Ma'rifatullah: Strategi Seorang Hamba Mengenal Allah dalam Tiga Dimensi


TintaSiyasi.com-- Kali ini topik yang akan dibahas lebih bersifat tasawuf. Para pembaca diminta untuk lebih teliti dalam memahami setiap uraian sehingga dapat memberikan kepahaman dan mampu menuntun jiwa kita untuk lebih mengenal Alloh (ma'rifatullah). Sebagai makhluk yang memiliki akal, manusia normal tentu juga akan memiliki adanya kesadaran tentang sebuah penciptaan dan yang menciptakan. Dari kesadaran itulah maka ia akan mampu menentukan perjalanan kehidupannya selanjutnya. Hal tersebut merupakan suatu gambaran tentang asas perjalanan ruhiyah manusia secara keseluruhan dalam mengenal Tuhannya, bagi seorang muslim tentu akan mengenal Tuhannya yaitu Allah SWT. Hal demikian lazimnya disebut sebagai ma'rifatullah, dengan ma'rifatullah ini manusia bisa mengetahui tujuan hidup yang sesungguhnya. Sehingga di dalam menjalani kehidupannya ia akan cenderung merasa tenang, lapang, dan penuh ketentraman. 

Di dalam al-Qur'an Allah telah menerangkan bagaimana apabila kehidupan manusia yang tidak mengenal Allah dan dengan secara benar, maka di dalam menjalani kehidupannya ia akan menyerupai kehidupan layaknya binatang. (QS,47:12). Namun dengan adanya ma'rifatullah, kehidupan seorang muslim akan tertata karena senantiasa terjaga dalam koridor aturan-aturan Allah SWT sehingga hidupnya dipenuhi dengan rahmat dan ridha Allah. Hal tersebut merupakan manifestasi dari kekokohan akidah serta kedekatan sejati seorang Muslim dengan Tuhannya, Allah SWT. 

Lalu, seberapa penting bagi seorang Muslim memahami hakikat akidah dan kedekatannya dengan Allah? Bagaimana gambaran secara detail bagi seorang Muslim yang memiliki kekokohan akidah Islam? Dan dampak apa saja yang akan dialami seorang Muslim jika tidak memiliki kekokohan akidah dan kedekatan diri kepada Tuhannya? Akankah tetap berujung pada kemuliaan ataukah justru akan berujung dalam kehinaan? Setidaknya dikenal ada 3 dimensi bagaimana seorang hamba muslim mengenal Alloh, yaitu (1) dimensi pendengaran, (2) dimensi pengenalan diri dan (3) dimensi akal. Ketiga dimensi itulah yang secara simultan akan membuka pengenalan hingga pengokohan akidah seorang hamba yang selanjutkan akan berdampak dalam pola kehidupannya.  

Pentingnya Seorang Muslim Memiliki Akidah yang Kokoh Khususnya dalam Mengenal Allah 

Akidah aqliyah merupakan hal paling utama yang harus dimiliki oleh orang beriman, dan seperti apa kondisi akidahnya kokoh ataukah dangkal akan sangat menentukan bagaimana perilaku kemuslimannya. Akidah ini bukan sekedar berasal dari perasaan yakin semata, namun keyakinan yang juga diperoleh dari proses berpikir. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani telah menjelaskan, yang dimaksud aqidah aqliyah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan hidup (biotik), serta hubungan ketiganya dengan Dzat yang ada sebelum dan setelah kehidupan dunia. Dari pemahaman yang benar seperti itu, maka memunculkan sebuah kesadaran dengan tiga pertanyaan besar di benak orang yang beriman: dari mana, untuk siapa dan akan kemana kehidupannya akan berakahir. 

Hal tersebut akan menjadi modal bagi manusia dalam mengenal dirinya, untuk apa ia diciptakan dan harus berpijak dengan apa sebagai bekalnya menuju kehidupan setelah kematian. Allah telah menjelaskan di dalam firmannya, bahwa tujuan kehidupan manusia yakni untuk beribadah kepadanya: 

"Wamaa khalaqtul jinna wa insa illaliya'buduun". Yang artinya: "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku" ( TQS 51:56). 

