Peran Ulama dalam Proses Perubahan Global


TintaSiyasi.com -- Allah SWT. sangat mengagungkan ilmu dan meninggikan setinggi mungkin derajat para ulama. Rasulullah saw. bersabda:

فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ
Keutamaan seorang alim (berilmu) dari seorang abid (ahli ibadah) adalah seperti keutamaanku dari orang yang paling rendah di antara kalian (HR at-Tirmidzi).
 
Ulama memperbaiki akidah (keyakinan) yang rusak, menjelaskan pemikiran yang salah serta menyuarakan kebenaran dengan penuh keberanian, keterusterangan dan kekuatan pikiran (argumentasi). Ulama, ketika berada di jalan Allah, tidak takut celaan orang yang suka mencela dan menyalahkan dirinya. Ia tidak peduli dengan kedudukan orang yang mencela dirinya, apakah penguasa atau bukan. Karena itu dengan penuh keberanian, keterusterangan dan kekuatan pikiran (argumentasi), para ulama menentang semua yang bertentangan dengan syariah, dan menyerang semua kebatilan. Artinya, para ulama itu sangat konsisten dengan agamanya. Jika sikap seperti ini wajib bagi seorang Muslim, tentu itu akan lebih wajib bagi para ulama.

Ulama rabbani yang mengamalkan ilmunya tidak mengenal rasa takut atau pengecut. Ia dihormati oleh rakyat, ditakuti oleh penguasa. Ucapan yang keluar dari lidahnya mampu menggerakkan umat dan mengguncang para penguasa. Semua itu sebabnya tidak ada lain selain ilmu. Karena ilmulah Allah SWT memuliakan ulama dan menghiasi hatinya. Terpancar dari para ulama kewibawaan, ketenangan kesabaran dan ketakwaan. Sebabnya, mereka hanya takut kepada Allah semata. Mereka menentang setiap penguasa yang telah menyimpang dari jalan yang lurus. Tidak peduli seberapa kuat dan perkasanya penguasa itu. Bahkan fitnahan dan siksaan tidak dapat mengubah atau memalingkan para ulama agar memihak pada kepentingan para penguasa. Bahkan para ulama siap menanggung semua bahaya dan kesulitan di jalan dakwah ini. Ini karena mereka telah memahami makna firman Allah SWT:

وَإِذۡ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهُۥ لِلنَّاسِ وَلَا تَكۡتُمُونَهُۥ ١٨٧
(Ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), “Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan jangan kalian menyembunyikan isinya.” (QS Ali Imran [3]: 187).
 
Negara Khilafah dalam sejarahnya yang panjang penuh dengan jejak-jejak besar para ulama rabbani ini. Ini tercatat dalam sikap mereka yang luar biasa terhadap para penguasa, yaitu sikap-sikap yang dicirikan oleh kejujuran dan keberanian, juga keikhlasan yang tercermin dalam ketundukan mereka kepada Allah dan agama-Nya yang benar. Itulah sebabnya kami menemukan di antara mereka yang begitu lantang mengecam para penguasa karena perbuatan dan kebijakan buruknya. Kami juga menemukan di antara mereka ada yang menasihati para penguasa, menolak pemberiannya, serta sabar dengan cobaan mereka. Di antara mereka ada yang berusaha menghadapi mereka dengan pernyataan yang haq, jelas, berani dan tidak ambigu, tanpa kata metafora atau metonimia. Itu karena mereka tidak takut celaan para pencela. Kemudian kami melihat mereka begitu taat beribadah di dalam penjara, menulis, membimbing manusia kepada apa yang bermanfaat bagi mereka di dunia dan akhirat. Mereka adalah lilin yang bersinar dan lampu yang menerangi, kemana pun mereka pergi dan bepergian.

Sayang, setelah Khilafah menjadi negara pertama di dunia selama hampir seribu tahun atau lebih, juga setelah Khilafah diruntuhkan oleh kaum kafir penjajah melalui tangan penjahat Mustafa Kamal pada tanggal 28 Rajab 1342 H/3 Maret 1924 M, banyak ulama yang lambat dalam mengemban Panji Islam. Banyak dari mereka yang tidak benar-benar mendukung kebenaran, mencegah kebatilan, melakukan amar makruf nahi mungkar, meminta pertanggungjawaban para penguasa. Mereka tidak mengikuti jejak para pendahulu mereka yang shalih dari kalangan ulama rabbani untuk membuat apa yang menimpa umat menjadi kemenangan yang nyata, juga mengembalikan Islam pada posisinya yang utama, dengan melanjutkan kehidupan Islam.

