Ketika Kesaktian Pancasila Berubah Menjadi Kesakitan: Ini 4 Faktor Penyebabnya!




TintaSiyasi.com -- Sehebat apa pun juga, ideologi manusia tidak pernah sempurna. Apabila hanya sekadar ideologi buatan manusia, maka ideologi itu dapat saja rapuh.  Rapuhnya kesaktian ideologi buatan manusia dijelaskan secara apik oleh John T. Jost (New York University) dalam The American Psychological Association 0003-066X/06; Oktober 2006), disebakan karena 4 faktor, yaitu:

(1) Ordinary citizens political attitudes lack the kind of logical consistency and internal coherence);

(2) Most people are unmoved by ideological appeals;

(3) There are really no substantive differences in terms of philosophical or ideological content;

(4) There are no fundamental psychological differences between proponents of left-wing and right-wing ideologies.

Saya mencoba mengelaborasi penyebab collaps-nya sebuah ideologi dengan menyitir pendapat John T. Jost  di muka dan akan saya pakai sebagai pisau analisis terkait dengan ideologi Pancasila.

Pertama,

The first claim has arguably had the greatest impact within psychology, and it grew out of Converses (1964) famous argument that ordinary citizens political attitudes lack the kind of logical consistency and internal coherence that would be expected if they were neatly organized according to ideological schemata.

Contoh: Ketuhanan Yang Maha Esa bisa dimaknai esa dalam pluralitas; ketuhanan berkebudayaan, komunisme ateis diberi ruang gerak leluasa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab: HAM diredam; Persatuan Indonesia: bercerai berai, pseudo unity, mudah terbakar laksana daun kering: sulit diikat mudah dibakar; Kedaulatan rakyat: kedaulatan partai, demokrasi tak langsung: demokrasi langsung; Keadilan sosial: keadilan individual, kesenjangan sosial dan sebagainya. Yang ada: logical inconsistency.

Kedua,

A second and related claim is that most people are unmoved by ideological appeals and that abstract credos associated with liberalism and conservatism lack motivational potency and behavioral significance.

Contoh: dulu #2019GantiPresiden itu kebebasan HAM ternyata tetap persekusi, pelarangan tak mendasar padahal sudah dijelaskan secara hukum itu bukan makar melainkan hak kebebasan berbicara. Sebelumnya ada Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017 yang kemudian menjadi UU No. 16 Tahun 2017 sudah diingatkan bahwa negara akan terjun bebas menjadi negara kekuasaan (bukan kedaulatan rakyat dan hukum). Masih berlanjut pula pada pembubaran Ormas (HTI dan FPI) tanpa due process of law yang berarti bertentangan dengan sila 2 HAM berserikat berkumpul dan lain-lain. Yang masih sempat menjadi problem nasional tentang Perppu Corona No. 1 Tahun 2020, yang juga banyak kontroversi motivasi namun justru tetap disetujui oleh DPR menjadi UU No. 2 Tahun 2020. Belum lagi soal UU kontroversial yakni UU Cipta Kerja yang pernah di-judicial review dengan putusan inkonstitusional bersyarat. Bukan perbaikannya dalam waktu 2 tahun sebagaimana dipersyaratkan oleh MK, namun malah diterbitkan Perppu Cipta Kerja oleh Presiden yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU. Yang ada: weak motivation

Ketiga,

The third claim is that there are really no substantive differences in terms of philosophical or ideological content between liberal and conservative points of view.

Contoh: tidak ada perbedaan substantif antara: ideologi Pancasila, sosialisme komunis dan liberalisme kapitalis dalam hal berpolitik, berekonomi, berbudaya. Semua dalam area abu-abu. Kita mengaku berdemokrasi ekonomi Pancasila tetapi semua lini ekonomi kita dasarkan pada liberalisme kapitalisme. Oligaki ekonomi dan politik mendominasi cara pembangunan nasional dijalankan. Pemihakan kepada investor lebih diutamakan dibandingan rakyat, misalnya pada kasus Program Eco-City Rempang di Kepulauan Riau. Lalu adakah perbedaan substantifnya? Yang ada ialah pragmatism ideology. 

