Inilah Lima Kiprah Bung Karno yang Patut Diingat Generasi Muda!


TintaSiyasi.com -- Di tengah maraknya pembangunan patung Ir. Soekarno di berbagai daerah sebagaimana yang diinginkan Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Dr. (HC) Hj. Megawati Soekarnoputri sejak 2021, Jurnalis Joko Prasetyo menyampaikan lima kiprah Bung Karno yang patut diingat generasi muda. 

“Mbak Mega kan menyatakan keinginannya di setiap daerah dibangun patung ayahnya guna ‘mengingat jasa Bung Karno sebagai tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia yang telah mewariskan banyak pemikiran dan ideologi untuk bangsa Indonesia’. Nah, tentu tidak cukup mengingat sosok fisiknya saja kan? Ini ada lima kiprahnya ayah beliau yang patut diingat generasi muda juga dan jangan sampai lupa!” tegas Jurnalis Joko Prasetyo kepada Tintasiyasi, Jum’at, 1 September 2023. 

Pertama, Soekarno menolak Islam sebagai dasar negara. Para ulama perwakilan dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya, jelas Om Joy, begitu sapaan akrab jurnalis tersebut, dalam Sidang Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1945 menginginkan Islam sebagai dasar negara, namun Soekarno dan tokoh-tokoh sekuler lainnya menolaknya dengan tegas, lalu memunculkan istilah Pancasila sebagai nama lain dari sekularisme. 

“Padahal, bagaimanapun juga Soekarno adalah seorang Muslim, bila Muslim menolak Islam sebagai dasar negara, tentu saja ini mengkhianati agamanya sendiri,” jelasnya.

Kedua, mengkhianati kesepakatan Piagam Jakarta. Sehari setelah proklamasi, 18 Agustus 1945, beber Om Joy, Soekarno melakukan penghapusan sepihak tujuh kata (Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dalam Piagam Jakarta 1945. Sehingga yang tadinya berbunyi ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ diubah menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.

“Ketuhanan Yang Maha Esa, itu sekadar mengakui Tuhan itu Maha Esa, itu saja, tidak ada kewajiban menjalankan syariat Islam, baik bagi negara maupun rakyat. Ini sekuler namanya, tapi kalau tidak mengakui adanya Tuhan maka disebut ateis,” terangnya. 

Soekarno beralasan, beber Om Joy, kalau tujuh kata tersebut tidak dihapus maka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik bila tujuh kata tersebut masih tercantum dalam UUD 1945.

Padahal, jelas Om Joy, tujuh kata tersebut telah dirumuskan dan disepakati oleh Komite Sembilan (panitia kecil BPUPKI) yang salah satunya beragama Kristen, yakni AA Maramis. 

Bahkan, ungkap Om Joy, tokoh sekuler lainnya, yakni Muhammad Yamin menyebut kesepakatan antara kubu Islam dan kubu sekuler yang terjadi pada 11 Juli 1945 disebut sebagai Gentlement Agreement (Kesepakatan Luhur). 

“Aneh memang, kok orang sekuler memuji kesepakatan tersebut?” tanya Om Joy. Kemudian, Om Joy memahami mengapa Yamin memujinya karena hakikat dari tujuh kata tersebut semata-mata hanya menunjukkan menjalankan syariat Islam itu hanya di ibadah mahdah rakyat saja, sedangkan negara tetap saja sekuler. 

Untung saja, ungkap Om Joy, Ki Bagoes Hadikoesomo (Muhammadiyah) juga menyadarinya, maka pada 14 Juli 1945, mengusulkan untuk membuang tiga kata terakhir, yakni ‘bagi para pemeluk-pemeluknya’ sehingga redaksi katanya menjadi ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam’, maka jelaslah maknanya menjadi negara berkewajiban menjalankan syariat Islam.   

“Bung Karno pun langsung menolak usulan Ki Bagoes tersebut dengan alasan, tujuh kata tersebut sudah disepakati anggota sidang dan jangan dimentahkan kembali. Kurang lebih begitulah alasannya Bung Karno,” kata Om Joy, yang menilai itu hanyalah dalih dari Soekarno yang keukeuh menginginkan negara berdasarkan sekularisme. 

Buktinya, terang Om Joy, secara sepihak dan tanpa rapat kembali, pada 18 Agustus 1945 tujuh kata tersebut dihapus dan diganti menjadi Yang Maha Esa, lengkapnya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. 

“Ke Ki Bagoes melarang-larang mengubah tujuh kata tersebut, dianya sendiri malah sepihak mengubahnya, begitulah Bung Karno melakukan segala cara agar di negeri mayoritas Muslim ini tegak berdiri negara sekuler,” kata Om Joy. 

Ketiga, mengingkari janji akan diadakan pemilu enam bulan setelah penghapusan tujuh kata agar umat Islam dan ulamanya dapat memperjuangkan dasar negara Islam dalam konstituante hasil pemilu. 

Menurut Om Joy, janji itu merupakan rayuan Soekarno kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo (Muhammadiyah) agar untuk sementara setuju dahulu atas penghapusan tujuh kata tersebut sebelum akhirnya memperjuangkan Islam melalui pemilu. Namun, sampai Ki Bagoes meninggal (1954), pemilu tidak juga dilaksanakan. 

Keempat, pembubaran sepihak Sidang Konstituante. Soekarno melakukan pembubaran sepihak sidang yang merumuskan dasar negara (Islam atau Pancasila) dan undang-undang dasar sembilan bulan lebih awal dari jadwal yang disepakati lalu menyatakan kembali ke Pancasila dan UUD 1945. 

Menurut Om Joy, kaum Muslim terus menagih janji akan diadakannya pemilu untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, namun tidak jua digubris Soekarno, sampai akhirnya setelah Ki Bagoes meninggal, pada 1955 diadakanlah pemilu. Para wakil rakyat hasil pemilu tersebut terbagi ke dalam dua kubu besar yakni: Islam versus Pancasila dalam Sidang Konstituante yang berlangsung sejak 1956.

Pada akhir sidang tahun 1958, jelas Om Joy, penyusunan konstitusi telah mencapai 90 persen dari seluruh materi UUD. Namun, masih saja terjadi perdebatan sengit soal tujuh kata tersebut. Lalu, Soekarno meminta Konstituante menentukan tenggat untuk segera menyelesaikan pekerjaannya nanti pada 26 Maret 1960.

“Anehnya, meski deadline masih sembilan bulan lagi, tiada angin tiada hujan, pada 5 Juni 1959, Soekarno mengeluarkan dekrit presiden pembubaran Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Sejak itu, dimulailah masa baru yang sangat represif dan kemudian lebih dikenal dengan istilah masa Demokrasi Terpimpin,” ujar Om Joy.

Kelima, melakukan sinkretisme tiga ideologi dalam satu kabinet. Dalam Demokrasi Terpimpin tersebut, Soekarno membentuk Kabinet Nasakom yang merupakan singkatan dari nasionalis, agama, dan komunis. 

“Itu merupakan sinkretisme dari tiga ideologi, nasionalisme dari ideologi kapitalisme yang akidahnya adalah sekuler, agama itu ya maksudnya Islam yang akidahnya Islam, dan komunis dari ideologi komunisme yang akidahnya ateis,” pungkas Om Joy seraya menerangkan haram hukumnya mencampuradukan Islam dengan paham kufur termasuk kapitalisme maupun komunisme.[] Saptaningtyas

Posting Komentar

0 Komentar