Hal ini menyiratkan arti bahwa adanya hak Allah dan hak kita sebagai makhluknya ciptaannya. Hak kita terhadap Allah yaitu menyembah dan tidak menyekutukannya. Adapun hak Allah terhadap hambanya yaitu tidak menyiksa dan memberi rahmat yang luas selama manusia beriman, taat (bertakwa) dan tidak melakukan kesyirikan (menyekutukan-Nya). 

Lalu bagaimana cara kita mengenal Allah? Yaitu dengan melihat segala kebesaran-Nya melalui segala penciptaan-Ny. Secara detail ada tiga sisi manusia dapat mengenal Allah, yaitu: 

1. Dari sisi pendengaran: kita mendegar tentang dzat Allah, nama-nama baik Allah (asma'ul husna). Bahkan manusia ketika lahir supaya diadzani dan diiqamati di telinganya supaya sejak awal dapat mengenal Allah. al-Qur'an menyebutkan bahwa Alloh memiliki nama-nama baik atau asmaul husna. Dalil yang menyebutkan bahwa Allah memiliki nama-nama terbaik (asmaul husna) misalnya tercantum dalam ayat ke-8 surat Thaha dan ayat ke-24 surat Al Hasyr. 

“Dialah Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai asmaul husna (nama-nama yang baik).” (TQS. Thaha: 8) 

“Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa, bagi-Nya nama-nama yang baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah yang maha perkasa lagi maha bijaksana.” (QS. Al Hasyr: 24). 

Selain memiliki dalil yang bersumber dari al-Qur'an, dalil asmaul husna juga diperkuat lewat hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari : “Sesungguhnya Allah mempunyai Sembilan puluh Sembilan nama, seratus kurang satu, barang siapa yang menghapalkannya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari). 

2. Dari sisi pengenalan diri kita sendiri. Siapa yang mengenal dirinya, maka akan mengenal Allah. Ketika manusia memandang kelemahan dirinya, tidak dapat menarik manfaat dan menghindar dari marabahaya. Allah yang memberi kemampuan kepada kita. Lahaula walaa quwata illa billahil'aliyil'adhiim. Dalam Quran ditegaskan bahwa manusia diciptakan bermula dari sari pati tanah. Kita perhatikan ayat dari al-Qur'an yang memberikan petunjuk ilmiah. 

Allah SWT berfirman: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu, Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal daging, dan segumpal daging itu, Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik." (QS Al-Mu'minuun: 12-14). 

3. Dari sisi akal. Allah menganugerahkan kepada manusia, berupa akal yang tidak diberikan kepada hewan. Akal untuk memahami segala ciptaan Allah yang dapat dijangkau oleh akal tersebut yaitu manusia, alam semesta dan kehidupan. Allah mencipatakan segala sesuatu tidak dengan sia-sia. Kita renungkan betapa maha kuasa Allah bagaimana menciptakan tumbuhan, hewan, manusia. Siapa yang menciptakan? Pasti ada yang menciptakan dan mengatur semua. 

Quran menyebutkan bahwa manusia yang menggunakan akalnya untuk berpikir tentang ciptaan Allah disebut sebagai ulil albab. Dalam hadist menyebutkan bahwa manusia bertafakurlah terhadap ciptaan Allah saja jangan terhadap dzat Allah. Siapakah ulil albab sesungguhnya? 

Ulil Albab adalah orang-orang yang berakal yang selalu berdzikir kepada Allah swt. Firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 190-191: 

“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (TQS Ali Imran : 190), yaitu، orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (TQS Ali Imran : 191) 

Ketika manusia tidak menggunakan akalnya untuk memikirkan kebesarannya, maka manusia akan menjadi seperti binatang ternak bahkan lebih rendah dari pada itu. Punya mata, hati dan telinga tidak dipakai untuk memahami ciptaan Alloh. 

