Jelang Pergantian Pemimpin 2024: Dilema Mencari Politisi ataukah Negarawan dalam Sistem Demokrasi Kapitalis

TintaSiyasi.com -- Dream leader! Kalimat ini hadir dari sebuah baliho calon presiden Indonesia 2024. Menjelang tahun politik, jalanan dijejali aneka sampah visual yang menampilkan calon pemimpin bangsa. Disertai kalimat pengharapan (slogan) munculnya pemimpin ideal yang akan berpihak dan mengutamakan kepentingan rakyat. 

Euforia dream leader tak pelak kerap mengiringi agenda politik lima tahunan yaitu pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg). Sebuah asa komunal di tengah minimnya negarawan. Ya, meskipun memiliki segudang politisi, bisa dibilang bangsa ini mengalami krisis negarawan sejati.  

Bila politisi -sekadar- sebagai orang yang bergerak dalam bidang politik (ahli politik) (KBBI), maka negarawan adalah pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan (KBBI). 

Dan sayangnya, saat ini para politisi tak lebih sebagai hewan politik (political animal). Demi memenuhi syahwat kekuasaan, mereka menabrak standar agama dan melabrak norma moral. Politik menghalalkan segala cara ala Machiavelli menjadi pedoman.  Kekuasaan adalah tujuan. Setelah kursi jabatan diraih, target selanjutnya adalah memanjangkan masa jabatan dan meluaskan gurita kekuasaan.

Dalam alam demokrasi kapitalistik, politik demi kekuasaan adalah keniscayaan. Adapun politik bermakna pengurusan kepentingan rakyat hanyalah slogan atau lip service. Maka tak hanya merindu, menjadi tugas segenap anak bangsa untuk mewujudkan para negarawan. Sosok-sosok visioner yang berupaya memenuhi semua kebutuhan rakyat. Bukan yang berjiwa pragmatis demi kepentingan diri, keluarga, dan kroni.

Krisis Negarawan, Keniscayaan dalam Sistem Demokrasi Kapitalis

Perbedaan politisi dengan negarawan adalah politisi bekerja untuk masa jabatannya, bahkan ingin memperpanjang masa jabatan, mengokohkan kekuasaan, mewariskannya demi ambisi dan keselamatan pribadi serta kroninya, meski bertentangan dengan konstitusi. Sementara negarawan mengabdikan dirinya untuk negara dan bangsa, sekaligus merupakan tokoh bangsa untuk dikenal di mancanegara, suara bangsa untuk rakyat bahkan didengar di seluruh dunia. Negarawan tidak bekerja untuk masa jabatannya, melainkan demi masa depan bangsa dan negara.

Sayang sekali, banyak pejabat penyelenggara negara --apalagi menjelang Pemilu-- ternyata lebih fasih menjadi politisi daripada negarawan. Sehingga kita sering menjadi pribadi, kelompok bahkan bangsa yang hipokrit, pura-pura, alias kamuflase. 

Pertama, pura-pura menjadi negara hukum namun ternyata negara kekuasaan, menjadikan hukum sebagai alat melegitimasi kekuasaan (the thinnest ROL). Hukum kehilangan marwahnya sebagai panglima bahkan dikangkangi oleh kepentingan politik yg seharusnya tunduk pada rule of the game, rule of law.

Kedua, pura-pura menjadi negara demokrasi tetapi ternyata sistem pemerintahan negara otokrasi, tirani, represif bahkan tyran-okhlokrasi. Berapa banyak hak asasi warga negara yang terampas oleh negara atas alasan pembatasan oleh hukum, undang-undang, bahkan perampasannya pun dilakukan dengan pendekatan keamanan, bukan prinsip-prinsip demokratis.

Ketiga, pura-pura menghormati, memenuhi, dan melindungi HAM tetapi sebenarnya tengah menistakan, mereduksi, dan menindas HAM.  Bahkan menempatkan rakyat berhadapan dengan penguasa layaknya antara penjajah dengan terjajah.

Kepura-puraan tersebut sebagai akibat lalainya insan terhadap kewajiban untuk berakhlak mulia. Sementara akhlak bukan sekadar sifat baik atau buruk, tetapi lebih dari itu. Akhlak merupakan hukum kodrat manusia (hukum alam yang diturunkan Tuhan Allah) yang menyangkut sifat perbuatan. 

Jujur, amanah, khianat, dan sebagainya tidak bisa dilihat hanya sebagai sifat baik, tetapi harus dilihat dari hukum atau kaidah moral yang memang wajib untuk dilaksanakan (imperative categories) bahkan hal itu merupakan perintah Tuhan.

