Diberikan Istana di Surga bagi si Pemaaf


TintaSiyasi.com -- Sobat. Baginda Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita umatnya agar saling memaafkan satu sama lain. Secara makna, memaafkan berarti seseorang yang rela memberikan maaf kepada orang lain, memaafkan kesalahannya tanpa ada rasa benci dan ingin membalas.

Sobat. Memaafkan juga merupakan bagian dari akhlak mulia yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya. Allah SWT memuliakan orang-orang yang bersedia memaafkan kesalahan orang lain, bahkan Allah SWT juga menyiapkan segudang pahala untuknya. 

"Adalah Rasulullah SAW orang yang paling bagus akhlaknya: beliau tidak pernah kasar, berbuat keji, berteriak di pasar, dan membalas kejahatan dengan kejahatan. Malahan beliau pemaaf dan mendamaikan," (HR Ibnu Hibban).

Allah SWT berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ وَأَوۡلَٰدِكُمۡ عَدُوّٗا لَّكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُمۡۚ وَإِن تَعۡفُواْ وَتَصۡفَحُواْ وَتَغۡفِرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ  

“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun (64) : 14).

Sobat. Allah menjelaskan bahwa ada di antara istri-istri dan anak-anak yang menjadi musuh bagi suami dan orang tuanya yang mencegah mereka berbuat baik dan mendekatkan diri kepada Allah, menghalangi mereka beramal shalih yang berguna bagi akhirat mereka. Bahkan adakalanya menjerumuskan mereka kepada perbuatan maksiat, perbuatan haram yang dilarang oleh agama.

Sobat. Karena rasa cinta dan sayang kepada istri dan anaknya, agar keduanya hidup mewah dan senang, seorang suami atau ayah tidak segan berbuat yang dilarang agama, seperti korupsi dan lainnya. 

Oleh karena itu, ia harus berhati-hati, dan sabar menghadapi anak istrinya. Mereka perlu dibimbing, tidak terlalu ditekan, sebaiknya dimaafkan dan tidak dimarahi, tetapi diampuni. Allah sendiri pun Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:
 
Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (an-Nisa'/4: 25)

Sobat. Suatu hari baginda Rasulullah SAW sedang berkumpul dan bercengkerama dengan para sahabatnya. Di tengah perbincangan dengan para sahabat, Rasulullah tiba-tiba tertawa ringan hingga terlihat gigi depannya. Melihat hal itu bertanyalah Umar bin Khaththab, “ Apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?”

Baginda Rasulullah menjawab, “ Aku diberi tahu Malaikat, pada hari kiamat nanti, ada dua orang yang duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala di hadapan Allah SWT salah seorang mengadu kepada Allah, “ Ya Allah Ya Rabb, ambilkan kebaikan dari orang ini untukku karena dulu dia pernah berbuat dzalim kepadaku.”

Allah SWT berfirman, “ Bagaimana mungkin aku mengambil kebaikan saudaramu ini, karena tidak ada kebaikan di dalam hatinya sedikit pun?” Orang itu berkata lagi, “ Ya Rabb, kalau begitu, biarlah dosa-dosaku dipikul olehnya.” Sampai di sini Rasulullah SAW tidak dapat menahan tangisnya. Lalu, beliau melanjutkan ceritanya, “ Lalu Allah berkata kepada orang yang mengadu tadi, “ Sekarang angkat kepalamu!”

Orang itu mengangkat kepalanya lalu berkata, “ Ya Rabb, aku melihat di depanku istanan-istana yang terbuat dari emas dengan puri dan singgasananya yang terbuat dari emas dan perak bertahtakan intan permata. Istana-istana itu untuk Nabi dan syuhada yang mana, Rabb?”

Allah SWT berfirman, “ Istana itu diberikan kepada orang yang mampu membayar harganya.” Orang itu berkata, “ Siapakah yang mampu membayar harganya, Ya Rabb?” “ Engkau mampu membayar harganya,” jawab Allah SWT.
Orang itu terheran-heran seraya berkata, “ Dengan cara apa aku membayarnya, Ya Rabb?”

Allah SWT berfirman, “ Caranya, engkau maafkan saudaramu itu, dan ajak dia masuk surga bersamamu!” Usai menceritakan kisah tersebut, Rasulullah SAW bersabda, “ Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah kalian saling berdamai dan memaafkan, sesungguhnya Allah mendamaikan persoalan yang terjadi di antara kaum muslimin.” (HR. Imam Hakim)

Allah SWT berfirman:

۞وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ 

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,” (QS. Ali Imran (3) : 133).