Hal demikian telah Allah ingatkan dalam QS: Al A’raf: 179: 

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (TQS: Al A’raf: 179) 

Dalil akal yang menjelaskan adanya Allah juga bisa kita renungkan pada prinsip bahwa: "Tidak mungkin ada bangunan tanpa ada yang membangun. Tidak mungkin ada kemah panjang jika tanpa ada yang mendirikannya. Semua ini ada yang menciptakan." Allah menantang manusia untuk berpikir, apa manusia tidak melihat bagaimana unta diciptakan? Gunung, bumi, langit diciptakan? Semua ciptaan Allah itu bertasbih kepada Allah. 

Hal ini ditegaskan Allah melalui firman-Nya: 

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? Dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (TQS Al Ghaasyiah [88]: 17-20).  

Adanya Allah juga berdasar dalil akal sebagai berikut: "Adanya kotoran unta, pasti ada untanya. Jika ada bekas kaki, maka pasti ada yang lewat. Adanya alam semesta menunjukkan ada penciptanya." 

Suatu saat Abu Hanifah berdialog dengan kaum ateis: "Apakah masuk akal ada perahu yang berlayar di lautan dalam dan dihempas oleh ombak besar dan angin kencang kemudian dapat (tegak berdiri) selamat tanpa ada pengendalinya?" 

Orang ateis menjawab: "Tidak masuk akal!" 

Maka tidak mungkin perahu itu tanpa nahkoda. Begitu pula dengan alam semesta ini, pasti ada yang mengaturnya dan mengendalikan agar terjaga keteraturan tata surya. Siapa yang memandang langit dan bumi lalu dia tidak meyakini sang pencipta berarti akalnya fidak sehat dan hatinya tertutup. 

Alkisah ada dialog antara seorang ateis dengan seorang ulama dengan tujuan untuk membuktikan keimanan kita kepada Allah, sebagai berikut: 

Orang ateis bertanya: 

1. Adanya alam semesta ini pasti ada yang menciptakan, kalau begitu Allah ada pasti ada yang menciptakan, bukan?
2. Di syurga itu penghuninya tidak buang hajat, apa ini nalar? Bagaimana penghuni syurga membuang kotorannya?
3. Syetan itu akan disiksa dalam neraka, api. Apa iblis akan sakit padahal terbuat dari api? 

Jawaban ulama yang meyakinkan berikut ini dapat dipakai sebagai dalil, yakni: 

1. Kamu tahu angka 1, ia dapat menciptakan angka yang lain. Angka 1 ada dengan sendirinya? Tidak membutuhkan angka yang lain. Begitu pula Allah, ia bisa menciptakan tanpa membutuhkan yang lainnya. 

2. Ketika dalam kandungan ibumu, apakah kamu buang hajat? Bayi makan dari saripati makanan yang dimakan ibu. Begitu pula di syurga. Tidak ada kotoran, semua indah. Bahkan baru punya "krenteg" maka yang kita butuhkan langsung ada. Mangga pun langsung tumbuh. 

3. Orang ateis tadi ditampar pipinya oleh ulama.  Ia kesakitan. Kenapa sakit, padahal sama-sama bendanya antara telapak tangan dan pipi. Kenapa sakit? Maka meski terbuat dari api, setan pun akan dapat merasakan sakit dengan siksaan api neraka. 

Demikianlah, salah satu akidah ahlussunah wal jamaah terkait dengan 3 cara manusia mengenal Allah (ma'rifatullah). Sehingga kian kokohnya akidah/keyakinan seorang muslim terhadap Allah, guna menentukan bagaimana kualitas kemuslimannya di dalam menjalani kehidupan. 