Jika didalami, langkanya negarawan di dunia Islam (termasuk di Indonesia), tidak lepas dari hilangnya identitas politik peradaban umat. Sejak runtuhnya institusi politik khilafah islamiyah pada 1924, negeri-negeri Islam terjerumus pada sistem politik sekuler (demokrasi). Selain itu, kurikulum pendidikan berkiblat ke Barat hingga umat meninggalkan warisan peradaban Islam. 

Akibatnya, kaum Muslimin lebih akrab dengan pengertian politik dalam terminologi Barat. Di mana definisi politik adalah usaha untuk memperoleh kekuasaan, memperbesar atau memperluas, serta mempertahankan kekuasaan secara konstitusional maupun inkonstitusional. Konsep politik sekuler ini meniscayakan munculnya praktik politik transaksional yang melahirkan sosok individu pragmatis, tak lagi punya panggilan luhur untuk melayani negara, semua dihitung secara kalkulatif. 

Dalam lingkungan politik kotor nan sekuler seperti ini, wajar bila sulit tumbuh sosok negarawan. Mereka lebih memilih menjadi komprador penjajah dibanding melayani rakyat, membiarkan penjajah merampok dan merampas kekayaan alam negeri ini, tanpa peduli rakyat hidup menderita dan dijerat kemiskinan. 

Di sisi lain, para political animal ini pun dengan  keji mencoba terus membungkam dan mencabut pengaruh Islam ideologis dari akarnya, karena khawatir kekuasaan terancam dan pundi-pundi hartanya lenyap. Sehingga keberadaan negarawan Muslim pun makin sulit dan sedikit, kecuali kelompok yang ikhlas dan kuat pemikirannya. Sebagaimana perkataan tokoh pejuang Muslim Indonesia, “Islam beribadah akan dibiarkan, Islam berekonomi akan diawasi, Islam berpolitik akan dicabut seakar-akarnya.” (Muhammad Natsir)

Dengan demikian, dalam penerapan demokrasi kapitalistik saat ini, krisis negarawan adalah sebuah keniscayaan. Maka di tengah sistem politik ini, berharap muncul negarawan seperti Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Umar bin Abdul Aziz, Manshur al-Hajib, Harun ar-Rasyid, al-Mustanshir, Abdul Hamid II dan sebagainya, bak jauh panggang dari api.

Dampak Pemilu dalam Demokrasi Kapitalis yang Hanya Melahirkan Politisi terhadap Pencapaian Tujuan Negara

Pemilu yang telah dihelat setiap lima tahun sekali bisa dikatakan gagal mencetak sosok negarawan. Fakta membuktikan, pergantian pemimpin ternyata tidak menjamin kehidupan bangsa dan negara menjadi lebih baik. 

Selama sistem kehidupan sekularisme --salah satunya melahirkan sistem politik demokrasi kapitalis-- diterapkan, maka keberadaan pejabat negara berkarakter politisi tak bisa dihindari. Keberadaan sistem politik berbasis pemisahan agama dari kehidupan, mengagungkan kedaulatan rakyat serta kebebasan ini justru menyuburkan tumbuh kembangnya politisi busuk. Mereka menjadikan manfaat atau kepentingan sebagai tolok ukur segala sesuatu. 

Sementara, UUD 1945 menyatakan bahwa tujuan negara Indonesia adalah melindungi seluruh rakyat Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, Pemilu dalam sistem demokrasi kapitalis yang hanya melahirkan pejabat negara berkarakter politisi, akan berdampak buruk pada pencapaian tujuan negara.

Pertama, rakyat dianggap sebagai kaum terpinggirkan, tidak layak dilayani yaitu dipenuhi kebutuhan pokoknya dan diurus kehidupannya sebaik-baiknya. Konsep politik kapitalistik mendidik politisi sekuler sekadar mendapat manfaat dan meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Sehingga mereka berlaku sebagai tuan dan tidak sudi menjadi pelayan masyarakat.

Kedua, kesejahteraan rakyat tidak akan terwujud secara adil dan merata. Karena yang menjadi prioritas politisi adalah kepentingan diri, kroni, dan kelompoknya. Bukan rahasia umum bila persekongkolan penguasa (politisi) dengan pemilik modal telah membuat harta hanya berputar di sekitar circle mereka. 

Ketiga, kecerdasan bangsa (rakyat) tak akan meningkat. Bagaimana rakyat akan meningkat taraf berpikirnya hingga membaik level kehidupannya, bila para politisi kurang optimal dalam memberikan edukasi banyak hal dan menyediakan fasilitas pendidikan terbaik? Terlebih rakyat justru mendapat contoh buruk dari perilaku pragmatis para politisi.

