalu datang silih berganti. 

Islam itu real ada, tetapi tidak dipahami dengan baik. Setelah dipahami dengan baik belum tentu diterapkan. Ini saya kira sesuai dengan tesis ahli strategi perang Israel bernama Moshes Dayan (1915-1981) yang menyatakan bahwa kelemahan utama umat Islam adalah malas membaca sehingga literasinya jeblok, anjlok, rendah. Seandainya pun membaca, ia tidak mengerti. Jika ia mengerti, tetapi tidak bertindak. Inilah yang makin memperburuk kejatuhan peradaban Islam yang memiliki visi jauh ke depan. Futuristik!

Akibatnya, kita umat Islam terjebak dalam sistem politik demokrasi. Padahal demokrasi itu sistem pemerintahan yang sudah banyak mengebiri ajaran Islam dan tak ada dasar pembahasannya di kalangan ulama Ahlus Sunnah, namun justru dipuja-puja. Seolah-olah demokrasi adalah solusi terbaik bagi bangsa. Padahal dalam demokrasi berbagai penyimpangan hukum dan kekuasaan makin menjadi-jadi, misalnya: 

Pertama, inequality before the law
Kedua, diskresi yang diskriminatif (suka-suka kami)
Ketiga, industri hukum
Keempat, ketidakpatuhan APH terhadap hukum
Kelima, brutality, tidak beretika
Keenam, penyunatan hukuman (Pinangki, Joko Tjandra)
Ketujuh, tidak ada sense of crisis dalam penegakan hukum terhadap koruptor

Inilah kondisi kegelapan yang tengah menyelimuti negeri ini. Kondisi ini nyaris tak jauh berbeda dengan kondisi saat Nabi Saw. dan para sahabat berada di Makkah. Keadaan jahiliah melanda setiap aspek kehidupan sampai kemudian Allah SWT memberikan pertolongan dengan tegaknya Islam di Madinah. Allah SWT mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya petunjuk. 

Menyaksikan kebobrokan bangsa ini, maka hal mendasar yang harus diubah, disiapkan adalah pemimpin dan sistem (hukum). Dapat diyakini bahwa warisan hukum penjajah (kolonial)  pasti tidak sesuai dengan kebutuhan hidup rakyat merdeka. Dan akan selalu berorientasi kepada kepentingan Penjajah. Oleh karena itu aneh jika setelah 76 tahun merdeka warisan hukum masih tetap bertengger baik utk urusan pidana dan perdata. 

Maka, sangat urgensi hijrah di bidang hukum di negara ini. Perubahan, penggantian Hukum seharusnya perlu dilakukan secara perubahan total. Tidak prasmanan.  Perubahan total dibutuhkan karena roda pemerintahan negara itu pun bersifat sistemik. Perubahan parsial juga sulit diharapkan mampu mengeluarkan negeri ini dari berbagai krisis atau pun kemunduran peradaban luhur. 

Ketika kita memutuskan bahwa perubahan hukum itu mesti total, maka ada beberapa hal yang mendasar yang terkait dengan perubahan hukum itu, khususnya menyangkut bukan hanya aturan hukum, pelaksana hukum, namun juga termasuk dengan budaya hukumnya karena hukum itu merupakan sebuah sistem. 

Menurut Lawrence M Friedman, hukum itu dikatakan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari 3 komponen:
Pertama, legal substance (peraturan hukum)
Kedua, Legal structure (kelembagaan)
Ketiga, Legal culture (budaya hukum) 

Atau dengan kata lain untuk membentuk good law  harus ada 2 hal, yaitu:
Pertama, good norm 
Kedua, good process (law enforcement) 

Dalam pembuatan dan pelaksanaan hukum, ada 3 lapisan hukum:
Pertamaeternal law
Kedua, devine law
Ketiga, human law (Konstitusi) 

Maka dalam hal ini Kitab Suci di atas Konstitusi, sehingga hukum konstitusi tidak boleh bertentangan dengan Kitab Suci dan atau mesti bersumber pada Kitab Suci serta Natural Law. 

Pertanyaan yang kemudian perlu diajukan adalah ketika masyarakat Muslim menginginkan adanya pelaksanaan sistem hukum Islam, apakah ini sebenarnya layak disuarakan? 

Dari sisi hukum, ada 3 dasar peraturan yang menjamin hak umat Islam untuk "menyuarakan" pelaksanaan sistem hukum Islam: 

Pertama, pasal 29 ayat 1 UU 1945 diketahui bahwa kita adalah religious nation state. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Kedua, piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Sila 1 Pancasila jelas menyatakan bahwa adanya kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. 