Banyak dari para ulama ini—kecuali beberapa orang yang tidak akan sepi dari orang-orang seperti mereka sampai Kiamat tiba—telah berubah menjadi agamawan menurut konsep Barat. Konsep ini adalah salah satu konsep Barat yang paling berbahaya dan jahat. Istilah ini mengandung konsep yang berbahaya serta makna yang rusak dan buruk. Istilah ini biasa digunakan orang Barat untuk merujuk pada pendeta, biarawan dan uskup. Para agamawan ini puas dengan situasi ini. Mereka menjadi independen dengan otoritas spiritual, sementara para politisi mempertahankan otoritas duniawi. Ini mengakibatkan pemisahan agama dari kehidupan, selanjutnya pemisahan agama dari negara, pemerintahan dan politik. Konsep agamawan Barat ini lalu difokuskan untuk ulama kaum Muslim. Akibatnya, banyak ulama yang meninggalkan tanggung jawab mereka terhadap masalah-masalah umat mereka. Perhatian mereka terbatas pada aturan ibadah individu. Mereka puas menjadi pengikut, bukan menjadi orang yang diikuti. Bahkan mereka lebih memilih kehidupan dunia daripada akhirat.

Namun demikian, di tengah umat Islam masih ditemukan sekelompok ulama rabbani yang mengikuti jalan pendahulu mereka, yaitu para ulama yang mengamalkan ilmu mereka. Di antara para ulama ini adalah:

Syaikh Muhammad Syakir rahimahulLaah.
Beliau wafat pada tahun 1939 M. Pada tahun 1900 M beliau diangkat sebagai Kepala Hakim di Sudan, kemudian Beliau pindah ke Kairo untuk membantu Syaikh Al-Azhar, yang diangkat menjadi wakil Masjid Al-Azhar pada tahun 1909 M. Beliau adalah ayah dari Al-‘Allaamah al-Muhaddits, Ahmad Muhammad Syakir rahimahulLaah, dan ayah dari Syaikh al-Arabiyah dan pembawa panji-panjinya, Mahmud Muhammad Syakir rahimahulLaah.

Di antara sikap Syaikh Muhammad Syakir rahimahulLaah yang paling terkenal adalah ketika beliau di hadapan Sultan Hussein Kamel Ibnu Khedive Ismail, yang disebut Sultan Mesir. Saat itu beliau sedang shalat Jumat di Abdeen. Mereka memanggil Muhammad al-Mahdi untuk raja  sebab raja ingin shalat di belakang dia. Jumat kali ini setelah Dr. Taha Hussein kembali dari misinya ke Prancis. Dia memperoleh gelar doktor. Dia disambut dengan hangat dan penghormatan secara resmi. Jadi sang khathib, Muhammad al-Mahdi, ingin memuji Sultan Mesir, Hussein Kamel, atas perhatiannya terhadap Dr. Taha Hussein. Al-Mahdi berkata, “Dia tidak cemberut (bermuka masam) dan tidak berpaling ketika datang orang yang buta.”

Ini adalah ta’rîdh yang berisi penghinaan terhadap Nabi saw. dan keterlaluan dalam menilai sikap Nabi saw. terhadap Sahabat yang buta, Abdullah bin Umm Maktum ra. Setelah selesai shalat, Syaikh Muhammad Syakir rahimahulLaah berdiri. Saat itu beliau adalah wakil Masjid Al-Azhar. Beliau berkata, “Wahai manusia! Shalat kalian tidak sah karena khathibnya telah kafir!”

Ketika suatu fitnah terjadi di hadapan penguasa, Syaikh Muhammad Syakir tidak menunggu izin Sultan untuk menyuarakan kebenaran, memperbaiki kesalahan dan beramar makruf nahi mungkar. Karena itu suaranya tetap bergema, “Wahai manusia! shalat kalian tidak sah, karena khathib kalian adalah seorang kafir!”