Dampak Kekokohan Akidah Khususnya Pengenalan kepada Allah Terhadap Pola Kehidupan Seorang Muslim 

Secara umum dapat dikatakan bahwa sejatinya gambaran kokoh atau tidaknya akidah terhadap pola kehidupan seorang Muslim telah Allah umpakan dalam Al-Qur'an. Allah berfirman:  “Apakah orang-orang yang mendirikan bangunan (masjid)-nya di atas dasar ketakwaan kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam? (TQS. at-Taubah [9]: 109)” 

Dalam ayat tersebut dapat kita fahami bahwa kualitas bangunan keimanan seseorang itu tergantung dari pondasi yang menopangnya, bangunan Masjid bisa diumpamakan seperti bangunan atau kualitas keimanan seseorang terhadap Tuhan dan agamanya. Keimanan yang dilandasi dengan akidah yang kokoh akan membentuk pribadi yang bertakwa, mampu mengenali Allah sebagai Sang Pencipta yang harus ditaati segala aturannya di segala aspek kehidupan. Demikian sebaliknya, keimanan yang tidak dibangun oleh landasan akidah yang kokoh maka cenderung rapuh dan gampang rusak bahkan hancur. 

Hal tersebut membuktikan, bahwa akidah Islam yang kokoh juga merupakan pondasi kehidupan, baik kehidupan individu, masyarakat maupun negara, sekaligus merupakan sumber kebangkitan, yang akan menentukan kualitas umat ini. Dalam ranah individu, manusia sebagai makhluk lemah tentu memiliki potensi-potensi untuk melakukan kesalahan pula, termasuk dalam perkara keimanan, maka tidak jarang jika kita temui seseorang yang dengan mudah terperosok pada keyakinan yang menyimpang. Tentu hal ini oleh karena faktor betapa rapuhnya akidah dan pemahamannya yang menjadi landasan dalam hidupnya. 

Kekokohan akidah seorang Muslim akan menjauhkan dia dari hal-hal yang menyimpang terutama dalam cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah. Banyak yang terjerumus dalam cara-cara yang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam memupuk kedekatannya dengan Allah, sebagai contoh di tengah kita saat ini tidak jarang ditemukan keberadaan seseorang yang melakukan amalan-amalan atau lebih tepatnya ritual yang justru bertentangan dengan ajaran Islam, namun mengatasnamakan sedang berma'rifatullah. Ia lebih senang menyendiri, berdzikir dengan menjauhi kehidupan yang penuh dengan problematika dan kerusakan akidah umat, yang seharusnya ia turut dalam upaya perbaikan. Inilah kualitas dan keimanan yang diibaratkan seperti bangunan Masjid yang dibangun di atas jurang tadi. 

Padahal, sikap ma'rifatullah yang benar apabila seseorang ditopang dengan pemahaman bahwa Allah SWT adalah sang Maha Pencipta sekaligus Maha Pengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk atas kewajibannya sebagai hamba Allah yang mempunyai tanggung jawab untuk perduli atas seluruh problematika umat, dan berupaya menjadi bagian yang melakukan perbaikan di dalamnya. Bukan sibuk dengan amalan ibadahnya sendiri dengan alih-alih agar merasa dekat dan lebih mengenal Allah SWT. 

Kekokohan akidah seorang Muslim juga akan menjadikannya individu yang cerdas secara pemikiran, dari pemahaman dan ideologi yang lahir dari akidah Islam yang lurus ia akan memunculkan ide-ide brilian untuk menyelesaikan problem kontemporer di tengah umat, termasuk di bidang akidah atau keimanan ini. Kekokohan akidah dan pemikiran Islamnya, akan membentuk akhlak terpuji yang sangat penting dimiliki oleh seorang Muslim. 

Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: “Kemuliaan orang adalah agamanya, harga dirinya (kehormatan) adalah akalnya, sedangkan ketinggian kedudukan adalah akhlaknya”(HR. Ahmad dan Al-Hakim) 

Seorang Muslim dikatakan memiliki akhlak terpuji ketika ia mampu mencintai seluruh ajaran Islam, karena itu juga merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Seorang Muslim yang baik, tidak akan mencintai sebagian ajaran Islam, tetapi membenci sebagian lainnya atau menerima sebagian hukum Islam, tetapi menolak sebagian yang lain. Menjalankan sebagian amalan Islam, tetapi anti terhadap sebagian amalan Islam yang lain. 

