Uighur menanti kubur
Saat kita tidur mendengkur
Dan mimpi yang tiada akhir
Uighur terus disangkur
Saat kita asyik berlibur
Dan kegembiraan tak pernah luntur
Uighur babak belur
Saat kita menghitung uang lembur
Dan tenggelam dalam kesenangan yang tak pernah lapur
Uighur dibentur-bentur
Saat kita asyik tafakur
Bukan sebab dosa sebanyak butiran debu di padang pasir
Tapi syahwat yang selalu lapar
Dan pikiran yang selalu saja sumir
Xinjiang malang
Diterkam para binatang jalang
Tak lekang terus menerjang
Tak sayang dunia memandang
Xinjiang hanya dikenang
sebatas benang di ujung selendang
Mojang yang dirindu pulang
Xinjiang terus mengerang
Menahan beban duka segudang
Bukan sebab ditendang si iblis jalang
Tapi geram melihat para penguasa pecundang
Yang selalu memilih menjadi banci di terang siang
Dan bangga menghamba pada asing dan aseng
Seperti anjing yang melenggang senang
Hanya dilempar sekerat tulang belulang
Uighur maafkan kami
Yang selalu memilih berdiam diri
Sesekali berdemonstrasi
Agar kami disebut peduli
Sungguh bukan kami tak punya nyali
Tapi penguasa kami
selalu memilih menjadi banci
Tak pernah mau jadi lelaki
Meski cuma sehari
Xinjiang maafkan kami
Yang hanya menulis puisi tanpa arti
Bukan menghunus sebilah belati
Menikam anjing-anjing komunis musuh sejati
Sekadar membalas luka tak terperi
Perih di dada dan hati ini
Sampai kapan terus begini?
Oleh: Ustadz Arief B Iskandar
Bandung, 20/12/2018.
0 Komentar