Sobat. Allah menyuruh agar kaum Muslimin bersegera meminta ampun kepada-Nya bila sewaktu-waktu berbuat dosa dan maksiat, karena manusia tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. 

Seorang Muslim tidak akan mau mengerjakan perbuatan yang dilarang, tetapi kadang-kadang karena kuatnya godaan dan tipu daya setan dia terjerumus ke dalam jurang maksiat, kemudian ketika sadar akan kesalahannya dan menyesal atas perbuatan itu dia lalu bertobat dan mohon ampun kepada Allah, maka Allah akan mengampuni dosanya. Allah adalah Maha Penerima tobat dan Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Sobat. Bila seorang Muslim selalu menaati perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dan segera bertobat bila jatuh ke jurang dosa dan maksiat, maka Allah akan mengampuni dosanya dan akan memasukkannya nanti di akhirat ke dalam surga yang amat luas sebagai balasan atas amal yang telah dikerjakannya di dunia yaitu surga yang disediakan-Nya untuk orang yang bertakwa.

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran (3) : 134)

Sobat. Ayat ini langsung menjelaskan sifat-sifat orang yang bertakwa, yaitu: Pertama: Orang yang selalu menafkahkan hartanya baik dalam keadaan berkecukupan maupun dalam keadaan kesempitan (miskin), sesuai dengan kesanggupannya. 

Menafkahkan harta itu tidak diharuskan dalam jumlah yang ditentukan sehingga ada kesempatan bagi si miskin untuk memberi nafkah. Bersedekah boleh saja dengan barang atau uang yang sedikit nilainya, karena itulah apa yang dapat diberikan tetap akan memperoleh pahala dari Allah SWT.

Diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin bahwa dia bersedekah dengan sebiji anggur, dan di antara sahabat-sahabat Nabi ada yang bersedekah dengan sebiji bawang. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Peliharalah dirimu dari api neraka meskipun dengan menyedekahkan sepotong kurma, dan perkenankalah permintaan seorang peminta walaupun dengan memberikan sepotong kuku hewan yang dibakar." (Riwayat Ahmad dalam Musnad-nya).

Bagi orang kaya dan berkelapangan tentulah sedekah dan dermanya harus disesuaikan dengan kesanggupan. Sungguh amat janggal bahkan memalukan bila seorang yang berlimpah-limpah kekayaannya hanya memberikan derma dan sedekah sama banyaknya dengan pemberian orang miskin. Ini menunjukkan bahwa kesadaran bernafkah belum tertanam di dalam hatinya. 

Allah berfirman:

Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan. (ath-thalaq/65:7).

Sifat kikir yang tertanam dalam hati manusia hendaklah diberantas dengan segala macam cara dan usaha, karena sifat ini adalah musuh masyarakat nomor satu. Tidak ada satu umat pun yang dapat maju dan hidup berbahagia kalau sifat kikir ini merajalela pada umat itu. Sifat kikir bertentangan dengan perikemanusiaan.

Oleh sebab itu Allah memerintahkan untuk menafkahkan dan menjelaskan bahwa harta yang ditunaikan zakatnya dan didermakan sebagiannya, tidak akan berkurang bahkan akan bertambah. Firman Allah:

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.¦ (al-Baqarah/2:276).

Imam Gazali menjelaskan bahwa memerangi suatu sifat yang buruk haruslah dengan membiasakan diri melawan sifat itu. Jadi kalau orang akan memberantas sifat kikir dalam dirinya hendaklah dia membiasakan berderma dan memberi pertolongan kepada orang lain. Dengan membiasakan diri akan hilanglah sifat kikirnya dengan berangsur-angsur.

Kedua: Orang yang menahan amarahnya. Biasanya orang yang memperturutkan rasa amarahnya tidak dapat mengendalikan akal pikirannya dan ia akan melakukan tindakan-tindakan kejam dan jahat sehingga apabila dia sadar pasti menyesali tindakan yang dilakukannya itu dan dia akan merasa heran mengapa ia bertindak sejauh itu. 

