Akibat Framing Jahat: Bakal Capres Mana yang Alergi dengan Dakwah Khilafah Ajaran Islam?


TintaSiyasi.com -- Pasca-deklarasi Ganjar Pranowo sebagai bakal calon Presiden Pemilu 2024 oleh Ketua Umum PDIP Megawati, Ulama asal Malang Raya yang merupakan Inisiator Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK), Habib Syakur Ali Mahdi Al Hamid  berharap agar Ganjar tetap berkomitmen untuk memastikan ketidaksepakatan dengan kelompok Islam konservatif yang bersikeras mendirikan negara khilafah di Indonesia. Ia menyatakan: “Perjuangan saya menolak Khilafah, saya kira Pak Ganjar masih berkomitmen untuk memastikan Indonesia bebas dari rongrongan pengasong khilafah dan mengganggu eksistensi Pancasila dan NKRI,”. Ada apa dengan nomenklatur sistem pemerintahan Islam dengan sebutan khilafah tersebut? Mengapa dianggap sebagai ancaman bagi Pancasila dan NKRI, sementara mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim, yang mendekati 87,19%? 

Kalimat yang keluar dari Habib Syakur ini, tampak sekali memframing agar khilafah yang notabene merupakan ajaran Islam akan diposisikan sebagai ideologi atau paham, padahal khilafah itu sistem pemerintahan Islam---seperti sistem pemerintahan lain (teokrasi, monarki, demokrasi)---yang berada di bawah ideologi, dalam hal ini sistem pemerintahan tersebut berada di bawah naungan ideologi Islam. Pernyataan itu juga terkesan ingin memframing bahwa setelah sistem pemerintahan Islam dianggap sebagai ideologi atau paham, maka langkah selanjutnya adalah mengkriminalisasikan ajaran tersebut plus pendakwahnya melalui pasal-pasal pidana, khususnya KUHP Baru yang akan berlaku mulai tahun 2025.

Di antara beberapa pasal yang dianggap kontroversial karena dinilai bisa memberangus kebebasan berpendapat masyarakat, salah satunya adalah Pasal 188 ayat 1 yang berbunyi, "Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun."

Nah, penambahan frase "atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila" inilah yang ramai disorot, karena dikhawatirkan akan menjadi pasal karet yang bisa ditarik ulur sesuai kepentingan penguasa atau saat penguasa mentarget seseorang/suatu kelompok yang dianggap mengganggu kedudukan rezim. Kita belajar dari sejarah pembentukan UU Ormas 2013 jo 2017 dan RUU HIP. 

Dalam UU Ormas juga ada larangan ormas menganut ideologi yang bertentangan dgn Pancasila. Apa itu ateisme, komunisme dan marxisme leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila. Apa maksud paham lain tsb? Ternyata dijawab oleh Sekjen PDIP Hasto Kristianto ketika ribut penyusunan RUUHIP. Maksudnya adalah ideologi radikalisme dan khilafahisme.

Masih terkait Pasal 188 ayat 1 ya. Ketua YLBHI menilai bahwa pasal penyebaran Marxisme Leninisme serta paham yang bertentangan dengan Pancasila ini berpotensi tak hanya mempidanakan kelompok kiri, namun juga golongan kanan seperti kelompok yang selama ini aktif memperjuangkan ajaran Islam khilafah. Kata menyebarkan itu dimaknai mengajarkan dan mengajak orang lain utk menganut ideologi tsb. Baik ideologi kiri maupun ideologi kanan. Tapi dibatasi jika utk kepentingan ilmiah (kajian ilmiah, penelitian, kuliah dll) dikecualikan. Namun, semua tergantung wajah dan kerakter rezim yang sedang berkuasa. Potensi dipenjarakan lbh kuat pd rezim yang represif. Termasuk dakwah ajaran Islam juga terancam dikriminalisasikan. Pengalaman yang terkait hal ini misalnya pencabutan badan hukum dan pembubaran HTI dan FPI.

Bila benar khilafah menjadi salah satu sasaran dari keberadaan Pasal 188 ayat 1, maka sungguh tidak layak persekusi, kriminalisasi terhadapnya, karena ini berarti menganggap khilafah sama bahayanya dengan komunisme. Menyebarkan khilafah dianggap sebagai bentuk kejahatan atau kriminal. Terjadi kriminalisasi khilafah. Padahal kita ketahui bersama bahwa khilafah adalah ajaran Islam.