Hal ini sebenarnya ditegaskan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 juga mengamanatkan bahwa Kembalinya pada UUD 1945 tetap harus dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945. 

Ketiga, pasal 29 ayat 2 disebutkan bahwa 

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. 

Hal ini diperkuat Pasal 28E selanjutnya dikatakan adanya hak untuk  berpendapat baik dengan lisan ataupun tulisan. 

Pasal 28E 

(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.** ) 

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.**) 

(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.**) 

Jadi, menyuarakan sesuatu yg benar berdasarkan "perintah Allah dan Rasul-nya" itu dijamin oleh UU, termasuk menyuarakan syariat kaffah. 

Persoalannya pada political will rezim.  Welcome or denial. Jika ada sikap menolak dari rezim, maka keinginan untuk melaksanakan hukum Islam secara kaffah akan dinilai sebagai pemikiran radikal dan ekstrem. Siapkah kita mempraktikkan "cara kerja" rasulullah dalam membumikan hukum Islam ketika Islam datang di tengah jaman jahiliah?

Sebelum Islam datang, manusia telah mengenal berbagai macam peradaban. Ada peradaban Hindu, Budha, Tao, Yunani dan lain sebagainya. Pada abad 7 M Islam datang sebagai The New Order of The Ages yang menawarkan kehidupan yang lebih baik dan beradab sesuai dengan fitrah hidup manusia, yakni ketauhidan, ibadah dan syariah serta pengutamaan pertimbangan akal sehat. 

Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang membentuk pandangan hidup tertentu. Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global (khuthuuth 'ariidlah), yakni makna-makna tekstual yang umum, yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia. Dengan demikian akan dapat digali (diistinbath) berbagai cara pemecahan setiap masalah yang muncul dalam kehidupan manusia. Islam menjadikan cara-cara pemecahan problema kehidupan tersebut bersandar pada suatu landasan fikriyah (dasar pemikiran) yang dapat memancarkan seluruh pemikiran tentang kehidupan. Kaidah itu pun telah ditetapkan pula sebagai suatu standar pemikiran, yang dibangun di atasnya setiap pemikiran cabang (setiap pikiran baru yang muncul).  

Jika kita simak sejarah peradaban Islam, Islam datang bukan dengan otak kosong namun dengan blue print yang jelas, tepat dan benar, tidak ada keraguan di dalamnya sehingga mampu melakukan berbagai macam transformasi (hijrah). 

Setidaknya ada 4 transformasi yang ditawarkan Islam agar manusia mampu berhijrah dari kegelapan menuju cahaya terang kehidupan sejati. Keempat macam transformasi itu sebagai berikut: 

1. Transformasi Pertama: 
Mengubah pandangan hidup manusia: dari pemikiran yang dangkal ke pemikiran yang mendalam. 

Hal ini tercermin dalam aqidah Islam yaitu: pemikiran yang menyeluruh tentang alam dari sebelum dan sesudah kehidupan. Semula orang hanya tahu hidup itu hanya sekedar: kerja, cari duit, cari makan dan lain-lain. Islam datang dengan mengubah pemahaman tentang kehidupan. Hidup ini hanya jembatan kehidupan yang setelahnya ada pertangggung-jawaban. Dunia sementara, sebentar tapi sangat menentukan baik buruknya akhirat yang kekal selama-lamanya. Tidak ada tempat kembali. 

2. Transformasi Kedua: 
Islam mengubah standar perbuatan manusia, yang semula hanya utk kenikmatan diri sendiri dan serba jasmani (Hedonistik) menjadi berstandar halal atau haram. 

Semula makan hanya sekedar utk kenikmatan, lalu berubah menjadi standar halal atau haram. Tdk sekedar nafsu tetapi ada pertimbangan halal atau haram. Dalam perkara makan muslimin pun punya visi akherat. Jadi orang Islam itu orang yang cerdas, tidak dungu (A-Vidya) karena mampu mengendalikan dirinya. Perbuatannya atau nafsunya dikendalikan dan visinya jangka panjang, setelah kematian. 

Kalau manusia paham dan ia mempunyai visi jangka panjang, seseorang tidak akan korupsi. Ingatlah, Bangsa Arab semula tidak dipandang dunia tapi ketika memiliki standar hidup, bahkan baru 10 tahun saja, bangsa ini bisa berhadapan tegak dengan bangsa Persia dan Romawi. 