Keempat,

A fourth claim, which first emerged as a criticism of Adorno, Frenkel-Brunswik,Levinson, and Sanfords (1950) The Authoritarian Personality,is that there are no fundamental psychological differences between proponents of left-wing and right-wing ideologies.

Contoh: Tidak ada perbedaan psikilogis yang fundamental para pendukungnya, antara sayap kanan dan sayap kiri. Perangainya, karakternya, gayanya sama saja dalam meraih dan memperebutkan kekuasaan. Tanpa visi ke depan yang panjang apalagi kehidupan setelah mati. Yang ada yaitu opportunist proponents.

Pancasila jika dipaksakan kedudukannnya sebagai ideologi layaknya ideologi kapitalisme, komunisme, maka Pancasila adalah ideologi ciptaan manusia, yakni founding fathers bangsa Indonesia. Oleh karenanya Pancasila, ideologi ciptaan manusia ini bisa menjadi rapuh jika 4 gejala faktor keambrukan ideologi yang sangat rawan itu melingkupi objek maupun subjek ideologi ini. Jadi, kesaktian Pancasila akan lenyap dan berubah menjadi kesakitan ketika 4 faktor penumbang ideologi merangsek, menggerogoti akarnya yang rapuh. Dan boleh jadi kita sekarang masih merasa memiliki Pancasila, namun sebenarnya kita hanya sekedar memiliki jasadnya, karena ruh Pancasila tidak lagi kita miliki. Kita lebih menggeluti dan mati-matian menerapkan ideologi liberal kapitalstik dan bercampur dengan sosial komunisme yang sangat sekuler dibandingkan menggeluti dan menerapkan ideologi Pancasila itu.

Ideologi yang tidak berbasis pada aqidah yang benar adalah ideologi sesat dan akan menyesatkan pendukungnya dalam mencapai kebahagiaan sejati. Tidak mungkin kebahagiaan sejati akan tercapai tanpa ideologi yang berbasis pada aqidah dan mampu pula untuk dirunut secara rasional. Ideologi yang benar akan menjauhkan diri dari indoktrinasi. Indoktrinasi hanya akan melahirkan kepatuhan yang semu (pseudo obidience). Kepatuhan yang semu inilah awal dari sebuah ideologi memasuki senjakalanya. Pancasila ketika dipaksa pembumiannya melalui percakapan indoktrinasi bukan melalui percakapan fitrah hidup dan nalar sehat nasibnya juga akan sama, dying---sekarat. Apalagi memaksakan diri harus ada lembaga yang menangani Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan doktrin ideologi dengan sebuah Haluan (HIP), bisa diprediksikan kepatuhan yang dihasilkan juga semu.

Ketika kita memahami adanya potensi ambruknya semua ideologi manusia lantaran adanya gelombang 4 faktor yang dikemukakan oleh John T. JOST tadi, lalu langkah kita apa? Apakah tetap mau berkubang pada ideologi manusia yang penuh inkonsistensi itu, ataukah berharap pada kredo manusia yang diberikan oleh tuhannya manusia yang nota bene paling memahami manusia ciptaannya?

Jika keempat faktor ambruknya sebuah ideologi sebagaimana dikatakan oleh John T. Jost juga menimpa Pancasila, maka diprediksikan Pancasila akan kehilangan kesaktiannya untuk melawan ideologi kapitalisme dan komunisme. Yang terjadi adalah kesakitan Pancasila akibat telah digerogoti oleh kanker kapitalisme dan komunisme secara bersamaan. Adakah pilihan cara untuk menyelamatkan Pancasila? Cukupkah hanya dengan slogan dan teriakan #AkuPancasila, pembentukan BPIP, salam Pancasila, indoktrinasi Pancasila akan mampu menyelamatkan Pancasila sedangkan jiwa kita "suwung" alias kosong terhadap nilai-nilai luhurnya? Belum lagi bicara praktik penyelenggaraan negara yang ditengarai juga jauh dari implementasi nilai-nilai Pancasila. Jadi tidak salah jika saya mengumpulkan fakta-fakta tersebut dalam sebuah karya buku berjudul: Pancasila 404: Not Found, bukan? Tabik!

Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.

Pakar Hukum dan Masyarakat

Semarang, Minggu: 1 Oktober 2023 (Bertepatan dengan Peringatan Hari Kesaktian Pancasila)

Posting Komentar

0 Komentar