Keempat, perlindungan terhadap rakyat kurang optimal. Politisi yang cenderung mengutamakan kemaslahatan diri dan kelompok, tidak akan berupaya optimal melindungi seluruh rakyatnya. Sebagaimana yang terjadi saat ini. Ketika rasa aman sulit didapatkan karena banyaknya tindak kriminalitas, penegakan hukum yang justru jauh dari keadilan (tebang pilih), serta perempuan dan anak sebagai kaum lemah sering dinistakan dengan banyaknya kasus kekerasan. Pun kurangnya perlindungan terhadap akidah Islam sebagai agama mayoritas penduduk dengan eksisnya beberapa ajaran sesat dan penghinaan terhadap ajaran Islam, Allah SWT, dan Rasul-Nya sering terjadi.

Kelima, tindak korupsi menjadi perkara 'lumrah' . Dalam demokrasi kapitalistik, money politic merupakan fenomena yang biasa terjadi. Untuk meraih jabatan eksekutif maupun legislatif dalam Pemilu butuh suntikan dana sangat besar. Sesuai prinsip kapitalisme, politisi tentu tak mau rugi. Minimal balik modal atau justru mendapat laba yang lebih tinggi. Bila dengan gaji resmi tak mampu memenuhi, maka korupsi menjadi pilihan. Lagi-lagi, uang rakyat dikebiri. Saat ini, korupsi bagaikan penyakit akut yang mengakar di setiap level kekuasaan di negeri ini.

Demikian beberapa dampak negatif yang mungkin terjadi akibat keberadaan pejabat berkarakter politisi yang lahir dari Pemilu dalam sistem demokrasi kapitalis. Bagaimana mungkin tujuan negara akan dicapai, bila keberadaan politisi sekuler justru kontraproduktif dengannya?

Strategi Melahirkan Negarawan dalam Perspektif Sistem Pemerintahan Islam

Dalam konteks Islam, bisa dikatakan, negarawan adalah seseorang yang ahli dalam kenegaraan Islam; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan) Islam; pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara (berdasarkan syariat Islam) dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.

Dalam Islam, negarawan sejati dan terbesar sepanjang sejarah tentu Rasulullah Muhammad SAW. Hanya dalam waktu 23 tahun, beliau menghasilkan tiga karya besar yang belum pernah dicapai oleh pemimpin mana pun di seluruh dunia. 

Pertama, tauhidullah (mengesakan Allah SWT). Beliau menjadikan bangsa Arab yang percaya banyak Tuhan (polytheisme) menjadi hanya meyakini satu Tuhan yakni Allah SWT. Kedua, tauhidul ummah (menyatukan umat). Nabi menjadikan bangsa Arab yang terpecah-belah dan terlibat peperangan  antarkabilah, menjadi bangsa satu dalam  ikatan akidah Islam. Ketiga, tauhidul hukumah (menyatukan negara/pemerintahan). Nabi menyatukan kepemimpinan bangsa Arab dalam satu pemerintahan Islam yang kekuasaannya meliputi sekitar Jazirah Arab. 

Keberhasilan Rasulullah Muhammad SAW sebagai negarawan tak lepas dari peran yang beliau mainkan. Menurut Imam al-Qarrafi (684 H) dalam "Anwar al-Buruq fi Anwa’i al-Furuq," setidaknya ada tiga peran yang dilakukan  bersamaan oleh beliau.  

Pertama, sebagai pengemban risalah Islam. Nabi SAW berdakwah di tengah masyarakat dengan metode penyampaian khas yaitu dengan hikmah (bil hikmah),  nasihat yang baik (mauizhah hasanah), serta membantah orang-orang yang menentang dengan argumentasi baik (jadilhum billati hiya ahsan) (QS. An Nahl: 125). Keberhasilan dakwah beliau juga ditunjang oleh kepribadian dan akhlak yang mulia. Kedua, sebagai kepala negara (pemerintahan). Rasulullah SAW hanya memerintah dengan Islam (menerapkan syariat Islam), sehingga kepemimpinan beliau sangat jauh dari kezaliman (QS. Al Maidah: 45). Memimpin masyarakat merujuk Al-Qur'an merupakan wujud kepemimpinan tulus/loyal, bukan hanya kepada rakyat, tetapi terutama kepada Allah SWT. Ketiga, sebagai qadhi (hakim). Rasulullah SAW selalu mengadili setiap perkara dengan seadil-adilnya. Tanpa pilih-kasih atau diskriminasi. Termasuk terhadap keluarga beliau sendiri.

