Dugaan Unfairness Penanganan Perkara H412S: Inikah Praktik Bifurkasi Negara Hukum Menjadi Negara Kekuasaan?


TintaSiyasi.com-- “Ketidakadilan itu bisa mengundang adza (penyakit-pen). Ketidakadilan itu bisa mengundang musibah dan bencana.” Seru H412S saat bersaksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur terkait dugaan pelanggaran prokes (Kanal YouTube FIVA TV). Peringatan H412S tersebut sekaligus jeritan nuraninya atas perlakuan sewenang-wenang yang diterima, hingga kini ia berada di rumah tahanan.

Kepulangan H412S ke tanah air pada Selasa (10/11/2020), tak hanya menjadi top of mind publik. Pascanya, H412S justru terjerat dalam rentetan kasus. Setidaknya ada empat kasus mengemuka, yaitu kasus kerumunan massa di Petamburan, kerumunan Megamendung, dugaan penyalahgunaan lahan PTPN VIII hingga kasus tes swab di RS Ummi. Sebelum kepergiannya ke Arab Saudi, H412S pun terkena beberapa kasus hukum. Dari kasus chat mesum, dugaan penghinaan Pancasila, insiden Monas, hingga dianggap menghina kepolisian yang berujung bui.

Tak hanya H412S seorang yang merasakan ketidakadilan. Front Pembela Islam (FP1) yang dipimpinnya, juga kandas di tengah jalan. FP1 dibubarkan melalui SKB Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung RI, Kapolri dan Kepala BNPT tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FP1, Rabu (30/12/2020). Tak hanya itu. Kasus unlawful killing atas penembakan enam laskar FP1 yang dilakukan oleh polisi di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek pada Senin dini hari (7/12/2021), juga menambah elegi penegakan hukum di negeri ini. 

Tak salah jika berbagai kalangan umat Islam menilai, aroma unfairness (ketidakadilan) begitu menyengat di balik kasus H412S. Publik lantas membandingkan kasus kerumunan H412S dengan kerumunan proses Pilkada serentak (9/12/2020), pesta yang dihadiri artis dan mantan pejabat pada Rabu malam (13/1/2021), ketika presiden berkunjung ke Maumere, Nusa Tenggara Timur, Selasa (23/2/2021), hingga kehadiran presiden dan beberapa pejabat tinggi negara di resepsi pernikahan pasangan selebritis, Sabtu (3/4/2021). Publik mempertanyakan, mengapa hanya H412S yang diproses hukum hingga pejabat terkait dicopot jabatannya. Bukankah H412S telah membayar denda 50 juta sehingga semestinya bebas dari proses pengadilan. Dalam situasi seperti ini, ditengarai telah terjadi bifurkasi (pembelokan) dari negara hukum menuju negara kekuasaan.


Unfairness dan Unlawfull Justice, Wajah Hukum Penanganan Perkara H412S

Sejak awal penahanan H412S (12/12/2021), dugaan terjadinya trial without truth and justice menguat. Terlebih jika persidangan dilaksanakan dengan prinsip online trial sebagaimana kekhawtiran terdakwa dan penasihat hukum H412S. Atas buzzing netizen serta protes H412S dan penasihat hukumnya, majelis hakim mencabut penetapan sidang online dan menetapkan persidangan offline, sehingga H412S dapat hadir langsung melakukan pembelaan di hadapan jaksa dan majelis hakim.

Sebagaimana diketahui, H412S dikenai pasal berlapis atas dakwaan melakukan penghasutan terkait kerumunan di Petamburan. Jika melihat luas dan berlapisnya pasal yang menjerat H412S, tampaknya sulit sekali berkelit, menghindar apalagi lepas darinya. Kendati sudah ada penetapan sidang offline, banyak pihak masih mengkhawatirkan soal fairness dalam offline trial ini, sehingga proses peradilannya berpotensi terjadi unlawfull justice, yakni peradilan yang justru diwarnai oleh ketidakpatuhan pada hukum (justice against the law). 