3. Transformasi Ketiga: 
Mengubah pemahaman tentang bahagia. Apa itu bahagia? 

Bahagia sebelum Islam dimaknai sebagai pemuasan nafsu dan keinginan terpenuhi. Setelah Islam datang: bahagia itu adalah ketika mendapat ridha Allah swt. Salman Al Farizi itu seorang yang miskin tetapi  ia merasa bahagia. Abdurrahman bin auf dgn uangnya diinfaqkan di jalan Allah. Itu bahagia. Umar bin khatab: yang semula gagah berani dan bangga patriotis, ia jadi pembela Islam yang tangguh karena untuk mecapai kebahagiaan sebagai umat yang satu tidak tersekat dinding chauvinisme. 

4. Transformasi Keempat: 
Mengubah pola interaksi manusia dari  yang semula hanya mengejar manfaat dan diikat hanya sukuisme, nasionalisme dan  atau negeri menjadi ikatan aqidah. 

Orang Islam itu merasa bersaudara dengan tidak peduli dari bangsa mana ia berasal. Umatan wahidah. Negeri Madinah itu sejak awal terdiri dari dua suku bangsa yakni: Aus dan Khazraj  konflik lebih dari 200 tahun. Dengan datangnya Islam mereka bersatu dalam aqidah. Perbedaan tidak mesti harus berhadap-hadapan untuk dipertentangkan dan bermusuhan. 

Tentu Anda paham betul bahwa Imam Malik (guru Imam Syafii) dan Imam Syafii saling mencintai, apakah mereka tidak ada perbedaan? Ada, bahkan banyak perbedaan hingga mencapai lebih dari 7000 perkara. Tapi, apakah mereka saling bermusuhan? Tidak! Mengapa? Karena mereka memiliki keikhlasan dan memiliki ilmu, tidak bodoh, tidak dungu, bukan avidya dan tidak anti intelektualisme. Mereka tetap bersatu padu. Coba kalau mereka tidak ikhlas dan bodoh pasti mereka bercerai berai dan bahkan bermusuhan. 

Ketidak ikhlasan dan kebodohan ternyata berakibat serius dalam menghadapi perbedaan. Haruskah perbedaan mesti dipersekusi? Persekusi dan permusuhan terjadi karena ketidakikhlasan dan kebodohan sehingga menyulitkan kita untuk berhijrah, dari kegelapan kepada cahaya kebenaran. 

Mengaapa hijrah itu justru belum terealisasi, bahkan seringkali diabaikan begitu saja? Kita seringkali sudah merasa puas dengan perbaikan pribadi dan urusan ibadah mahdhah semata. Belum ada ikhtiar keras untuk menyelamatkan agama dari fitnah. Padahal berbagai tuduhan sudah dilontarkan pada agama ini dan orang-orang yang berusaha menegakkan ketaatan kepada-Nya, hijrah menuju cahaya kebenaran. Tudingan radikalisme, anti-kebhinekaan, pemecah persatuan negeri, dll terus digaungkan untuk melabeli para aktivis dan tokoh agama. Bahkan berbagai tindakan persekusi terus dilakukan kepada para mubalig dan ulama hanya karena mereka ingin menyelamatkan negeri dengan petunjuk agama Allah SWT. 

Semangat penegakan syariah Islam dan ajaran Khilafah Islam justru dianggap sebagai ajaran yang akan merusak negeri. Padahal syariah Islam termasuk hilafah adalah bagian integral dari Islam dan telah disepakati sebagai sebuah kewajiban oleh para ulama Ahlus Sunnah. 

Oleh karena itu momentum Tahun Baru Hijrah 1443 H hendaknya tidak dijadikan rutinitas seremonial belaka, melainkan harus diambil maknanya. Maknanya, perubahan harus dilakukan. Caranya dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah sebagai aturan kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara, sekaligus meninggalkan aturan hidup jahiliah, sebagaimana yang berlaku saat ini. 

Hikmah: 

Allah SWT berfirman: 

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ 

Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) menuju cahaya (iman). Adapun orang-orang kafir, pelindung-pelindung mereka ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya (TQS al-Baqarah [2]: 257). 

Anda mau tetap diam tanpa melakukan melakukan atau turut serta ambil bagian dalam transformasi? Satu kata: hijrah! Itulah hakikat transformasi itu! Maukah Anda menjadi trigger perubahan di negeri ini karena perubahan pasti terjadi. Tentukan, di koordinat mana Anda berada. Koordinat kaum perusak (Okhlokrasi) ataukah menjari bagian dari kaum pembangun (Restorasi)? Pasca keambrukan komunisme dan kapitalisme dalam misinya "mensejahterakan dunia",  Islam hadir menawarkan solusi bagi dunia, khususnya negeri ini yang sedang dirundung duka, kini. 

Tabik...!!! 

Semarang, 15 Agutus 2021

Oleh: Pierre Suteki 

Posting Komentar

0 Komentar