Sengkarut Rempang: Inikah Penindasan Rakyat Melalui Tangan Oligarki?


Tintasiyasi.com -- 'Kami tidak akan pindah meski kami terkubur di situ.' Inilah tekad perwakilan masyarakat dari 16 kampung adat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, menolak relokasi meski pemerintah memberi tenggat waktu pengosongan kawasan tersebut hingga 28 September 2023 demi pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City (BBC.com, 15/9/2023). 

Banyak pihak menilai, pemerintah terlihat ambisius membangun proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang telah lama hidup di Pulau Rempang. Menurut catatan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) serta Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, warga Rempang telah berdiri sejak 1834 sebelum Indonesia berdiri di tanah ini (Kumparan.com, 11/9/2023).

Sungguh disayangkan, Rempang Eco City sebagai PSN telah memicu konflik aparat dan warga. Sementara diduga proyek ini tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang terdampak. Mengapa dalam pembangunan PSN, pemerintah sering memobilisasi aparat demi berhadapan dengan masyarakat? Anda ingat kasus Wadas? 64 warga Wadas pernah ditangkap polisi secara sewenang-wenang berdalih pengamanan terhadap aktivitas pengukuran lahan sebagai rencana penambangan untuk Bendungan Bener, salah satu proyek strategis Jokowi. 

Bila realitasnya demikian, pemerintah gagal menjalankan mandat konstitusi. Bukankah negara didirikan antara lain untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum? Pun negara gagal menjalankan pasal 33 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Jangan demi menggelar karpet bagi investor, pemerintah justru menutup mata dan hati pada kepentingan publik, termasuk sejarah sosial budaya masyarakat setempat yang telah lama hidup di Pulau Rempang.

Proyek Rempang: Fasilitator Penindasan Rakyat Melalui Tangan Oligarki

Proyek Rempang Eco City merupakan kawasan industri, perdagangan, hingga wisata terintegrasi yang ditujukan untuk mendorong daya saing dengan Singapura dan Malaysia. Proyek tersebut akan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) dengan target investasi mencapai Rp 381 triliun pada 2080.

Berdasarkan catatan bisnis.com (13/4/2023), pengembangan kawasan oleh PT MEG, anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tomy Winata bernilai investasi jumbo ini dapat menyerap 306.000 orang tenaga kerja. Pun diyakini akan memberikan keuntungan bagi negara dari sisi investasi, dan BP Batam selaku pemegang hak pengelolaan lahan dari sisi pemasukan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). 

Namun ada fakta lain. Ternyata sejak pembangunan dimulai pada tahun 2022 oleh pemilik konsesi, konflik antara warga dengan pemilik konsesi atas lahan seluas kurang lebih 17.000 ha itu sering terjadi. Menurut Menkopolhukam Mahfud MD, duduk perkara konflik pembebasan lahan di Pulau Rempang itu bukan penggusuran tetapi pengosongan lahan, karena hak atas tanah telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan sejak 2001 dan 2002. Ada investasi ratusan triliun yang disiapkan di Pulau Rempang.

Sebelum investor masuk, tanah ini belum digarap dan tidak pernah ditengok. Pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, hak atas penggunaan tanah itu diberikan kepada pihak lain untuk ditempati. Situasi menjadi rumit ketika investor mulai masuk ke Pulau Rempang pada 2022. Ketika pemegang hak datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati.

Yang perlu dipertanyakan adalah mengapa pemerintah berani memberikan konsesi pengelolaan lahan dengan hak guna usaha (HGU) untuk pengembangan tanah seluas 17.000 ha, sementara ada 16 kampung Melayu kuno di dalamnya? Keputusan memberikan seluruh lahan kepada investor adalah sikap tidak memihak kepada rakyat dan berdampak pada 16 kampung tua Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat yang sudah bermukim di Pulau Rempang setidaknya sejak 1834 (Ahlul Fadli, Koordinator Media dan Penegakan Hukum, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan LAM Riau). 

Kalau benar ada kampung tua Melayu yang telah menghuni jauh sebelum HGU diberikan kepada pengusaha, maka di sini ada kekeliruan pemerintah waktu itu (2001/2002). Sebelum dijual kepada pengusaha, seharusnya penduduk yang ada di dalamnya diajak bicara (dialog).

Apakah mereka setuju dipindahkan (relokasi) atau ada cara lain yang dapat diterima tanpa pemaksaan atau kekerasan. Komunikasi hukum yang baik tampaknya belum dilaksanakan secara patut sebagaimana diwartakan oleh Media Indonesia (9/9/2023). Kalau benar pemerintah menganut adagium "salus populi suprema lex esto" mestinya cara-cara beradab berperikemanusiaan lebih diutamakan. 

Seringkali pembangunan meniscayakan adanya relokasi. Prinsip yang harus dipegang adalah bahwa orang yang terkena dampak (Affected Peoples/APS) dijamin kehidupannya pasca relokasi (resettlement) harus lebih baik menyangkut mata pencahariannya, rumah tempat tinggal, kesehatan hingga persoalan infra struktur lainnya. 