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan mengingat telah banyak unfairness yang dialami H412S terkait dugaan pelanggaran prokes Covid-19 di tiga lokasi: bandara, Megamendung dan Petamburan. Beberapa unfairness itu misalnya: 

1. Penetapan tersangka tanpa melalai pemeriksaan pendahuluan;
2. Penahanan tersangka tanpa pemeriksaan hingga substansi pokok perkara;
3. Pembunuhan atas enam laskar secara unlawfull killing;
4. Penutupan rekening pribadi dan organisasi Efpiai;
5. Pemaksaan sidang online yang diskriminatif;
6. Pemeriksaan di Pengadilan yang tidak sesuai dengan locus delicti;
7. Penjeratan pasal-pasal berlapis (pukat harimau), khususnya Pasal 160, 216 KUHP, UU Kes dll yang tidak proporsional;
8. Penghadangan lawyer masuk ke ruang sidang;
9. Ada potensi nebis in idem atas perkara yang sudah didenda 50 juta rupiah;
10. Pembubaran ormas Efpiai yang dilakukan oleh pemerintah terkesan tidak adil;
11. Pelarangan bagi pendakwah “ormas terlarang” (Efpiai dan Hatei) tampil di stasiun televisi berdasarkan Surat Edaran Komisi Penyiaran Indonesia (SE KPI) Nomor 2 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Siaran pada Bulan Ramadhan. 

Fakta-fakta tersebut membuat banyak kalangan ragu apakah sidang H412S secara offline pun berjalan fair dan independen, tanpa tekanan pihak lain. Justru yang muncul adalah kesan "perkara ini harus goal" hingga H412S masuk penjara. Maka, tidaklah berlebihan jika Tim Advokasi H412S mengajukan Eksepsi (Nota Keberatan) berjudul "Mengetuk Pintu Langit Menolak Kezaliman Menegakkan Keadilan” atas surat dakwaan Saudara Penuntut umum Reg. Perkara No. PDM- 011/JKT.TIM/Eku/02/2021. 

Miris menyaksikan style penegakan hukum di Indonesia ini yang terkesan mengutamakan tindakan memukul daripada merangkul terhadap ormas dan atau orang yang dinilai berseberangan dan mengkritisi pemerintah. Sebuah elegi hukum dipertontonkan oleh para penegak hukum di negara yang mengaku dirinya sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan. Tak salah jika disebut telah terjadi bifurkasi (pembelokan) dari negara hukum ke negara kekuasaan. 

Tampaknya benar, ilmu hukum dan ilmu politik tidak lagi diperlukan di negara ini. Penegakan hukum tidak perlu menggunakan ilmu hukum, cukup ilmu aturan yang tidak beraturan bahkan chaos karena diracuni oleh arogansi kekuasaan. Kondisi ini menyebabkan krisis penegakan hukum yang didesain dengan slogan "negara tidak boleh kalah dan aparat dilindungi hukum". Cacat hukum dalam memproduksi keputusan hukum pun tidak dapat dihindari. Proses penanganan perkara H412S telah menguatkan dugaan adanya unfairness dan unlawfull justice. Padahal unlawfull justice adalah pintu masuk elegi kehancuran penegakan hukum dan HAM di negeri ini. 

Akibat Jika Unfairness terhadap H412S dan Kalangan Ulama Kritis Terus Terjadi

Indonesia ialah negara hukum. Demikian deklarasi Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Dan sebagaimana konsepsi Gustav Radbruch, hukum memiliki tiga nilai dasar sekaligus menjadi dasar keberlakuannya. Ketiga nilai dasar itu disebut dengan Triadisme. Triadisme itu adalah: secara filosofis mengandung nilai keadilan (justice), secara yuridis memiliki nilai kepastian (certainty), serta secara sosiologis ada nilai expediency (kebaikan, kebijaksanaan/wisdom, kemanfaatan/utility, dll).

Pertanyaannya adalah, apakah hukum kita sudah adil, pasti dan manfaat khususnya terhadap kesejahteraan sosial atau social welfare yang oleh Brian Z. Tamanaha disebut sebagai "the thickest ROL?" Tiga nilai dasar hukum tersebut saat belum dapat diwujudkan, akan nampak pada fakta antara lain: diskriminatif (non equality before the law)---the unjust law is not law--lex injusta non est lex, ngaret, ketimpangan, kesengsaraan, kemiskinan, ketidakbebasan, opresi, persekusi dan lain-lain.

Terkait proses penanganan perkara H412S, nampak bahwa ketiga nilai dasar hukum tersebut belum terealisasi. Tak hanya menimpa diri H412S. Unfairness dan unlawfull justice juga mewarnai proses hukum kalangan ulama, ustaz dan aktivis Muslim yang dikenal kritis, serta berseberangan dengan kepentingan penguasa. Sebut saja, Ustaz ABB yang baru bebas setelah dipenjara sekitar 15 tahun. Atau Ustaz Ali Baharsyah yang dipenjara dengan tuduhan ujaran kebencian terhadap penguasa.   

Dalam dinamika sejarah perjuangan Islam, kriminalisasi ulama memang bukan hal baru. Demi kebenaran, banyak ulama berani mengkritik penguasa. Merekalah ulama lurus yang tidak silau dengan iming-iming penguasa dan kepentingan dunia. Benar dikatakan benar. Salah dikatakan salah. Hadits Nabi SAW tentang keutamaan jihad di hadapan penguasa yang zalim nan tiran dipegang teguh. Meski berbalas ketidaknyamanan, hidup di tahanan, penyiksaan, hingga syahid di tiang gantungan.  

Sejak awal era kenabian, Rasulullah SAW sempat memverifikasi kepada Waraqah Naufal tentang tantangan yang akan ia hadapi ketika membawa kebenaran Islam. Saat itu beliau bersabda, “Tidak ada seorang pun yang datang membawa kebenaran seperti yang kamu bawa, melainkan pasti dimusuhi.” (HR. Bukhari)

Saat unfairness (ketidakadilan/kezaliman) tengah berlangsung, pelaku kezaliman seolah berada dalam posisi benar dan menang. Sebaliknya, korban ketidakadilan seperti HA12S menjadi terdakwa, disalahkan dan kalah. Namun, situasi semacam ini berpotensi memberikan akibat buruk bagi sang pelaku. Berikut ini beberapa akibat jika unfairness terus terjadi terhadap H412S dan kalangan ulama kritis: 

Pertama, kian meneguhkan citra buruk penguasa sebagai rezim zalim anti-Islam. Meskipun selama ini menolak sebutan tersebut -- hingga mengangkat kyai sebagai Wapres demi menepisnya – namun, realitas penanganan proses hukum beberapa kasus menunjukkan hal tersebut. Pun, berbagai kebijakan dirilis bertarget mengeliminasi kalangan umat Islam yang selama ini kritis dalam kerangka amar makruf nahi mungkar terhadap polah penguasa. 

Terlebih, dalam kasus H412S ini aroma politisnya sangat kental. Diduga, terkait "dendam politik" Pilkada DKI yang bukan hanya kalah, tetapi Ahok juga masuk bui dua tahun akibat TP Penistaan Agama. Kedua kejadian ini banyak disebabkan oleh pengaruh umat Islam khususnya Efpiai dan Hatei. 

Kedua, berpotensi terjadinya distrust rakyat. Adanya "lack" pada ketiga nilai dasar hukum tersebut dapat menggerus modal social trust menjadi distrust. Perbedaan sikap penguasa terhadap kerumunan H412S dan kerumunan-kerumunan lain, telah membuka mata masyarakat. Ditambah berbagai paradoks kebijakan selama masa pandemi Covid-19 yang membingungkan rakyat dan berkontribusi pada terus naiknya angka positif Covid-19, trust rakyat terhadap penguasa kian menurun. 

Ketiga, berpotensi memunculkan sikap civil disobedience (pembangkangan sipil). Distrust akan menjadi trigger munculnya sikap civil disobedience. Rakyat akan bersikap apatis, yaitu acuh tak acuh terhadap kebijakan penguasa dan tak mau menaatinya. 

