Bagaimana Islam Mendudukkan Hadharah dan Madaniyah?

Setiap umat yang memeluk akidah tertentu pasti mempunyai hadhaarah, yang lahir dari akidahnya. Bagaimana kaum Muslim menyikapi hadhaarah umat lain? Bagaimana pula menyikapi bentuk-bentuk materinya?

Jawab:
Perlu diketahui, para ulama pada masa lalu belum ada yang secara spesifik merumuskan definisi tentang apa itu hadhaarah? Begitu juga dengan madaniyyah. Hal yang sama terjadi pada masalah tsaqaafah dan sains (‘ilm). Karena itu istilah ilmu digunakan oleh para ulama pada masa lalu untuk menyebut tsaqaafah, seperti ‘Ilm at-Tajwiid,Ilm at-Tawhiid,Ilm al-Qur’aan dan lain-lain. Ulama yang pertama kali melakukan klasifikasi ilmu adalah Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam kitabnya, Muqaddimah:

اِعْلَمْ أَنَّ الْعُلُوْمَ الَّتي يَخُوْضُ فِيْهَا الْبَشَرُ وَيَتَدَاوَلُوْنَهَا فِي الأَمْصَارِ تَحْصِيْلاً وَتَعْلِيْمًا هِيَ عَلَى صِنْفَين: صِنْفٌ طَبِيْعِيٌّ لِلإنْسَانِ يَهْتَدِي إِلَيْهِ بِفِكْرِهِ، وَصِنْفٌ نَقْلِيٌّ يَأْخُذُهُ عَمَّنْ وَضَعَهُ . وَالأَوَّلُ هِيَ الْعُلُوْمُ الحِكَمِيَّةِ الْفَلْسَفِيَّةِ... وَالثَّانيُّ هِيَ الْعُلُوْمُ النَّقْلِيَّةُ الوَضْعِيَّةُ، وَهِيَ كُلُّهَا مُسْتَنِدَةٌ إِلَى الْخَبَرِ عَنِ الْوَاضِعِ الشَّرْعِيِّ .

Ketahuilah, ilmu-ilmu yang ditekuni oleh manusia dan mereka sebarkan di tengah masyarakat, baik untuk dihasilkan maupun diajarkan, ada dua kategori: Ilmu thaabi’i, yang diperolah oleh manusia dengan menggunakan akal dan pikirannya. Kategori lain adalah ilmu naqli, yang didapatkan oleh manusia dari orang pembuatnya. Kategori pertama, adalah ilmu hikmah dan filsafat. Yang kedua adalah ilmu naqli yang dibuat dan digunakan, yang semuanya itu bersumber pada informasi dari Pembuat syariah.1

Kategori yang dibuat oleh Ibn Khaldun di atas, memang belum clear. Artinya, belum bisa digunakan untuk melakukan pemilahan dalam konteks kekinian. Apalagi digunakan untuk melakukan filterisasi terhadap budaya asing yang bersumber dari tsaqaafah-nya. Sebagai contoh, filsafat dengan berbagai macam turunannya, dalam kategori beliau, dimasukkan dalam kategori ilmu thaabi’i. Karena itu kategori beliau, jika digunakan untuk menjawab masalah kekinian yang dihadapi oleh kaum Muslim, jelas belum bisa digunakan sebagai filter secara presisi. 

Karena itu Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M) telah mengemukakan masalah ini dalam kitabnya, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz’ al-Awwal, ketika membahas tentang Tsaqaafah dan ‘Uluum.2 Adapun masalah Hadhaarah dan Madaniyyah telah beliau bahas di dalam kitabnya, Nizham al-Islam.3

Keempat pembahasan ini saling terkait satu sama lain. Tidak bisa dipisahkan. Karena itu keempatnya akan dibahas terlebih dulu. Baru kemudian kita akan membahas bagaimana sikap kita terhadap semuanya?

