Jejak Khilafah Di Sulawesi: Menyibak Jalinan Politik dan Spiritual yang Dilupakan (VIII)



TintaSiyasi.com -- Setelah Sultan Manshur Syah Perak, yang berkuasa berikutnya adalah Sultan Makota Buyung selama dua tahun (1586-1589). Barulah setelah itu Sultan ‘Ala’uddin Sayyid al-Mukammil naik takhta (1589-1604). Tidak jauh berbeda dengan Sultan Manshur Syah Perak, Sultan ‘Ala’uddin Sayyid al-Mukammil juga banyak terpengaruh dengan Khilafah ‘Utsmaniyah. Gallop menemukan bahwa cap resmi Sultan Sayyid al-Mukammil mempunyai gaya yang berbeda dari sekitar 1.500 cap Asia Tenggara yang dibuat sebelum tahun 1850-an dalam katalognya. Ia hanya dapat dibandingkan dengan cap-cap resmi para Khalifah dan pejabat ‘Utsmaniyah. Dari penelitian tersebut, Gallop berkesimpulan bahwa cap Sultan Sayyid al-Mukammil kemungkinan besar dibuat oleh pengrajin ‘Utsmaniyah yang sudah lama tinggal di Aceh.¹

Memang, ketika Cournelis de Houtman dari Belanda datang pertama kali ke Aceh pada 1599, nakhodanya yang orang Inggris, John Davis mengabarkan bahwa di sana banyak sekali “pedagang dari Makkah. Mereka adalah orang-orang Turkiye dan Arab”.²

(KIRI) Cap Sultan ‘Ala’uddin Sayyid al-Mukammil Aceh; (KANAN) Cap Beylerbeyi (gubernur) ‘Utsmaniyyah di Ofen, Qalayliqoz Ali Pasa. Inskripsi dalam cap Sultan Sayyid al-Mukkamil: (tengah) “as-Sulthan ‘Ala’uddin bin Firman Syah”, (melingkar) “al-Watsiq bi’l-Malik ikhtarahu li qabdhi’l-Mamalik wa-irtadhah adamallahu ‘izzahu wa nashra liwa’ahu”. Sumber: Gallop 2004, 177, 186.

Jika kita sudah melihat bahwa Syaikh ‘Abdul Ma’mur (Datu’ ri Bandang), Syaikh Sulayman (Datu’ ri Pattimang), dan Syaikh ‘Abdul Jawad (Datu’ ri Tiro) berasal dari Minangkabau dan berangkat melalui Aceh pada masa Sultan Sayyid al-Mukammil, tambahan informasi berikutnya kita dapatkan dari sebuah manuskrip yang disebut Naskah Gantarang (Pulau Selayar).³

Naskah ini menyebutkan bahwa Trio Datu’ tersebut datang ke Sulawesi karena diutus “Raja di Makkah dan Khalifah di Makkah” (karaeng ri Makka halifayya ri Makka).⁴

Kalau keterangan dari naskah ini kita jadikan pegangan, maka alur instruksi yang diberikan kepada Trio Datu’ Minangkabau berasal dari Aceh-Makkah-‘Utsmaniyah.

Sultan Sayyid al-Mukammil inilah orang yang mendukung penuh dan mensponsori tugas dakwah Trio Datu’ ke Sulawesi –sejak mereka tergolong sebagai warga Kesultanan Aceh, dan wewenang ulama-ulama tersebut untuk memberikan gelar “Sultan” kepada raja-raja yang berhasil diislamkan berasal dari penguasa Makkah. Kekuasaan (emirat) Makkah pada abad ke-16 dan 17 dijabat para Asyraf (jamak dari Syarif, keturunan Rasulullah saw.) dari Bani Qatadah.

Sejak ‘Utsmaniyah menjadi Khilafah, para Asyraf Makkah ditunjuk menjadi Veli (Arab: Wali, gubernur) Provinsi Hijaz. Yang menjadi Syarif Makkah saat pengiriman Trio Datu’ pada pertengahan 1603 adalah Syarif Abu Thalib bin Hasan, cucu Syarif Muhammad Abu Numayy II bin Barakat, Syarif Makkah pertama yang berbaiat kepada Khilafah ‘Utsmaniyah di masa Yavuz Sultan Selim I. Yang menjadi Khalifah ‘Utsmaniyah sekaligus atasan Syarif Abu Thalib Hasan adalah Sultan Mehmed III (berkuasa 1595-1603).

Akhirnya, bisa kita simpulkan, Trio Datu’ Minangkabau dapat memberikan gelar Kesultanan kepada Datu’ Luwu sebagai Sultan Muhammad Wali Muzhahiruddin, Karaeng Tallo’ sebagai Sultan ‘Abdullah Awwal al-Islam, dan Karaeng Gowa sebagai Sultan ‘Ala’uddin; karena sudah diberi wewenang dari Khalifah Mehmed III di Istanbul yang diwakilkan kepada gubernurnya di Makkah, Syarif Abu Thalib bin Hasan bin Abu Numayy II.

 

Catatan kaki:

1. Annabel Teh Gallop, “Ottoman Influences in the Seal of Sultan Alauddin Riayat Syah of Aceh (r. 1589-1604)”, Indonesia and the Malay World, Vol. 32, No. 93 (July 2004): 180, 182, 187.

2. ACS. Peacock, “The Economic Relationship Between the Ottoman Empire and Southeast Asia in the Seventeenth Century”, dalam ACS. Peacock dan Annabel Teh Gallop, From Anatolia to Aceh, 78.

3. Naskah Gantarang disimpan oleh Djinabong binti Maddahung (pada 2014 berusia 90 tahun), tinggal di Kp. Pinang-Pinang, Ds. Bontomarunnu, Kec. Bontomanae. Naskah ini ditulis oleh Guru Cawang, beraksara Serang (Arab-Makassar) dan berbahasa Makassar. Berukuran 13,5×22 cm dengan tebal 32 halaman. Lihat: Husnul Fahimah Ilyas, “Islamisasi Selayar Abad XV: Kajian Naskah”, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, (2014): 112.

4. Ibid, 113, 126.

Oleh: Nicko Pandawa
Sejarawan 

Posting Komentar

0 Komentar