Kemendikbudristek Tidak Lagi Wajibkan Skripsi di Akhir Studi Mahasiswa, PAKTA: Outputnya Enggak Jelas


TintaSiyasi.com -- Terobosan baru Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim yang tidak lagi mewajibkan skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa S1 dan D4 menuai kritik banyak kalangan.

Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana menganggap ketentuan Nadiem yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi itu outputnya tidak jelas. Erwin mempertanyakan maksud Nadiem menjadikan skripsi sebagai opsi syarat kelulusan mahasiswa tingkat akhir, bukan lagi keharusan.
 
“Output yang dicapai dari kebijakan ini enggak jelas, ya. Targetnya, apa? Apakah Nadiem berpandangan bahwa skripsi itu merupakan beban pendidikan? Saya melihat, beban pendidikan bukan skripsi. Justru beban pendidikan itu lebih ke biaya yang mahal. Mestinya, kalau Nadiem ingin meringankan beban mahasiswa, cabut aja biaya pendidikan. Gratisin sekalian. Kasih beasiswa yang banyak. Kan bisa begitu kan? Kenapa harus skripsi yang dicabut? Outputnya apa? Ini perlu didetailkan memang. Ini enggak jelas outputnya," ujarnya kepada Tintasiyasi.com, Kamis (31/08/2023).

Erwin menilai, skripsi adalah bentuk komunikasi ilmiah. Artinya, seseorang akan diakui keilmiahannya ketika mampu berkomunikasi secara ilmiah, bukan hanya secara lisan, tetapi juga secara tulisan, misalnya skripsi bagi mahasiswa S1/D4, tesis untuk S-2, disertasi untuk S-3. Karena itu, menurutnya, mengharuskan skripsi sebagai syarat kelulusan adalah kebijakan yang bagus. Sedangkan, kebijakan baru Nadiem yang menerapkan kurikulum berbasis proyek lalu menyerahkan syarat kelulusan kepada masing-masing perguruan tinggi dan mengganti syarat skripsi dengan bentuk-bentuk tugas akhir lain seperti prototipe proyek itu dinilai Erwin tidak bagus karena kental aroma industrialisasi dan kapitalisasi di kampus.

“Itu bentuk-bentuk komunikasi ilmiah. Bagus justru. Bukan kemudian ditiadakan, kemudian berbasis proyek. Apakah nanti mahasiswa kita itu ingin dijadikan sebagai karyawan-karyawan proyek saja? Itu enggak bagus jadinya. Jadi, justru saya melihat ke depan itu akan sangat kental aroma industrialisasi di kampus. Aroma kapitalisasi di kampus itu akan sangat kental,” tegasnya.

Erwin menerangkan, penghapusan syarat skripsi akan membuat kualitas pendidikan dan riset memburuk karena pendidikan hanya mengejar kelulusan dan gelar sarjana untuk memenuhi tuntutan dunia kerja.

“Jika syarat skripsi dihapus, akhirnya nanti akan cepet-cepetan lulus. Enggak harus bikin skripsi. Akhirnya, akan buka lagi (pendaftaran mahasiswa baru). Dari sisi mahasiswanya, misalnya, akan cari kampus yang enggak ada skripsinya, yang penting kan sarjana, yang penting kan bisa bekerja. Akhirnya, secara umum kualitas pendidikan kita ke depan, 10-15 tahun ke depan akan menjadi sangat buruk kualitas riset kita, kualitas pendidikan kita, kualitas kemampuan berpikir kritis kita. Akhirnya berpikir semuanya ala buruh, ala karyawan, ala buruh pabrik jadinya,” terangnya.

Padahal, imbuh Erwin, lembaga pendidikan tinggi mestinya mengasah nalar kritis mahasiswa. Intelektualitas dan sikap kritis mahasiswa itu, menurutnya, akan meninggikan peradaban bangsa. Karena itu, lanjutnya, mestinya yang dilakukan pemerintah adalah menurunkan biaya pendidikan.

“Kalau mau, silakan diturunkan biaya pendidikan. Sekarang biaya pendidikan mencekik, kok. Banyak mahasiswa yang enggak lanjut karena faktor biaya. Mereka enggak melanjutkan ke perguruan tinggi bukan karena enggak mampu secara intelektual, tapi karena memang orang tuanya enggak mampu untuk membiayainya,” pungkasnya.[] Saptaningtyas

Posting Komentar

0 Komentar