Mencintai Nabi SAW dengan Benar, Belajar dari Khalifah Umar



TintaSiyasi.com -- Puluhan kali sudah kita memperingati Maulid Nabi SAW. Ketika kita ditanya, apakah sangat mencintai Nabi SAW? Dengan cepat kita bisa jawab, tentu sangat mencintai. Jika ditanya seberapa besar cinta kita? Kita pun menjawab, sangatlah besar. Jauh lebih gede dari Gunung Gede di Jabar atau Gunung Merapi di Sumatera atau Puncak Jaya di Papua, dll. Namun ketika ditanya apakah lebih dicintai dari anak dan istri atau suami anda? Maka jawaban sesungguhnya ada di lubuk hati terdalam dari masing-masing kita.

Oleh karenanya kita perlu belajar mencintai Nabi SAW  secara benar. Bukan sekedar cinta biasa yang mudah lentur dan luntur oleh godaan harta, tahta dan cinta lainnya. Untuk bisa mencintai secara luar biasa maka kita tak cukup menggunakan cara-cara yang biasa-biasa saja. Kita perlu menggunakan cara yang luar biasa dan juga belajar dari sosok manusia yang juga luar biasa. 

Dalam catatan sejarah banyak sosok luar biasa yang dapat kita contoh cara mereka mencintai Nabi SAW. Kali ini kita coba belajar bagaimana Sosok Sahabat Umar Bin Khaththab mencintai Nabi SAW. Cinta Umar pada Nabi SAW tak sebatas di bibir saja. Tak sekedar diucapkan, namun juga direalisasikan dengan amal perbuatan. Umar berupaya sekuat tenaga mencintai segala hal yang dicintai oleh Nabi SAW. 

Dikisahkan dari Abdullah bin Hisyam, ia berkata “Suatu ketika kami bersama Nabi Muhammad SAW. Dia kemudian memegang tangan Umar bin Khaththab. Umar kemudian berkata, “wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari apa pun, kecuali diriku.”
Nabi SAW bersabda, “tidak! Demi zat yang memiliki jiwa ini, (tidak sempurna Imanmu) hingga aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri.”
Umar berkata, “Sekarang, Demi Allah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari diriku sendiri.” Nabi SAW bersabda, “sekarang (engkau memiliki iman yang sempurna), wahai Umar (HR. Bukhari, 6632)

Belajar dari Cinta Umar bin Khaththab kepada Nabi SAW, dapat kita pilah menjadi 4 (empat) perkara penting. Dimulai dari Cinta yang terkait dengan Iman yang sempurna, Ucapan dan tindakan serta cara melakukan amalnya. Dapat kita uraikan, sbb; 

PERTAMA, Mencintai Nabi SAW Perintah Allah, demi meraih manisnya IMAN. Dengan Cinta kepada Nabi SAW kita dapat meraih kesempuranaan iman dan merasakan Manisnya iman. Cinta kepada Allah dan Nabi SAW merupakan wujud kesempurnaan iman seseorang. Tentu manisnya iman, hanya bisa dirasakan bagi orang yang beriman.

Nabi SAW bersabda: “Tiga perkara, yang barang siapa memilikinya, ia dapat merasakan manisnya iman, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul melebihi cintanya kepada selain keduanya, cinta kepada seseorang karena Allah dan membenci kekafiran sebagaimana ia tidak mau dicampakan ke dalam api neraka.”  (HR. Bukhari Muslim). 

Bagi insan beriman akan menempatkan cinta pada Nabi SAW diatas segalanya. Melebihi cintanya pada anak dan istri serta keluarganya. Bahkan cinta pada dirinya sendiri. 

Wujud nyata cinta pada Nabi SAW adalah mengimani dan menerima serta mengikuti seluruh syariat yang dibawanya secara utuh. Mengimaninya bermakna menerimanya tanpa ada keraguan sedikitpun. Tak boleh ada lagi pengakuan bahwa ada syariat lain yang lebih baik dari yang dibawa oleh Nabi SAW (syariat islam). Jika masih ada seperti itu maka imannya bermasalah. Justru setiap ajaran lainnya (baik yang datang dari barat dan timur) harus diukur apakah sesuai dengan ajaran yang diimaninya itu. Bukan sebaliknya syariat yang diimani itu harus disesuaikan dengan ajaran manusia lainnya.
Bagi orang beriman tak mungkin akan ada konsep atau ajaran lain (kepemimpinan, politik, hukum, dll) dari Barat atau Timur yang dianggap lebih baik dari apa yang dibawa oleh Nabi SAW.
 