Oleh karenanya bila seseorang dalam keadaan marah hendaklah ia berusaha sekuat tenaga menahan rasa amarahnya lebih dahulu. Apabila ia telah menguasai dirinya kembali dan amarahnya sudah mulai reda, barulah ia melakukan tindakan yang adil sebagai balasan atas perlakuan orang terhadap dirinya.

Apabila seseorang telah melatih diri seperti itu maka dia tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang melampaui batas, bahkan dia akan menganggap bahwa perlakuan yang tidak adil terhadap dirinya itu mungkin karena khilaf dan tidak disengaja dan ia akan memaafkannya. 

Allah menjelaskan bahwa menahan amarah itu suatu jalan ke arah takwa. Orang yang benar-benar bertakwa pasti akan dapat menguasai dirinya pada waktu sedang marah.

Siti Aisyah pernah menjadi marah karena tindakan pembantunya, tetapi beliau dapat menguasai diri, karena sifat takwa yang ada padanya. 

Beliau berkata, "Alangkah baiknya sifat takwa itu, ia bisa menjadi obat bagi segala kemarahan." Nabi Muhammad saw bersabda, "Orang yang kuat itu bukanlah yang dapat membanting lawannya tetapi orang yang benar-benar kuat ialah orang yang dapat menahan amarahnya." Allah berfirman:

... Dan apabila mereka marah segera memberi maaf. (asy-Syura/42:37).

Ketiga: Orang yang memaafkan kesalahan orang lain. Memaafkan kesalahan orang lain sedang kita sanggup membalasnya dengan balasan yang setimpal, adalah suatu sifat yang baik yang harus dimiliki oleh setiap Muslim. 

Mungkin hal ini sulit dipraktekkan karena sudah menjadi kebiasaan bagi manusia membalas kejahatan dengan kejahatan tetapi bagi manusia yang sudah tinggi akhlak dan kuat imannya serta telah dipenuhi jiwanya dengan ketakwaan, maka memaafkan kesalahan itu mudah saja baginya.

Mungkin membalas kejahatan dengan kejahatan masih dalam rangka keadilan tetapi harus disadari bahwa membalas kejahatan dengan kejahatan pula tidak dapat membasmi atau melenyapkan kejahatan itu. Mungkin dengan adanya balas membalas itu kejahatan akan meluas dan berkembang.

Sobat. Bila kejahatan dibalas dengan maaf dan sesudah itu diiringi dengan perbuatan yang baik, maka yang melakukan kejahatan itu akan sadar bahwa dia telah melakukan perbuatan yang sangat buruk dan tidak adil terhadap orang yang bersih hatinya dan suka berbuat baik. Dengan demikian dia tidak akan melakukannya lagi dan tertutuplah pintu kejahatan.

Keempat: Orang yang berbuat baik. Berbuat baik termasuk sifat orang yang bertakwa maka di samping memaafkan kesalahan orang lain hendaklah memaafkan itu diiringi dengan berbuat baik kepada orang yang melakukan kesalahan.

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, ada seorang jariah (budak perempuan) milik Ali bin Husain menolong tuannya menuangkan air dari kendi untuk mengambil wudu. Kemudian kendi itu jatuh dari tangannya dan pecah berserakan. Lalu Ali bin Husain menatap mukanya seakan-akan dia marah. Budak itu berkata, "Allah berfirman:

... Dan orang-orang yang menahan amarahnya ... (Ali 'Imran/3:134)."

Ali bin Husain menjawab, "Aku telah menahan amarah itu." Kemudian budak itu berkata pula, "Allah berfirman:

 Dan memaafkan (kesalahan) orang lain ... (Ali 'Imran/3:134)."

Dijawab oleh Ali bin Husain, "Aku telah memaafkanmu." Akhirnya budak, itu berkata lagi, "Allah berfirman:

Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. (Ali 'Imran/3:134)."

Ali bin Husain menjawab, "Pergilah kamu aku telah memerdekakanmu," demi mencapai keridaan Allah.

Demikianlah tindakan salah seorang cucu Nabi Muhammad SAW terhadap kesalahan seorang budak karena memang dia orang yang mukmin yang bertakwa, tidak saja dia memaafkan kesalahan budaknya bahkan pemberian maaf itu diiringinya dengan berbuat baik kepadanya dengan memerdekakannya.


Dr. Nasrul Syarif M.Si. 
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Buku The Power of Spirituality. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur

Posting Komentar

0 Komentar