Keempat, rezim penguasa berpeluang runtuh di puncak kekuasaannya. Menilik fragmen sejarah yang mungkin berulang, tumbangnya sebuah kekuasaan justru terjadi saat penguasa berada di puncak kezalimannya. Sebagaimana Fir’aun yang ditenggelamkan Allah di Laut Merah di puncak kekuasaan namun bertabur kezaliman.

Kelima, berpotensi mengantarkan pada matinya sistem pemerintahan (demokrasi) yang tengah berlangsung. Penguasa yang bertindak tidak adil biasanya berkarakter otoriter. Dalam bukunya How Democracies Die, Levitsky dan Ziblatt menyatakan bahwa kematian tak disadari terjadi selangkah demi selangkah, dengan: terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah dan penindasan total atas oposisi. Ketiga langkah ini sedang terjadi di seluruh dunia. Pun termasuk di negeri kita, Indonesia.

Demikianlah akibat yang mungkin terjadi kala unfairness terhadap H412S dan kalangan ulama kritis terus berlangsung. Pelaku kezaliman lupa bahwa tiap kekuasaan itu ada usianya. Pun mereka lalai bahwa tiap kezaliman memiliki (nishab) batasannya, yaitu hukuman Allah kepada pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat. Kian banyak kezaliman yang dilakukan, maka doa-doa orang yang terzalimi akan mengetuk pintu-pintu langit. Ketika telah mencapai nishabnya, Allah akan menghukum dan menghinakan pelakunya. 

Strategi Umat Islam Menghadapi Unfairness terhadap H412S dan Kalangan Ulama Kritis

Jelaslah bahwa terjadi unfairness dalam proses penanganan perkara H412S. Lantas, ketika menyaksikan ketidakadilan terjadi, apakah kita sebagai umat Islam akan tinggal diam? Tentu tidak. Terlebih H412S adalah seorang ulama. Pada dirinya, sosok pewaris Nabi disematkan. 

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tanganmu. Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisanmu. Dan jika tidak mampu, maka (tolaklah) dengan hatimu. Dan ini selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Hadits di atas mengingatkan kaum Muslimin agar tidak berdiam diri terhadap setiap bentuk kemungkaran yang terjadi. Maka, menghadapi unfairness yang menimpa H412S dan kalangan ulama kritis adalah:

Pertama, menjadikan kasus H412S sebagai entry point dan sarana mengedukasi masyarakat tentang buruknya penegakan hukum oleh penguasa.

Kedua, mengajak masyarakat untuk menolak segala bentuk ketidakadilan. Sekaligus menumbuhkan keberanian serta mengajak masyarakat agar tak segan melakukan amar makruf nahi mungkar, khususnya kepada penguasa saat berlaku tidak adil dalam penegakan hukum dan ketika tak memenuhi hak-hak rakyat. 

Ketiga, menggambarkan idealitas penegakan hukum yang berpihak pada kemaslahatan umat. Juga mendeskripsikan berbagai kisah penerapan hukum Islam dalam lintasan sejarah agar umat Islam mengetahui kebaikannya, dan termotivasi mewujudkan dalam kehidupan saat ini. 

Keempat, menumbuhkan kehendak umat untuk terlepas dari berbagai ketidakadilan yang terjadi akibat penerapan sistem sekularisme liberal, yang tidak memberikan penghormatan kepada ulama, bahkan memusuhinya. 

Kelima, mengajak semua elemen masyarakat bersama-sama memperjuangkan penerapan syariat Islam kafah sebagai solusi total atas berbagai problem (termasuk ketidakadilan terhadap ulama) akibat eksistensi penguasa dan sistem zalim.

Demikianlah beberapa strategi umat Islam menyikapi unfairness yang menimpa H412S dan ulama kritis lainnya. Semoga Allah SWT memberikan perlindungan kepada H412S dan menjadi motivasi bagi umat Islam untuk terus berjuang mewujudkan sistem dan penguasa yang menyayangi dan melindungi para ulama, sang warasatul anbiya.[]


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H. M.Hum., (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)
Dosen Online Uniol 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar