Ajengan Yuana: Ucapan "Insya Allah" Bukan Parameter Masyarakat Telah Meninggalkan Agamanya


TintaSiyasi.com -- Merespons pernyataan Wakil Presiden K.H. Ma'ruf Amin yang mengatakan bahwa di zaman modern ini banyak kecenderungan orang sudah meninggalkan agama, contohnya tidak pernah menyebut "insya Allah", Peneliti Raudhah Tsaqafiyyah Ajengan Yuana Ryan Tresna menilai, mengucapkan "insya Allah" bukanlah parameter. 

"Ucapan insya Allah lebih kepada simbolik. Bisa iya, bisa tidak. Artinya, sering atau banyaknya atau bahkan tidak mengucapkan insya Allah, belum tentu menunjukkan parameter masyarakat tersebut telah meninggalkan agamanya atau melupakan Allah Swt.," ungkapnya kepada TintaSiyasi.com, Rabu (19-7-2023).

Ia menuturkan, parameter yang paling valid untuk menilai umat Islam meninggalkan agamanya adalah ketika umat Islam meninggalkan ajaran Islam, meninggalkan pelaksanaan hukum-hukum agama, hukum-hukum fiqih dalam Islam. 

"Bisa jadi, seorang yang misalnya ahli maksiat kemudian dia melakukan berbagai keharaman, sebut saja misal muamalahnya riba, tapi setiap kali berinteraksi ia mengatakan insya Allah. Nah, ucapan insya Allah tadi hanyalah simbolik. Artinya, bahwa tetap saja ia termasuk yang melupakan Allah, yang melupakan agamanya karena melakukan keharaman dan meninggalkan kewajiban, meskipun dalam lisannya mengucapkan insya Allah," jelasnya. 
 
Meski begitu ia setuju jika memakai ucapan insya Allah menjadi salah satu bukti bahwa umat Islam selalu ingat pada Allah Swt. 

"Misalnya dengan ucapan insya Allah, Allahu Akbar, laillahaillallah, Subhanallah, masya Allah, itu semua adalah kalimah yang baik atau kalimah toyyibah yang semestinya setiap muslim melakukannya atau mengucapkannya dalam konteks-konteks yang relevan," tuturnya. 

Ajengan Yuana, sapaan akrabnya mengatakan, ada dua faktor dominan yang menyebabkan umat Islam meninggalkan agamanya. Pertama, umat tidak paham bahwa Islam itu mengatur semua perkara dan solusi atas segala problematika yang ada.

Kedua, umat telah terpedaya dengan arus deras sekularisasi dan liberalisasi yang masuk melalui media dan aturan kurikulum.

Tanggung Jawab Siapa?

Menurutnya, kondisi umat yang telah jauh dari agama menuntut peran dan tanggung jawab ulama dan penguasa. Ia mengatakan, tanggung jawab ulama yang pertama, yaitu memadukan ilmu dan amalnya untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Kedua, ulama harus membela hak-hak umat yang terzalimi. Ketiga, ulama harus terdepan dalam melakukan muhasabah atau  menasihati penguasa untuk melaksanakan Islam dan mengingatkan ketika penguasa melanggar hukum Islam.

Ajengan Yuana menjelaskan, peran penguasa penting karena secara de facto hanya penguasa yang mampu menegakkan aturan atau syariat dalam bernegara.

"Maka, tanggung jawab penguasa adalah pengamalan. Dalam pengamalan syariat dalam lingkup bermasyarakat bernegara, itu tanggung jawab dari penguasa. (Yaitu) dengan menerapkan hukum-hukum Allah Swt. dalam seluruh sisi kehidupan dan menjadikan UUD (undang-undang dasar) dan UU yang ada semua bersumber dari hukum-hukum syariat," ucapnya.

Edukasi Umat

Oleh karena itu, jelas Ajengan Yuana, ketika umat Islam meninggalkan agamanya, solusinya adalah mengedukasi umat dengan syariah agar menjalankan agamanya secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan, bukan dengan pemikiran moderat sebagaimana digaungkan dewasa ini. 

Menurutnya, pemikiran moderat justru tidak menyelesaikan masalah. Sebaliknya, hanya membuat umat makin jauh meninggalkan agamanya.

"Ketika kita sadar umat Islam ini meninggalkan agamanya, maka solusinya mengedukasi umat agar komitmen, terikat dengan syariat Islam. Lalu, mendorong mereka untuk mendakwahkan dan menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat dan mengangkat pemimpin untuk menerapkan Islam secara sempurna dalam lingkup negara," pungkasnya.[]Tenira

Posting Komentar

0 Komentar