Dalam hal ini perlu dipahami:

اَلْحَضَارَةُ هِيَ مَجْمُوْعَة فَاهِيْمِ عَنِ الْحَيَاةِ والمدَنِيَّةُ هِيَ اْلأَشْكَالُ الماَدِيَّةُ لِلْأَشْيَاءِ المَحْسُوْسَةِ الَّتِي تُسْتَعْمَلُ فِي شُؤُوْنِ الحَيَاةِ، وَالحَضَارَةُ خَاصَة حَسَبَ وِجْهَةِ النَّظَرِ فِي الحَيَاةِ، فِي حِيْنٍ تَكُوْنُ المَدَنِيَّةُ خَاصَةً وَعَامَّةً .
Hadhaarah (peradaban) adalah kumpulan dari sejumlah pemahaman tentang kehidupan, sedangkan Madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda yang terindera, yang digunakan dalam kehidupan. Hadhaarah bersifat spefisik mengikuti pandangan hidup tertentu, sementara Madaniyah ada yang bersifat spesifik dan umum.” 4

Karena hadhaarah merupakan kumpulan pemahaman tentang kehidupan, maka jelas hadhaarah sangat dipengaruhi oleh akidah. hadhaarah Islam didasarkan pada keimanan kepada Allah SWT. Allah adalah Tuhan Yang Menciptakan alam, manusia dan kehidupan. Allah menetapkan sistem yang harus digunakan untuk mengatur semuanya. Akidah yang menjadi dasar peradaban Islam adalah keimanan kepada Allah, Malaikat, kitab, rasul, Hari Kiamat, serta Qadha’ dan Qadar baik dan buruknya berasal dari Allah. Karena itu peradaban Islam dibangun berdasarkan pondasi spiritual. 

Adapun pandangan hidup dalam hadhaarah Islam tercermin dalam falsafah Islam, yang terpancar dari akidah Islam, yang menjadi pondasi kehidupan dan seluruh aktivitas manusia dalam kehidupan, yaitu mazj al-madah bi ar-ruuh (mengintegrasikan materi dengan ruh). Ini terjadi ketika semua perbuatan manusia dijalankan berdasarkan perintah dan larangan Allah. Kebahagiaan dalam hadhaarah Islam adalah mendapatkan ridha Allah, dengan cara melaksanakan semua perintah dan meninggalkan larangan-Nya. 

hadhaarah Islam ini dibentuk oleh tsaqaafah Islam, yaitu pengetahuan yang menjadikan akidah Islam sebagai sebab pembahasannya, baik pengetahuan tersebut berisi akidah dan membahas akidah, seperti ilmu tauhid; atau dibangun berdasarkan akidah Islam, seperti fikih, tafsir dan hadis; atau pengetahuan yang dituntut untuk memahami hukum yang terpancar dari akidah, seperti pengetahuan yang dituntut untuk berijtihad dalam Islam, seperti ilmu bahasa Arab, Musthalah Hadits, Ilmu Ushul.5 Dengan kata lain, tsaqaafah Islam kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Dari keduanya, dengan memahami keduanya, dan apa yang dituntut oleh keduanya, maka semua cabang tsaqaafah Islam bisa diperoleh. 

Inilah karakteristik hadhaarah Islam, yang merupakan kumpulan pemahaman tentang kehidupan, yang dibentuk oleh tsaqaafah Islam. Karena itu hadhaarah Islam jelas berbeda dengan hadhaarah non-Islam, baik dalam aspek akidahnya, pandangan hidup, maupun pandangannya tentang kebahagiaan. Dengan kata lain, hadhaarah Islam berbeda dengan hadhaarah lain secara diametral, bukan hanya kulitnya dan artifisial. 

Berbeda dengan Madaniyah dan ‘UlumMadaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda yang terindera, yang digunakan dalam kehidupan, seperti mobil, handphone, motor dan sebagainya. Madaniyah ini ada yang bersifat spesifik, yang terpengaruh dengan hadhaarah tertentu, seperti film porno, kalung salib dan lain-lain. Hukum membuat, menjual dan menggunakan Madaniyah yang bersifat umum, yang tidak terpengaruh dengan hadhaarah, boleh. Sebaliknya, Madaniyah yang bersifat spesifik tidak boleh. Hukum mengadopsi, menerapkan dan menyebarkan hadhaarah non-Islam juga sama: tidak boleh. 

Adapun ‘Ulum, karena tidak dibangun dan lahir dari akidah tertentu, maka hukum mempelajari, menggunakan dan menyebarkan-nya boleh. Berbeda dengan tsaqaafahtsaqaafah asing (non-Islam) boleh dipelajari untuk diketahui; bukan untuk diadopsi, diterapkan dan disebarluaskan. Tujuannya adalah untuk dijelaskan, dikritik dan diruntuhkan agar tidak diambil dan digunakan oleh kaum Muslim.  

Sekarang pertanyaannya, bagaimana caranya kita menyikapi hadhaarah non-Islam? Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam hal ini menjelaskan dua kriteria: Pertama, pemahaman tentang kehidupan tersebut dibangun berdasarkan akidah Islam (mabniy[un] ‘alaa al-‘aqiidah al-islaamiyyah), atau tidak? Kedua, terpancar dari akidah Islam (munbatsaq[un] ‘an al-‘aqaidah al-islaamiyyah), atau tidak? Jika jawabannya iya, maka boleh diambil, digunakan dan disebarluarkan. Jika tidak, maka tidak boleh. 

Dari dua kriteria di atas, bisa disimpulkan, bahwa seluruh akidah dan hukum di luar Islam tidak boleh diambil, digunakan dan disebarluaskan, karena semuanya tidak dibangun berdasarkan akidah Islam  (mabniy[un] ‘alaa al-‘aqiidah al-islaamiyyah), dan tidak terpancar darinya  (mabniy[un] ‘alaa al-‘aqiidah al-islaamiyyah). Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ  ٨٥
Siapa saja yang mengambil selain Islam sebagai agama, sekali-kali tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi (QS Ali ‘Imran [3]: 85).

Lebih spesifik, Nabi saw. bersabda:

إنما أنا بَشَرٌ، إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ دِيْنِكُمْ فَخُذُوْهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ رَأْيِي فَإِنَّماَ أَنا بَشَرٌ
"Sungguh aku adalah manusia. Jika aku memerintah kalian dalam urusan agama kalian, maka ambillah. Jika aku memerintah kalian dalam urusan pendapatku (bukan agama), maka aku adalah manusia biasa" (HR Muslim).

Dalam hal ini, Nabi saw. membedakan antara perkara agama, yang meliputi seluruh kehidupan, atau Hadhaarah, dengan perkara dunia, yang tidak terkait dan terpengaruh dengan agama. Sebut saja sains (‘Uluum) dan Madaniyah yang bersifat umum. Dalam hal agama, standar atau kriteria adalah: yang dibangun berdasarkan akidah Islam (mabniy[un] ‘alaa al-‘aqiidah al-islaamiyyah) dan terpancar darinya (munbatsaq[un] ‘an al-‘aqiidah al-islaamiyyah); atau tidak menentukan apakah pemikiran, pandangan atau hadhaarah tersebut bisa diterima, digunakan dan disebarluaskan atau tidak?

Berbeda dengan sains dan Madaniyah, standar dan kriteria yang digunakan untuk mengambil dan menggunakannya adalah: Pertama, Muwaafaqah aw ‘adam al-Muwaafaqah (sesuai atau tidak) dengan Islam. Kedua, Mukhaalafah aw ‘adam al-Mukhaalafah (menyalahi atau tidak) dengan Islam. Karena itu, jika sains dan Madaniyah itu sesuai dengan Islam, dan tidak menyalahinya, maka boleh diambil dan digunakan. Jika tidak, maka tidak boleh diambil dan digunakan. 

WalLaahu a’lam.


Catatan kaki:

1 Al-‘Allamah ‘Abdurrahman Muhammad bin Khaldun, _Muqaddimah Ibn Khaldun,_ Dar al-Jil, Beirut, t.t, hal. 482.  

2 Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, _as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah,_ Dar al-Ummah, Beirut, cetakan VI, 1424 H/2023 M, Juz I, hal. 262-265.  

3 Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, _Nidzam al-Islam,_ Dar al-Ummah, Beirut, cetakan VI, 1422 H/2001 M, Juz I, hal. 64-69.  

4 Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, _Nidzam al-Islam,_ Dar al-Ummah, Beirut, cetakan VI, 1422 H/2001 M, Juz I, hal. 64.  

5 Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, _as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah,_ Dar al-Ummah, Beirut, cetakan VI, 1424 H/2023 M, Juz I, hal. 265.


Oleh: K.H. Hafidz Abdurrahman, M.A.
Ulama Aswaja

Posting Komentar

0 Komentar