Kekokohan akidah akidah seorang Muslim akan berimplikasi pada bagaimana ia dapat menjalankan ajaran Islam secara kaffah atau keseluruhan. Melaksanakan shalat, zakat, ibadah haji, bagi kaum Muslimah dengan senang hati menjalankan kewajiban menutup aurat dengan memakai kerudung dan jilbab. Ia juga akan menerima ajaran Islam seputar akhlak, poligami, jihad atau hudud. Memahami sistem ekonomi Islam, hingga penerapan hukum syariah secara formal dalam negara. Dan puncaknya dia akan secara terang-terangan menunjukkan penolakannya terhadap sistem politik demokrasi, yang notabene berasal dari ideologi Barat sekuler, dan memperjuangkan Khilafah yang merupakan sistem politik yang bersumber dari ajaran Islam, dan kewajiban penegakkan dari Allah dan Rasul-Nya. 

Itulah dampak kekokohan akidah seorang Muslim dalam pengenalan terhadap Allah sebagai Tuhannya secara hakiki dalam pola kehidupannya sehari-hari. 

Strategi Seorang Muslim Mengokohkan Akidah Pengenalan Kepaada Allah Menuju kKhidupan Islam Kaffah 

Sudah kewajiban dan ideal bagi seorang Muslim memiliki kekokohan akidah terhadap keimanannya terhadap Allah SWT dan Islam. Namun memang perkara Mengokohkan ini adalah sesuatu yang tidak mudah tatkala umat sekarang berada dalam alam kehidupan yang bersistem sekularisme, yang sudah menjauhkan sejauh-jauhnya umat Islam kepada ajaran agamanya secara keseluruhan. Maka ini menjadi tantangan tersendiri bagi kaum mukmin yang senantiasa berpegang teguh pada akidahnya. 

Seorang Muslim yang telah kokoh akidahnya hingga ia mampu mengenali Rabb ya secara benar, maka ia akan memegang teguh atau mentauhidkan Allah dengan segala kemampuan dalam aspek kehidupannya, ketauhidan yang bukan semata mengakui Dia sebagai Maha Pencipta saja, tetapi mengEsakan Allah SWT dalam ketuhanan-Nya. Baginya aturan hanya Allah SWT yang wajib ditegakkan dan dipatuhi di muka bumi. Dengan landasan yang demikian, maka ia akan berusaha turut dalam perjuangan yang memperjuangkan kehidupan Islam agar kembali lagi, sehingga Islam atau aturan Allah akan mampu diterapkan secara kaffah (keseluruhan). 

Atas dorongan itu, ia akan senantiasa berpegang dan mengokohkan akidahnya walau dengan penuh berbagai rintangan dan kesulitan di depan mata. Ajaran tauhid atau kekokohan akidah yang telah merasuk dalam diri seorang Muslim, akan membuat dirinya bergerak untuk melakukan perubahan melawan kesyirikan dan kezaliman. Hal demikianlah yang telah terlebih dahulu dicontohkan oleh para Nabi, Rasul dan para sahabat. Ada banyak sekali peristiwa yang dihadapi para Rasul dan Nabi maupun para sahabat dalam kekokohan akidah, hingga Islam berhasil diterapkan secara kaffah di bawah kepemimpinan Rasulullah dan Khalifah penerusnya. 