Tal cukup dengan itu. Syaikh Muhammad Syakir pergi ke Istana Sultan Hussein Kamel. Beliau menyerahkan fatwa tertulis kepada Sultan, mengundang Sultan untuk mengulang shalat, dan menjelaskan kepada Sultan hukum syariah terkait hal itu (Lihat: Al-‘Allâmah Ahmad Muhammad Syakir, Kalimah al-Haq, hlm. 150-151).

Syaikh Abdul Aziz al-Badri rahimahulLaah.
Beliau wafat pada tahun 1969 M. Beliau adalah salah satu di antara pengemban dakwah pertama di Irak yang menentang tirani otoritas yang berkuasa. Beliau menyerukan dimulainya kembali kehidupan Islam dengan mendirikan Khilafah. Beliau dianggap sebagai pengemban dakwah pertama yang dieksekusi di bawah pemerintahan rezim sebelumnya. Rezim takut akan kekuatan pengaruhnya di masyarakat. Sebaliknya, rasa takut tidak pernah masuk ke dalam diri beliau. Beliau menghadapi penindasan otoritas dengan penuh keimanan, kesabaran dan keberaniannya. Beliau berpindah-pindah dari mimbar ke mimbar dan dari kota ke kota. Beliau menjelaskan kezaliman rezim dan pelanggarannya terhadap berbagai ketentuan hukum Islam.

Setelah jatuhnya monarki di Irak pada tahun 1958 M, gelombang komunis telah mengambil korbannya. Beliau menghadapi Komunisme di atas mimbar. Akibatnya, beliau ditempatkan di bawah tahanan rumah selama dua tahun sampai dikeluarkan amnesti umum untuk para politisi pada tahun 1961 M.

Ketika peresmian Masjid Adila Khatun, dekat Jembatan Sarafiya di sisi Rusafa, saat sedang menyampaikan pidato di atas mimbar, beliau dikejutkan dengan masuknya Abdul Salam Arif, presiden Irak saat itu. Tidak lama setelah Arif duduk, Syaikh Al-Badri mulai menyampaikan pesan-pesannya yang terkenal kepada Arif tanpa rasa takut atau ragu: “Wahai Abdul Salam, terapkan Islam. Jika Anda mendekati Islam sedepa, maka kami akan mendekati Anda sehasta. Wahai Abdul Salam, nasionalisme tidak dapat memperkaiki kami, dan hanya Islam satu-satunya tempat perlindungan kami.”

Ketika beliau selesai berpidato, beliau duduk di samping dan tidak menoleh kepada Presiden Irak itu. Lalu Presiden Irak itu bangkit dan menjabat tangannya, sambil berkata, “Terima kasih atas keberanianmu ini!”

Syaikh Al-Badri melanjutkan pendekatannya yang berani. Beliau tidak menyerah pada keinginan para penguasa Irak. Beliau selalu mengarahkan nasihat dan kritik kepada mereka karena berharap mereka kembali ke cara-cara hidup Islam. Beliau rahimahulLaah terus vokal di mimbar Baghdad. Beliau memulai dengan pengantarnya yang terkenal: “Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan perbuatan kami dan dari keburukan-keburukan para penguasa kami.” Beliau biasa menutup pidatonya dengan mengatakan: “Ya Allah, berilah kami negara yang mulia yang dengannya Islam dan penduduknya akan dihormati, kemunafikan dan orang-orangnya direndahkan. Jadikan kami di antara para penyeru ketaatan dan teladan di jalan-Mu. Beri kami dengan itu martabat dunia dan akhirat serta mati syahid di jalan-Mu.”

Tentu saja tindakan dan sikap Syaikh Al-Badri ini tidak menyenangkan rezim sebelumnya dan kroni-kroninya. Akibatnya, pada suatu malam, ketika beliau kembali dari masjid setelah shalat Isya’, kroni rezim menerkam dirinya. Lalu mereka pergi ke rumahnya dan menyita semua pidato dan kaset rekamannya, termasuk dua kitab yang telah siap untuk dicetak, yaitu KitâbulLaah al-Khâlid (Kitab Allah yang Abadi) dan Al-Islâm Harb[un] ‘ala al-Isytirâkiyah wa al-Ra’sumâliyah (Islam Memerangi Sosialisme dan Kapitalisme).