KEDUA, Mencintai Nabi SAW dibuktikan dengan lisan (ucapan). Ucapan seseorang dapat mencerminkan isi hatinya. Demikian juga cinta kita pada Nabi SAW mesti dapat tercermin dalam setiap ucapan kita. Apa yang keluar dari mulut kita adalah kalimat yang baik, tak boleh bertentangan dengan apa saja yang pernah diucapkan Nabi SAW.

Wujud cinta Nabi SAW dalam lisan kita dapat diwujudkan antara lain; 1) banyak menyebut nama Nabi SAW; 2) banyak bersholawat pada Nabi SAW; 3) menjaga ucapan agar tak bertentangan dengan ucapan (hadits-hadits) yang mulia Nabi SAW; 4) mencintai apa saja doa dan ucapan yang dicintai Nabi SAW; 5) demikian pula sebaliknya membenci apa saja yang dibenci Nabi SAW.

KETIGA, Mengamalkan apa saja yang diajarkan Nabi SAW. Selain meyakini dan menerima apa saja yang datang dari Nabi SAW maka ada kewajiban lain yakni melaksanakan apa saja yang perintahkan oleh Nabi SAW. Ini merupakan manifestasi dari cinta. Menerima apa saja yang diajarkan/diperintahkan maupun yang di larang Nabi SAW. Semuanya diterima dan diamalkan tanpa pilih-pilih. 

Sebagaimana yang termaktub dalam Firma Allah SWT, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka  tinggalkanlah.” (TQS. Al Hasyr: 7)

Dalam hal ini semua yang diperintahkan Nabi SAW maka dilaksanakan oleh Umar. Ia tidak memilih mana yang disukai atau yang tak disukai. Semua yang datang dari nabi SAW ia terima dengan lapang dada dan amalkan dengan sebaik-baiknya. Hal ini sebagaimana tercatat dalam sebuah kisah.

Suatu ketika Umar melaksanakan ibadah haji. Dia melakukan seluruh manasik haji sama persis seperti yang dikerjakan Nabi SAW. Sampai kemudian ia mendatangi hajar aswad dan menciumnya. Umar berkata, “sungguh, aku tahu engkau hanyalah batu yang tidak memberi bahaya atau manfaat. Kalau saja aku tidak melihat Rasulullah menciummu, aku pasti tidak akan menciummu.” (The Golden Story… hal. 85).

Dalam kisah ini, Umar melaksanakan apa saja yang dicontohkan Nabi SAW. Bahkan meski mencium hajar aswad sekalipun ia jalani demi Cintanya pada Nabi SAW. Begitu pula dalam hal kepemimpinan pemerintahan, Khalifah Umar tak bergeser sedikit pun dari al Quran dan Sunnah Nabi SAW. Ia tak mengubah sistem pemerintahan yang diwariskan Nabi SAW  dan dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar itu. Ia tak mengubahnya menjadi sistem Kerajaan (otokrasi) atau sistem Republik (demokrasi). Ia tetap mempertahankan warisan sistem khilafah itu hingga akhir hayatnya. 

KEEMPAT, Mengamalkan dengan manjadikan Nabi SAW sebagai satu-satunya teladani. Selain meyakini dan menerima apa saja yang datang dari Nabi SAW maka ada kewajiban lain yakni melaksanakan apa saja yang perintahkan oleh Nabi SAW. Selanjutnya, dalam melaksanakan apa yang diperintahkan nabi SAW itu mesti meneladani (ittiba’) kepada beliau. Lalu, apa syarat-syarat ittiba’ Rasulullah SAW? Kapan seseorang disebut ittiba’ Rasulullah SAW, dan kapan perbuatan dikatakan ”tertolak” (marduud)?