Saya berpendapat bahwa sistem pemerintahan Islam bernama khilafah itu bagian dari fiqih siyasah, yang diajarkan dlm kitab-kitab madzab. Jadi, tidak layak jika dakwahnya dipersekusi, diancam pidana apalagi disejajarkan dgn ideologi terlarang komunisme. Ini merupakan sebuah bentuk penistaan trrhadap ajaran Islam yg agung.

Bila nanti misalnya ada pendakwah khilafah yang terjerat pidana gegara menyalahi Pasal 188 ayat 1 ini, maka dapat dikatakan bahwa rezim telah berlaku SSK yang berujung pada penegakan hukum yang tidak berkeadilan. Ketika rezim merasa terancam dgn dakwah Islam, maka akan menggunakan segala cara utk menghambat dgn tindakan SSK, suka-suka kami menafsirkan ideologia atau paham lain apa yang dinilai bertentangan dengan Pancasila. Mestinya Liberalisme termasuk di dalamnya. Ketika SSK, maka yang ada yaitu penegakan hukum yang diskriminatif, represif dan pasti jauh dari penegakan hukum berkeadilan.

Mendakwahkan Islam terutama ajaran khilafah tentu ada risikonya. Bahkan bisa jadi jiwa taruhannya. Karena ketika hendak mengaplikasikan Islam dalam ranah kekuasaan pasti akan berhadapan dengan penjaga kekuasaan dan sistem hari ini. Meskipun begitu, masih ada ruang bagi para pejuang untuk berikhtiar agar tidak terkena delik pidana. Oleh karena itu bagi para pendakwah khilafah harus memiliki strategi agar terhindar dari hukuman pidana.

Dakwah tetap harus dilakukan namun tidak usah singgung-singgung soal ideologi Pancasila. Lurus dakwah tentang ajaran Islam khilafah dan tidak harus menyatakan dengan tegas untuk mengajak orang lain menerapkan secara paksa apalagi dengan kekerasan. Hindarkan kata ajakan, bujukan, rayuan dll. Sampaikan saja substansinya, kognisinya tanpa harus persuasi-nya. 

Di tengah aroma represifitas yang menguat di balik pengesahan RKUHP ini, maka para pejuang kebenaran dan keadilan, wa bil khusus bagi pendakwah ajaran Islam khilafah harus tetap istiqomah. Berdakwah tetap harus dijalankan baik dengan KUHP lama atau Baru. Rezim lama atau baru membutuhkan strategi yang jitu. Namun demikian dakwah tetap mengandung risiko berat, jalannya mendaki dan terjal. Jangan lelah berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan tuntunan Alloh dan rasul-Nya. Dakwah khilafah sepanjang ditempatkan sbg bagian dari fiqih siyasah saya yakin tetap aman sepanjang tidak ada unsur pemaksaan, kekerasan apalagi makar. MUI harus tegas terkait dengan kedudukan fiqih siyasah tentang khilafah dalam Islam. Jangan diam, atau membiarkan statusnya tidak jelas dan menjadi bulan-bulanan bagi kaum pembenci ajaran Islam khilafah.

Perjuangan dan dakwah Islam tidak tergantung pada rezim dan UU yang berlaku sepanjang yg didakwahkan adalah ajaran Islam. Khilafah bukanlah isme, melainkan sistem pemerintahan yg berbasis pada Islam sebagai agama dan Ideologi (mabda). Jadi tidak bisa disamakan dengan ideologi komunisme, sehingga mendakwahkannya adalah sebuah kewajiban bagi semua muslim yang beriman. Tidak boleh ada persekusi dan ancaman penjara terhadap pendakwah bagian dari fikih siyasah tersebut. 

Bagi umat Islam, hasil bukanlah tujuan utama dakwah. Yang terpenting adalah proses menempatkan diri kita. Koordinat kita dalam dakwah tersebut. Kita di barisan pejuang, ataukah sebaliknya, berada di barisan pecundang, memusuhi dakwah khilafah sebagai bagian dari fikih siyasah Islam.

Apakah betul Ganjar Pranowo alergi terhadap dakwah ajaran Islam, sementara ia pun mengakui sangat dekat dengan para kiai, para ulama? Apakah dia juga mengalami islamofobia khususnya khilafahfobia? Bagaimana dengan Anies Rasyid Baswedan? Bagaimana juga dengan Prabowo Subianto? Setali tiga uangkah? Lalu, apa langkah terbaik bagi umat Islam yang memiliki kewajiban mendakwahkan syariat Islam, termasuk fikih siyasah tentang sistem pemerintahan khilafah? Pertanyaan-pertanyaan itu boleh disimpan sebagai cadangan dalam acara debat capres 2023/2024 nanti. Tabik!

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat 
Semarang, Senin, 24 April 2023

Posting Komentar

0 Komentar