Beliau ditangkap dan dipenjara di Qasr al-Nihaya, untuk disiksa dan diinterogasi oleh Saddam Hussein (pihak yang bertanggung jawab atas masalah keamanan negara) dan Nazim Gazzar (mantan Direktur Keamanan Publik). Salah satu saksi yang Bersama beliau di sel mengatakan, “Saya belum pernah melihat seorang lelaki pemberani seperti dia di dalam penjara. Ia disiksa dan kehilangan kesadaran, kemudian ia sadar dan disiksa lagi, sambil terus berzikir kepada Allah, dan kemudian kehilangan kesadaran sekali lagi.”

Mereka yang ditangkap bersama beliau meminta beliau untuk sedikit melunak dan diam. Namun, beliau tidak mengakui legalitas Partai Ba’ath dan penyerunya. Beliau juga tidak memberikan dukungan kepada mereka. Sebaliknya, beliau bersikeras dalam penyelidikan bahwa mereka adalah agen penjajah.

Setiap kali, setelah disiksa, beliau dikirim ke Rumah Sakit Militer Al-Rasyid untuk menyadarkan beliau dari koma. Lalu beliau dikirim kembali ke penjara untuk kembali disiksa. Demikian seterusnya. Selama disiksa beliau senantiasa menyebut Asma Allah, membaca ayat-ayat al-Quran, dan berdoa kepada Allah, sampai beliau wafat di tangan para tiran. Beliau dibunuh oleh kroni penguasa di Bagdad pada tanggal 26 Juni 1969 M saat dalam penyiksaan. Beliau lalu dibawa ke Rumah Sakit Militer Al-Rasyid untuk dimandikan dan dikafani guna menutupi kejahatan rezim. Beliau kemudian dimasukan ke dalam peti mati dan dilemparkan oleh tentara di depan rumahnya, lalu mereka melarikan diri.

Syaikh Al-Badri rahimahullah memiliki lima karya tulis yang dianggap sebagai kitab terkaya yang ditulis di era modern kita tentang politik Islam, yaitu: Hukm al-Islâm fî al-Isytirâkiyah (Hukum Islam Tentang Sosialisme), Al-Islâm bayna al-Ulamâ’ wa al-Hukkâm (Islam; Antara Ulama dan Penguasa), Al-Islâm Harb[un] ‘ala al-Isytirâkiyah wa al-Ra’sumâliyah (Islam Memerangi Sosialisme dan Kapitalisme), Al-Islâm Dhâmin[un] li al-Hâjât al-Asâsiyah li Kulli Fard[in] (Islam Menjamin Kebutuhan Primer Setiap Individu) dan KitâbulLaah al-Khâlid al-Qur’ân al-Karîm (Al-Quran Mulia Adalah Kitab Allah yang Abadi). Selain itu ada puluhan ceramah dan pidato yang biasa beredar di masyarakat sebelum rezim menyita perpustakaan audionya, termasuk rekamannya, dan melarang peredarannya di pasaran (Lihat: Abdullah al-Uqail, Kitab Min A’lâmi ad-Da’wah wa al-Harakah al-Islâmiyah al-Mu’âshirah, hlm. 457; Dr. Muhammad bin Musa al-Syarif, artikel ‘Uzhamâ’ al-Mansiyûn: Al-Syâhid al-‘آlim al-Shâdi’ Abdul ‘Aziz al-Badri al-Sâmirâ’i, di Majalah al-Mujtama’, edisi 192).

Syaikh Al-Mufassir al-Muhaddits Thahir bin Asyur rahimahulLaah.
Beliau wafat pada tahun 1973 M. Syaikh Ibnu Asyur rahimahulLaah adalah seorang ulama mujaddid (pembaru). Untuk meneliti tentang kepribadian dan pengetahuannya tidak bisa hanya dengan mengetahui satu aspek saja. Harus diteliti semuanya mulai dari kehidupan, pengetahuan dan karya-karya tulisnya, yaitu pembaharuan dan reformasi melalui Islam; kemudian pandangan dan tulisannya yang muncul sebagai revolusi melawan fenomena taqlîd (ikut-ikutan) dan stagnasi pemikiran, juga revolusi melawan kelemahan dan kehilangan intelektual dan peradaban. Judul kitab tafsirnya, At-Tanwîr wa at-Tahrîr, adalah ringkasan dari judulnya yang panjang, yaitu Tahrîr al-Ma’na as-Sadîd wa Tanwrîr al-‘Aqli al-Jadîd min Tafsîr al-Kitâb al-Majîd.

Di antara sikap Thahir bin Asyur rahimahulLah yang terkenal adalah penolakannya yang tegas untuk mengeluarkan fatwa yang membolehkan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Itu terjadi pada tahun 1961 M. Ketika itu, Bourguiba, mantan Presiden Tunisia, menyerukan para pekerja untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dengan dalih meningkatkan produksi. Dia meminta Syaikh Asyur mengeluarkan fatwa di radio sesuai dengan keinginannya. Namun Syaikh, menjelaskan di radio sesuai apa yang diinginkan Allah SWT. Setelah membaca ayat tentang puasa, Syaikh berkata, “Mahabenar Allah dan Bourguiba telah berdusta.”

Pernyataan kotor yang menjijikkan dan seruan palsu ini mereda dan padam berkat ucapan Ibnu Asyur (Lihat: Kitab Syaikh al-Jâmi’ al-A’zham Muhammad ath-Thâhir bin ‘Asyur Hayâtuhu wa آtsâruhu, karya Dr. Biqâsim Ghâli).

Syaikh Thahir bin Asyur rahimahulLaah memiliki kritik ilmiah sebanyak tiga puluh tujuh halaman, untuk kitab al-Islâm wa Ushûlul al-Hukm (Islam dan dasar-dasar Pemerintahan) yang ditulis oleh Ali Abdul Raziq pada tahun 1925 M. Buku yang dikritik ini menimbulkan kegemparan karena penolakannya terhadap gagasan Khilafah dan seruan pada negara sipil.

 

Seruan

Wahai para ulama yang mulia!

Umat ini sangat membutuhkan ilmu Anda dan keberanian Anda. Utamanya saat ini, saat pada tingkat pemerintahan gencar sekali seruan untuk negara sipil, yang tidak lain adalah negara sekuler; juga seruan untuk demokrasi, yang tidak lain adalah sistem pemerintahan dalam ideologi kapitalis yang busuk.

Anda tahu bahwa Islam memiliki sistem pemerintahan sendiri. Negaranya adalah Khilafah. Penguasanya adalah Khalifah. Dia dibaiat oleh kaum Muslim untuk didengar dan ditaati, untuk menerapkan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya saw.

Sungguh Anda tahu bahwa tidak ada peristiwa yang telah atau sedang atau akan terjadi sampai Allah mewariskan bumi dan yang ada di dalamnya, kecuali memiliki hukum syariah, dan tidak ada masalah kecuali ada solusinya, yakni hukum syariah. Untuk itu wajib di tengah-tengah kaum Muslim ada para mujtahid yang mampu umtuk menggali dan mengambil keputusan hukum untuk setiap masalah.

Bukan rahasia lagi bagi Anda bahwa semua penguasa Muslim tidak memerintah dengan Islam. Mereka setia kepada kaum kafir. Mereka mengakui otoritas kufur atas negara-negara Muslim. Mereka tidak berusaha untuk menghilangkan otoritas itu. Mereka justru berusaha untuk melindungi otoritas itu dan menormalkan kaum Muslim agar menerimanya.

Kaarena itu Anda wajib memikul tanggung jawab yang dipercayakan Allah SWT kepada Anda agar Anda tidak menjadi seperti orang-orang yang difirmankan oleh Allah SWT:

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡتُمُونَ مَآ أَنزَلۡنَا مِنَ ٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلۡهُدَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا بَيَّنَّٰهُ لِلنَّاسِ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أُوْلَٰٓئِكَ يَلۡعَنُهُمُ ٱللَّهُ وَيَلۡعَنُهُمُ ٱللَّٰعِنُونَ  ١٥٩
Sungguh orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati (QS al-Baqarah [2] : 159).
 
WalLaahu a’lam. [Muhammad Shalih]

 
_[Sumber: Al-Waie (Arab), edisi 438-439-440, Tahun ke-37, Rajab-Sya’ban-Ramadan 1444 H/Februari-Maret-April 2023 M]_

Posting Komentar

0 Komentar