Dengan kalimat tauhid, Nabi Ibrahim as. berani menghancurkan berhala-berhala sesembahan kaumnya, berhadapan dengan Raja Namrudz yang zalim, bahkan merelakan dirinya dibakar hidup-hidup. Dengan dorongan kalimat tauhid Nabi Musa as. bersama Nabi Harun as. berani menghadapi Firaun bersama tukang sihir dan pasukannya. Mereka dikejar-kejar oleh pasukan Firaun sampai akhirnya Allah SWT menenggelamkan Firaun yang sombong bersama pasukannya ke dasar Laut Merah. 

Demi kalimat tauhid Rasulullah SAW Dan para sahabat serta orang-orang shalih rela mengorbankan harta dan jiwa mereka di jalan Allah SWT. Mushab bin Umair ra. meninggalkan kemewahan hidupnya dan kasih sayang kedua orangtuanya demi memilih berada di barisan pendukung kalimat tauhid. Ia rela hidup sederhana bahkan nyaris kekurangan, ketimbang kembali dalam kemewahan tetapi menggadaikan akidahnya. 

Karena kalimat tauhid Bilal bin Rabbah ra. sanggup menahan panasnya padang pasir yang membakar punggungnya dan beratnya batu yang ditimpakan di atas dadanya saat ia disiksa oleh majikannya, Umayyah bin Khalaf. Bibirnya malah terus mengumandangkan kalimat tauhid, “Ahad…ahad!”. Berkat kalimat tauhid pula pasangan suami-istri yang dhuafa, Yasir dan Sumayyah binti Khayyat ra., berani menantang kekejaman Abu Jahal dan para begundalnya saat keduanya mengalami penyiksaan hebat. Saat itu Rasulullah saw. dan kaum Muslim tak dapat menolong mereka. Nabi saw. hanya bisa menyampaikan kabar bahwa Allah SWT telah menyiapkan surga sebagai balasan atas keteguhan akidah mereka di jalan tauhid. “Bersabarlah keluarga Yasir, tempat kalian yang telah Allah janjikan adalah surga ” (HR al-Baihaqi). 

Mendapatkan kabar menggembirakan demikian, Sumayyah binti Khayyat, bersukacita dengan mengatakan, “Sungguh aku telah melihat surga itu dengan jelas, wahai Rasulullah!” Hingga Sumayyah pun bertahan dalam kalimat tauhid sampai Abu Jahal menikam dirinya dengan tombak hingga syahid. Suaminya, Yassir, juga syahid demi mempertahankan kalimat tauhid. 

Serangkaian peristiwa demikian dapat kita teladani sebagai strategi kita agar senantiasa dapat mengokohkan akidah kepada Allah SWT. Dengan keteguhan tersebut akan membuat orang yang lemah menjadi kuat, dan melahirkan ketaatan mutlak hanya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Ketaatan yang meniscayakan bahwa pembuat hukum yang wajib ditaati hanyalah Allah SWT. Dialah sebaik-baik pembuat aturan bagi manusia. Ketika seorang manusia tidak mau berhukum pada hukum Allah dan Rasul-Nya, tentu akidahnya akan ternoda. Allah SWT berfirman: 

“Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim atas perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada keberatan di dalam hati mereka atas putusan yang kamu berikan dan mereka menerima keputusan itu dengan sepenuhnya” (TQS an-Nisa [4]: 65). 

Ketaatan pada hukum Allah SWT secara kaffah (keseluruhan adalah refleksi akidah atau ketauhidan seorang Muslim. Ia tidak akan menjadikan syariah Islam sebagai perkara yang boleh dipilih sesuka hati. Ia memahami bahwa memilih dan memperjuangkan syariah Islam adalah kewajiban. Dengan pondasi keimanan yang kokoh tersebut akan menjauhkannya diri dari sikap sombong dan meremehkan hukum-hukum Allah. Dan akan secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan sistem demokrasi dan kapitalisme yang notabene lahir dari hawa nafsu manusia. Maka artinya, jika seorang Muslim mengklaim diri telah mengenali Allah sebagai Dzat Maha Pencipta, maka baginya tidak ada hukum atau aturan yang wajib ia laksanakan selain aturan-aturan Allah SWT atau syariah Islam, dan wajib diterapkan secara keseluruhan dalam institusi pemerintahan/negara. 