Jika pembangunan suatu kawasan yang dilakukan pemerintah melalui jalur investasi swasta justru menyengsarakan rakyat yang seharusnya dilindungi, maka bisa dikatakan pemerintah menjadi fasilitator penindasan terhadap rakyat melalui tangan-tangan oligarki. Dan bisa dipastikan ketika rakyat melawan rencana dan pelaksanaan proyek tertentu termasuk PSN, akan terjadi bentrokan, kekerasan, bahkan peperangan. 

Pengusiran berdalih relokasi pun merupakan tindakan tidak adil. Mengingat masyarakat Rempang sudah lama tinggal di daerah tersebut, bahkan jauh sebelum Indonesia ada. Bila muncul konflik, itu hal yang sangat masuk akal. Justru tidak masuk akal ketika mereka yang sudah turun-temurun tinggal di tempat itu kemudian tiba-tiba digusur.

Maka, tak lagi soal hukum. Kasus Rempang sudah merambah pada masalah politik, sosial, ekonomi, dan budaya bahkan hankam yang sangat rentan terancam. Atas dasar keprihatinan terhadap fakta ini, masih pantaskah kita meneriakkan dalil "salus populi suprema lex esto"? 

Ternyata kalau sudah bicara politik, patut diduga tidak ada kawan dan musuh abadi, yang abadi itu kepentingan. Realitasnya kepentingan adalah hukum tertinggi, bukan keselamatan rakyat. Dengan demikian, selama kebijakan pemerintah lebih berpihak pada oligarki dibanding kemaslahatan rakyat, di situlah konflik akan terjadi.

Dampak Pembangunan Rempang Eco City terhadap Kelestarian 16 Desa Tua Melayu

Merespons konflik di balik rencana pembangunan Rempang Eco City, wajar bila banyak pihak khususnya komunitas pegiat pembela hak rakyat dan lingkungan geregetan. Bentrokan aparat dan masyarakat menyisakan pertanyaan, sebenarnya pembangunan itu untuk siapa bila rakyatnya sendiri harus diusir dari tempat itu? 

Hingga diduga apa yang terjadi di Rempang bukan sekadar relokasi masyarakat, melainkan perampasan tanah rakyat yang dilakukan secara struktural oleh pemerintah melalui kerangka PSN. Bila demikian, rencana proyek ini akan berdampak negatif bagi kelestarian 16 desa tua Melayu. Dampaknya adalah:

Pertama, trauma masyarakat pasca konflik akibat rencana pembangunan Rempang Eco City. Pasca penembakan gas air mata yang terjadi hingga di sekolah-sekolah pada 7/9/2023, anak-anak takut pergi ke sekolah. Pendirian posko-posko polisi di wilayah itu pun justru bikin warga kian ketakutan.

Kedua, terjadi penindasan dan pelanggaran HAM khususnya hak kesejahteraan lahir batin, hingga hak atas pelayanan kesehatan dan tumbuh kembang generasi. Menurut Azlaini Agus (Tokoh Melayu Riau), sejak pertengahan Agustus 2023, pelayanan kesehatan di Puskesmas Rempang dihentikan, sekolah-sekolah negeri sudah dipindahkan. Hal ini dilakukan BP Batam dan Pemko Batam untuk memaksa warga Rempang meninggalkan kampung halaman dan menyetujui relokasi.

Ketiga, penduduk 16 Desa Tua Melayu terancam tergusur dan terusir dari ruang hidup yang telah mereka huni turun-temurun. Keliru bila penguasa menganggap penduduk 16 Kampung Tua di Pulau Rempang sebagai pendatang. Mereka termasuk Galang dan Bulang sudah eksis sejak lebih dari 300 tahun yang lalu, beranak-pinak, hidup mendiami pulau tersebut serta menjaga nilai dan tradisi nenek moyang sampai hari ini. Pada umumnya mereka beragama Islam.

Keempat, menyulitkan mata pencaharian penduduk. Mayoritas pekerjaan mereka sebagai nelayan dan pelaut. Perintah untuk mengosongkan kawasan pada 28/9/2023 akan membuat kelabakan. Ribuan orang tidak bisa tidur karena memikirkan mata pencaharian pengganti saat mereka pindah. Belum masalah lain seperti sekolah anak, dan lainnya.

Kelima, masa depan kehidupan masyarakat yang suram alias tidak jelas. Dikabarkan telah ada tawaran ganti rugi kepada warga atas tanah yang akan dijadikan proyek Rempang, namun tidak pernah terbuka. Pun selama ini hanya menggaungkan sosialisasi relokasi, tapi lokasinya hingga kini belum jelas. Karena ketidakjelasan itu, penduduk tegas menolak demi mempertahankan lahan mereka.