Imam al-Amidiy di dalam Kitab Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam menyatakan ada 3 syarat ittiba’:

“Adapun mensuriteladani perbuatan Rasulullah saw adalah anda berbuat seperti perbuatannya (mitsla fi’lihihi), setujuan dan seniat (‘ala wajhihi), dan karena sebab perbuatannya (min ajli fi’lihi)….” [Imam Al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, ]

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwasanya syarat ta’assiy (meneladani) perbuatan Rasulullah saw ada tiga macam:

Pertama, [mitslu fi’lihi] semisal dengan perbuatan Nabi SAW. Sebagai contoh, Nabi saw mengerjakan sholat lima waktu dengan berdiri lurus. Seseorang dinyatakan ittiba’ kepada Nabi SAW, ketika di dalam sholatnya, ia juga berdiri lurus sebagaimana berdirinya Rasulullah SAW. Sebaliknya, seseorang tidak disebut meneladani beliau saw, jika ia mengerjakan sholat lima waktu dengan berkacak pinggang. Pasalnya, berdiri berkacak pinggang tidak semisal dengan perbuatan Nabi SAW.

Kedua, [‘ala wajhihi] tujuan dan niat perbuatan harus sesuai dengan tujuan dan niat perbuatan Nabi SAW. Misalnya, Nabi saw melaksanakan sholat dua rakaat dengan niat wajib. Seseorang tdk disebut ittiba’ Rasulullah SAW, jika ia mengerjakan sholat dua rakaat tersebut dengan niat sunnah, meskipun gerakan dan bacaan sholatnya sama persis.

Ketiga, [min ajlihi] karena mengikuti amal Nabi SAW. Seseorang tidak disebut meneladani Nabi saw jika ia mengerjakan suatu perbuatan bukan karena mengikuti Nabi SAW. Yang menjadi obyek ta’assiy adalah perbuatan Rasulullah saw, bukan yang lain. Oleh karena itu, jika Nabi saw mengerjakan suatu perbuatan di suatu tempat atau waktu tertentu, maka, seseorang Muslim tidak dituntut untuk mengerjakan perbuatan tersebut pada tempat dan waktu yang sama, kecuali ada ketetapan dari Nabi SAW, Misalnya, keharusan puasa di bulan Ramadhan, bukan di bulan lain; wajibnya ibadah haji di Arafah bukan di tempat lain, dll. Adapun ibadah-ibadah lain yang pelaksanaannya tidak dikhususkan pada waktu dan tempat tertentu, maka diperkenankan melaksanakannya pada tempat dan waktu berbeda, seperti jual beli, berdagang, bekerja, dzikir, sholat muthlaq, dll. (Panduan Memahami KMKK… hal. 463)
 
Kiranya para pemimpin negeri ini bisa mencontoh sikap Khalifah Umar. Ia yang begitu disegani kawan dan lawan, namun hatinya lembut penuh cintanya pada Nabi SAW yang dilandasi iman. Dengan mencintai Nabi SAW, akan dicintai oleh Allah SWT. sebagaimana berfirmanNya:
"Katakanlah (wahai Muhammad kepada umatmu): Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian" (TQS Ali-Imran [3]: 31).

Wujud mencintai Nabi Muhammad SAW, berarti menerima warisannya, menjaganya dan menerapkannya segala sayarianya secara kaffah dalam segala aspek kehidupan kita. Jadi kalau ada yang mengaku cinta Nabi Muhammad SAW, tetapi menolak syariah islam kaffah maka itulah cinta palsu.
Semoga dengan mencintai Nabi SAW, kita dan negeri ini akan dicintai oleh Allah SWT. Dijauhkan dari berbagai bencana dan musibah. Serta dilimpahkan keberkahan hidup karena kecintaan kita pada Nabi Muhammad SAW. Aamiin.

*)Disarikan dari Buku ¬_The Golden Story of Umar bin Khaththab._

NB: Penulis pernah Belajar Pemerintahan pada STPDN 1992 angkatan ke-4, IIP Jakarta angkatan ke-29 dan MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.

Oleh: Wahyudi al Maroky
(Dir. Pamong Institute)

Posting Komentar

0 Komentar