Anjing Itu Bernama Javanologi


TintaSiyasi.com -- Sejak era pemerintahan Kesultanan Demak hingga masa Kesultanan Mataram, identitas budaya penduduk di pulau Jawa tidak bisa dipisahkan dengan keislaman mereka. 

Islam yang telah menjadi warna baru dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial telah berhasil ditransmisikan secara turun-temurun sebagai tradisi kepada anak cucu mereka. 

Walhasil kultur Jawa telah diwaenai tsaqafah Islam dan Islam telah menjadi identitas bagi orang Jawa itu sendiri. 

Pada kurun waktu tersebut kebijakan negara sangat diupayakan agar sesuai dengan hukum Islam. Hal ini dibuktikan dengan kuatnya peran ulama yang berada di sekeliling para Sultan. 

Bahkan gelar Panatagama, diberikan para ulama kepada mereka sebagai acuan bagi para penguasa untuk menjaga terlaksananya hukum Islam di tanah Jawa. 

Hal tersebut yang kemudian menyebabkan kuatnya perlawanan rakyat Jawa kepada penjajahan bangsa Eropa yang dianggap kafir dan mencoba untuk masuk serta menguasai tanah mereka. 

Reaksi keras terhadap imperialisme Eropa ini ditunjukkan sejak masa Kesultanan Demak Bintara hingga pecahnya perang Jawa melawan Belanda pada tahun 1825.

Namun demikian kondisi tersebut tidak bertahan terlalu lama. Sejak ditangkapnya Pangeran Diponegoro sebagai pemimpin perlawanan Perang Sabil di tahun 1830, bandul sejarah segera berbalik arah. 

Kerugian sebanyak 20 juta Gulden membuat pihak Belanda berfikir keras untuk menutup defisit anggaran belanja mereka sekaligus mencegah terjadinya perlawanan serupa. Para ekonom, politikus, militer dan ilmuwan telah dikerahkan secara besar-besaran untuk mengatasi hal tersebut.

Dititik ini kemudian Gubernur Hindia Belanda, Van Den Bosch mengusulkan dilakukannya Cultur Stelsel atau tanam paksa sebagai sweet revenge atas kekalahan mereka. 

Rakyat Jawa yang dulu telah merugikan Belanda kemudian dipaksa bekerja sampai mati untuk mengembalikan keuntungan dengan cara deforestasi dan menjadikan lahan tersebut menjadi hutan industri.

Untuk mendukung upaya ini perlu adanya kelancaran komunikasi dari rakyat Jawa dan para priyayi yang telah diarahkan untuk mengkhianati rakyatnya sendiri dan menjadi pegawai negeri.

Dari kepentingan inilah kemudian Belanda melakukan study terhadap budaya Jawa yang kemudian disebut sebagai Javanologi. 

Para arkeolog, filolog, dan antropolog Belanda dikerahkan demi mensukseskan agenda tersebut. Para Pujangga keraton juga ikut dilibatkan atas nama study budaya. 

Secara tidak sadar mereka membantu kelahiran program yang nantinya akan menghancurkan bangsanya sendiri. Berbagai manuskrip dan benda-benda purbakala digali untuk memperdalam pengetahuan pihak Belanda terhadap Jawa sehingga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.

Medan perang bersenjata yang memakan banyak biaya kemudian ditinggalkan dan diganti dengan perang asimetris lewat perang pemikiran dan budaya. Dengan cara ini Belanda akhirnya bisa memisahkan kekuatan Jawa dan kekuatan Islam yang dimasa sebelumnya telah bersatu menjadi kekuatan yang sangat merepotkan mereka. 

Upaya moderasi umat Islam adalah dengan cara mengaburkan dan menguburkan sejarah dan peran Islam di Jawa. Sebaliknya dengan study budaya, Balanda berhasil menggali sejarah pra Islam dan melakukan glorifikasi kebesarannya. 

Setelah mempelajari budaya Jawa, dengan politik pecah belah Devide et Impera, Belanda kemudian membagi penduduk Jawa menjadi tiga kasta. 

Yang pertama adalah golongan priyayi, yaitu bekas penguasa. Yang kedua adalah golongan putihan, atau partner bisnis dari bangsa Cina, Arab dan India. 

Yang ketiga adalah golongan abangan atau rakyat jelata. Pembagian ini sangat penting sebagai pemetaan potensi yang dikemudian hari memiliki nilai politis yang sangat tinggi.

Javanologi pada akhirnya telah berhasil tumbuh bagaikan binatang buas yang siap menghancurkan Jawa. Para Pujangga keraton yang dulu pernah membesarkannya, pada akhirnya diserang dan dimangsa hidup-hidup dengan pembunuhan karakter serta fitnah yang kejam tidak terkira. 

Ronggowarsito adalah salah satu korban keganasannya. Manuskrip dan karya tulis kuno Jawa di rampas dengan paksa dan dibawa ke Belanda untuk mendidik ilmuwan mereka dan mencetak ilmuwan pribumi yang pro Belanda. 

Hasil study Javanologi kemudian berhasil menginsiprasi terbitnya kitab-kitab sesat dan menyesatkan demi upaya mendiskreditkan Islam. Babad Kadhiri, Serat Gatholoco, Dhermagandhul dan sejenisnya dijadikan rujukan bagi orang-orang yang ingin belajar budaya Jawa bukan dari sumber aslinya. 

Bahkan dari study ini pula lah para misionaris berhasil menemukan pintu masuk yang selama ini tertutup untuk menjadikan Jawa terpisah dari Islam secara massal.

Lewat Javanologi, Belanda dengan politik etis gagasan Van Deventer, akhirnya berhasil memisahkan kultur pendidikan Islam berbasis pesantren untuk kemudian digeser menjadi sekolah berbasis sekuler. 

Hanya para priyayi yang pro penjajah saja yang diperbolehkan bersekolah di HIS, MULO, STOVIA dan lain sebagainya. Dikotomi pribumi abangan dan priyayi terpelajar telah membuat jarak sosial mereka semakin jauh, bahkan perasaan mereka terpisah secara diametral. 

Inilah awal kesuksesan dari perang budaya yang dilakukan penjajah Eropa, yang sebenarnya masih terus berlangsung hingga sekarang. 

Jawa pada akhirnya menjadi semakin sekuler akibat tercabik-cabik dan dipisahkan dari kemuliaannya oleh anjing penjaga yang bernama Javanologi tersebut. Moderasi agama yang dilakukan saat ini sebenarnya adalah program lama yang akan membuat Wong Jawa semakin ilang jawane. 

Wallahu A'lam bish Shawwab.


Oleh: Trisyuono D.
Pemerhati Sejarah 

Posting Komentar

0 Komentar