Dari uraian tersebut maka kami tarik kesimpulan sebagai berikut: 

Akidah aqliyah yang kokoh merupakan hal paling utama yang harus dimiliki oleh orang beriman, karena kokoh ataukah dangkal akidahnya akan sangat menentukan bagaimana perilaku kemuslimannya. Akidah ini bukan sekedar berasal dari perasaan yakin semata, namun keyakinan yang juga diperoleh dari proses berpikir. Dari pemahaman yang benar seperti itu, maka memunculkan sebuah kesadaran dengan tiga pertanyaan besar di benak orang yang beriman: dari mana, untuk siapa dan akan kemana kehidupannya akan berakahir. Hal tersebut akan menjadi modal bagi manusia dalam mengenal dirinya, untuk apa ia diciptakan dan harus berpijak dengan apa sebagai bekalnya menuju kehidupan setelah kematian. 

Kekokohan akidah seorang Muslim akan menjauhkan dia dari hal-hal yang menyimpang terutama dalam cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah. Banyak yang terjerumus dalam cara-cara yang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam memupuk kedekatannya dengan Allah. Ia lebih senang menyendiri, berdzikir dengan menjauhi kehidupan yang penuh dengan problematika dan kerusakan akidah umat, yang seharusnya ia turut dalam upaya perbaikan. Inilah kualitas dan keimanan yang diibaratkan seperti perumpamaan bangunan Masjid yang dibangun di atas jurang. 

Kekokohan akidah seorang Muslim juga akan menjadikannya individu yang cerdas secara pemikiran, dari pemahaman dan ideologi yang lahir dari akidah Islam yang lurus ia akan memunculkan ide-ide brilian untuk menyelesaikan problem kontemporer di tengah umat, termasuk di bidang akidah atau keimanan ini. Kekokohan akidah dan pemikiran Islamnya, akan membentuk akhlak terpuji yang sangat penting dimiliki oleh seorang Muslim. 

Kekokohan akidah akidah seorang Muslim akan berimplikasi pada bagaimana ia dapat menjalankan ajaran Islam secara kaffah atau keseluruhan. Melaksanakan shalat, zakat, ibadah haji, bagi kaum Muslimah dengan senang hati menjalankan kewajiban menutup aurat dengan memakai kerudung dan jilbab. Ia juga akan menerima ajaran Islam seputar akhlak, poligami, jihad atau hudud. Memahami sistem ekonomi Islam, hingga penerapan hukum syariah secara formal dalam negara. 

Seorang Muslim yang telah kokoh akidahnya hingga ia mampu mengenali Rabb ya secara benar, ia akan memegang teguh atau mentauhidkan Allah dengan segala kemampuan dalam aspek kehidupannya, ketauhidan yang bukan semata mengakui Dia sebagai Maha Pencipta saja, tetapi mengEsakan Allah SWT dalam ketuhanan-Nya. Baginya aturan hanya Allah SWT yang wajib ditegakkan dan dipatuhi di muka bumi. Dengan landasan yang demikian, maka ia akan berusaha turut dalam perjuangan yang memperjuangkan kehidupan Islam agar kembali lagi, sehingga Islam atau aturan Allah akan mampu diterapkan secara kaffah (keseluruhan). 

Atas dorongan itu, ia akan senantiasa berpegang dan mengokohkan akidahnya walau dengan penuh berbagai rintangan dan kesulitan di depan mata. Ajaran tauhid atau kekokohan akidah yang telah merasuk dalam diri seorang Muslim, akan membuat dirinya bergerak untuk melakukan perubahan melawan kesyirikan dan kezaliman. Hal demikianlah yang telah terlebih dahulu dicontohkan oleh para Nabi, Rasul dan para sahabat.[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum., (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Liza Burhan (Analis Mutiara Umat dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)


Posting Komentar

0 Komentar