Seorang negarawan sejati tentu pemimpin yang senantiasa bertanggung jawab atas semua urusan rakyatnya. Ia berupaya keras memenuhi semua kebutuhan rakyatnya. Tak mungkin membiarkan rakyatnya kelaparan, kesusahan, sakit, terlantar, terancam keselamatan jiwanya, dan sebagainya. Seorang negarawan benar-benar memahami dan mengamalkan sabda Rasulullah SAW, “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari)

Berikut strategi melahirkan negawaran dalam perspektif sistem pemerintahan Islam. Pertama, ormas/kelompok Islam mendidik umat dengan pemikiran Islam politik agar terwujud pemahaman shahih tentang makna politik.  Sebagaimana ungkapan Ibnu Taimiyah bahwa kekuasaan politik merupakan min a‘zam wajibat al-din (satu kewajiban agama yang utama). Politik (siyasah) dalam Islam adalah pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan oleh negara dan umat, karena negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan secara praktis. Sedangkan umat mengawasi negara dalam pengaturan tersebut. Sementara dalam sistem demokrasi kapitalis, makna politik disempitkan sebagai sarana meraih kekuasaan dan rakyat hanya menjadi obyek kekuasaan.

Kedua, masyarakat dipahamkan bahwa secara hakikat, negarawan dalam Islam adalah bagian dari cita-cita besar yang berakar pada tanggung jawab terhadap Sang Pencipta dan umat Islam. Negarawan adalah kualifikasi penting agar mampu mengemban peran besar dan cita-cita kepemimpinan atas umat Muhammad SAW.

Ketiga, masyarakat khususnya penguasa, menyadari bahwa secara praktis, negarawan adalah pemimpin yang kreatif dan inovatif, berani bertindak solutif saat yang lain tidak berani, dan berkarakter: memiliki mentalitas pemimpin (leadership), mampu mengatur urusan kenegaraan, mampu menyelesaikan permasalahan, dan mampu mengendalikan hubungan pribadi dan urusan umum. Selain itu,  negarawan adalah sosok yang mampu menerjemahkan (mentransfer) kitab-kitab dan pikiran para ulama ke dalam realitas kehidupan. Sebab, tegaknya pemikiran politik membutuhkan kepemimpinan politik.  Melimpahnya pemikiran politik dalam buku dan pikiran ulama, tidak akan berguna tanpa kepemimpinan politik yang menerapkannya dalam kehidupan. 

Keempat, menciptakan  lingkungan politik Islam yang sangat dipengaruhi oleh suasana keimanan (jawwul iman). Sosok negarawan hanya lahir dari lingkungan politik Islam di mana politik dipahami sebagai bagian dari aktivitas ibadah. Setiap orang dapat bahkan wajib untuk hidup di lingkungan politik ini, baik dia penguasa atau rakyat jelata. Dalam buku Pemikiran Politik Islam,  Abdul Qadim Zallum menggambarkan sosok negarawan adalah pemimpin politik tertinggi. Namun, negarawan tidak selalu menjadi pejabat dan tidak semua pejabat adalah negarawan. Negarawan adalah pemimpin kultural yang siap untuk menjabat, meskipun tidak harus menjabat. 

Kelima, keluarga berperan besar dalam melahirkan negarawan Muslim. Institusi terkecil ini berperan menanamkan tiga bekal bersumber dari akidah Islam, yaitu: sudut pandang menyeluruh dan khas tentang kehidupan, sudut pandang tertentu tentang kebahagiaan hakiki bagi masyarakat,  dan keyakinan terhadap sebuah peradaban (hadharah) yang akan diwujudkan. Hal ini akan menghasilkan kepekaan dan ketajaman ihsas (penginderaan)  pada diri negarawan, karena ia memiliki sudut pandang tajam dan perspektif Islam khas yang membuatnya mampu menyadari kerusakan di sekelilingnya dan mampu memimpin perubahan besar pada zamannya. 

Demikianlah beberapa strategi demi melahirkan sosok negarawan dalam perspektif sistem pemerintahan Islam. Dengan harapan terlahir sosok-sosok negarawan yang berdedikasi dalam perjuangan mewujudkan perubahan hakiki dan  memimpin perubahan besar di tengah umat, merujuk pada metode Rasulullah SAW dalam berdakwah melakukan perubahan. 

Sehingga kekuasaan Islam bisa kembali terwujud sebagaimana firman Allah SWT, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur: 55)


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Pustaka

Merindukan Negarawan Sejati, Buletin Kaffah, 29 Maret 2019.

Komara, Fika, Kualitas Seorang Negarawan dalam Perspektif Islam, muslimahnews.com, 7 Mei 2021.

Susanto, Eko, Ideologi Kapitalisme dan Krisis Negarawan, mediaumat.id, 15 Oktober 2019

Posting Komentar

0 Komentar