Demikian beberapa dampak negatif dari pembangunan Rempang Eco City terhadap kelestarian 16 Desa Tua Melayu. Dibandingkan kemaslahatan yang bakal dituai oleh mereka seperti peluang lapangan kerja baru, dampak negatif lebih jelas dirasakan. Maka, akankah pemerintah bersikeras melanjutkan proyek Rempang?

Strategi Pembangunan dengan Relokasi Penduduk yang Menjamin Kesejahteraan Masyarakat Terdampak

Konflik agraria di Indonesia terus terjadi sepanjang masa. Ribuan jumlah kasusnya, kecil hingga besar, penyelesaiannya butuh waktu panjang serta ongkos tak murah, hingga nyawa taruhannya. Sebut saja kasus Kedung Ombo dan tragedi Wadas yang masih menyisakan kepiluan.

Kasus Rempang juga  menambah daftar panjang konflik agraria yang disebabkan oleh PSN. Menurut catatan KPA, terdapat 35 kasus konflik agraria yang disebabkan oleh pembangunan PSN.

Dalam sengkarut proyek Rempang ini, patut diperhatikan strategi pembangunan dengan relokasi penduduk yang menjamin kesejahteraan masyarakat terdampak, antara lain: 

Pertama, pemerintah mengevaluasi apakah kebijakan Proyek Rempang ini telah mencerminkan tanggung jawabnya sebagai pelindung, pengayom, serta pengurus kepentingan rakyat, atau justru sebaliknya. Jauh dari rasa keadilan karena lebih mementingkan investor hingga terkesan menjadi “musuh” masyarakat.

Kedua, memberikan ruang partisipasi rakyat dan mendengarkan suara mereka. Upaya pemerintah mengerahkan aparat keamanan telah mengabaikan partisipasi sebagai salah satu prinsip penting pembangunan.

Tampaknya pihak kepolisian perlu diingatkan bahwa setiap warganegara berhak menyampaikan aspirasi  terkait penyelamatan kelestarian dan masa depan lingkungan hidup sebagaimana amanat Pasal 28H UUD 1945 dan UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

Ketiga, kepolisian tidak lagi represif. Saat bentrok pengukuran untuk pengembangan kawasan Rempang, polisi menembakkan gas air mata untuk menghalau demonstran. Tindakan kepolisian yang terindikasi intimidatif, refresif, dan konfrontatif, jelas melanggar hukum dan HAM sehingga layak mendapat kecaman publik.

Keempat, memberikan perlindungan kepada warga Rempang yang menolak, baik oleh hukum maupun HAM. Upaya mengadukan adanya ancaman, kekerasan, dan lain-lain, bisa terus dilakukan baik kepada Komnas HAM, Ombudsman (pertambangan tak berizin), KPK (jika ada indikasi KKN), Kapolri, Presiden, atau DPR dan DPD. 

Kelima, menjamin penggantian tempat tinggal yang lebih baik jika proyek terus berlangsung. Yaitu merelokasi warga Rempang ke tempat yang lebih kondusif, di mana lingkungan dan ketersediaan lapangan kerjanya terjamin. Jadi tidak sesederhana ganti lahan tapi juga memperhatikan faktor ekonomi, sosial, budaya. Ini merupakan salah satu tindakan prioritas pemerintah untuk mengambil kebijakan menguntungkan warganya.  

Keenam, mengharapkan lembaga seperti Komnas HAM dan sejenisnya untuk terus mengawal dan berupaya mencarikan solusi terbaik. Dengan melakukan mediasi dan mengundang para pihak untuk berdialog. 

Ketujuh, pemerintah mencari alternatif wilayah lain yang tidak menganggu ekosistem dan perekonomian masyarakat. Hal ini diharapkan menjadi jalan tengah sehingga tak merugikan warga Rempang dan pembangunan eco city  tetap berjalan.

Demikian beberapa strategi yang mungkin dilakukan. Kami kira pemerintah dan masyarakat juga bisa belajar dari kisah teladan Khalifah Umar bin Khaththab dalam menangani penguasa yang sewenang-wenang saat menggusur rumah “wong cilik”. 

Saat itu Umar didatangi seorang Yahudi tua yang mengeluh rumahnya digusur berdalih kepentingan umum. Ia memprotes kesewenang-wenangan Gubernur Mesir, Amru bin Ash, yang memaksa menjual tanahnya hingga membongkar gubuk reyotnya dan mendirikan masjid besar di atas tanah tersebut. Maka Umar memberikan hukuman pada Amru bin Ash karena menzalimi warganya. 

Melihat penerapan keadilan ala Islam, membuat orang Yahudi tersebut terketuk hatinya untuk masuk Islam dan merelakan tanahnya dibangun masjid. Tak heran jika pada masa pemerintahan Khalifah Umar, rakyat berada dalam kesejahteraan, keamanan, dan keadilan. Tak inginkah kita merasakan indahnya buah penerapan hukum Allah SWT ini?

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar