Perpanjangan Masa Jabatan Kades Berpotensi Mengukuhkan Dinasti Oligarki


TintaSiyasi.com -- Ironis, bukannya muhasabah diri, tetapi malah minta perpanjangan jabatan. Begitulah tuntutan kepada desa se-Indonesia, mereka menuntut perpanjangan masa jabatan kades yang sebelumnya enam tahun menjadi sembilan tahun. Pun meminta DPR merevisi masa jabatan yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (liputan6.com, 27/1/2023).

Ribuan kades dari seluruh Indonesia yang tergabung dalam Papdesi (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) menggelar demonstrasi di depan gedung DPR RI, Selasa (17/1/2023) dan menyampaikan tuntutannya. Mereka berharap dengan penambahan masa jabatan dapat meningkatkan kinerja Kades dan menekan konflik polarisasi akibat pemilihan Kades. 

Ada beberapa catatan soal perpanjangan masa jabatan 9 tahun tersebut. Pertama, penambahan masa jabatan 6 tahun menjadi 9 tahun berpotensi mengukuhkan dinasti oligarki di desa tersebut. Bayangkan, ketika mereka menjadi Kades dan terpilih lagi, mereka memiliki kesempatan terpilih tiga periode. Seumpama satu periode 9 tahun, maka sama dengan 27 tahun masa jabatan mereka. Sungguh luar biasa lebih panjang daripada masa jabatan presiden. 

Kedua, perpanjangan masa jabatan belum tentu berkolerasi pada kualitas kinerja dan kesejahteraan masyarakat desa. Penyebab ketidaksengajaan bukan hanya soal kinerja pemimpin dan perangkat pemerintahan saja, tetapi juga aturan dan sistem yang mereka jalankan. Seumpama negeri ini dari pusat sampai ke desan menerapkan aturan mengabaikan hukum Islam dan lebih memilih memutuskan berdasarkan aturan manusia pasti kerusakan, kesengsaraan, dan pertikaian akan terus bergejolak. Manusia itu lemah tidak mampu mengatur dirinya sendiri, oleh karena itu, Allah Subhanahu wata'ala menurunkan aturan Islam untuk mengatur manusia dalam segala aspek kehidupan. Maka, perpanjangan masa jabatan hanya akan mengukuhkan cengkeraman oligarki desa tersebut.

Ketiga, makin panjang masa jabatan makin besar potensi penyelewengan dana. Gurita korupsi, kolusi, dan nepotisme berpotensi mengakar kuat apabila masa jabatan diperpanjang. Demokrasi kapitalisme meniscayakan adanya gratifikasi dari hulu hingga hilir, bayangkan jika masa jabatan makin panjang, bukannya mengurusi masyarakat desa, dikhawatirkan kades terpilih berpotensi menimba kekayaan untuk balik dan cari modal pemilihan kades yang akan datang. 

Sungguh ironis, jabatan adalah amanah, amanah akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Karena dorongan keimanan seharusnya manusia itu berhati-hati dalam meminta jabatan, bukan justru serakah dan rakus ingin masa jabatannya makin lama. Padahal kondisi yang dipimpinnya masih jauh dari kata sejahtera.

Keempat, indikator pembangunan desa bukan dari masalah masa jabatan, melainkan soal kepercayaan warga desa kepada kinerja aparat desa. Selain itu, tuntutan penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun berpotensi melangsungkan perpanjangan oligarki. 

Kebijakan perpanjangan masa jabatan dikhawatirkan juga sebagai upaya mendorong kepentingan politik pribadi. Hal tersebut diperkuat jika tidak ada warga desa yang meminta jabatan kades diperpanjang. Ditambah lagi banyaknya berita kepala desa yang tersangkut masalah korupsi. Maka perpanjangan masa jabatan justru akan membuat potensi korupsi semakin besar.

Sungguh miris, usulan perpanjangan masa jabatan dengan alasan untuk melaksanakan program pembangunan. Tetapi, inilah fakta sistem pemerintahan demokrasi yang diterapkan negeri ini.

Kelima, akar permasalahannya sejatinya terletak pada sistem yang menopang aturan lamanya masa jabatan itu sendiri, yaitu demokrasi. Mustahil terlahir pemimpin pro umat dalam sistem demokrasi. Karena para kandidat tidak bisa dilepaskan dari oligarki dan para pemilik modal.

Kontestasi politik yang begitu mahal meniscayakan keterlibatan para pemilik modal dan dukungan penuh oligarki. Terjadinya politik transaksional, yaitu jual beli jabatan dan jual beli kebijakan yang senantiasa membingkai kinerja mereka.

Maka tak heran jika kebijakan hanya berputar pada kepentingan korporasi sang sang pemilik harta dan oligarki sang pemilik kuasa. Sehingga bisa dipastikan pejabat yang lahir dari sistem pemilu demokrasi tidak akan pernah melayani umat, kecuali hanya sedikit yang itupun hanya untuk politik pencitraan.

Sebaliknya mereka akan berusaha memperlama masa jabatan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Dalam sistem demokrasi jabatan dan kekuasaan hanya menjadi alat untuk memperkaya diri dan memfasilitasi para pengusaha yang menjadi para penguasa sejati untuk mencapai tujuannya sendiri bukan untuk kepentingan rakyat.

Lamanya masa jabatan tidak akan menjadi persoalan selama kekuasaan ditempatkan sebagai amanah dalam mengurus rakyat yang disadari akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT kelak di akhirat. Paradigma seperti ini hanya ada di dalam sistem politik Islam, yaitu Khilafah Islamiyah yang menjadikan syariat Islam satu-satunya pijakan dalam menetapkan aturan dan kebijakan.

Dalam Islam, seorang penguasa atau pemimpin adalah pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya dan kelak ia akan dimintai pertanggung jawabannya di hari kiamat atas amanah kepemimpinannya itu sebagaimana hadis Rasulullah SAW, "Imam adalah raa'in (pengembala) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya."
(HR. Al-Bukhari)

Seorang penguasa atau pemimpin di dunia wajib memelihara agar urusan sandang, pangan dan papan rakyatnya bisa tercukupi. Demikian juga menjaga segala kebutuhan kolektif mereka, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. Sesungguhnya telah jelas bahwa pada dasarnya seluruh kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan hukum Allah SWT dan amar makruf nahi mungkar.

Sistem pemerintahan dalam Islam tidak hanya efektif dan efisien, tetapi juga menutup peluang lahirnya diktatorisme, kesewenang-wenangan, dominasi kekuasaan oleh kelompok tertentu. Sebab baik rakyat maupun penguasa tidak diberi hak membuat hukum yang lazim digunakan untuk memaksa orang lain.

Adapun masa jabatan khilafah dan pemimpin di bawahnya akan dibatasi oleh wilayah, yakni wali dan amil tidak dibatasi waktu dan periode, melainkan dibatasi dengan hukum syariat. Jabatan khalifah dan pemimpin-pemimpin tersebut boleh sebentar atau lama. Ia boleh diberhentikan di tengah jalan kapan saja,jika terbukti melanggar syariat dan boleh menjabat hingga akhir hayat jika taat kepada syariat.

Ia bisa tetap dipertahankan selama masyarakat masih menyukainya dan tidak ada aturan yang dilanggar. Artinya yang membatasi jabatan khalifah adalah syarat tertentu. Selama ia masih memenuhi syarat tersebut, maka ia akan menjabat sampai meninggal atau sampai tidak memenuhi salah satu syarat sebagai penguasa kaum Muslimin.

Dalam riwayat Imam Muslim dari jalan Ummu al-Hushain disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "(Selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah, maka ia wajib didengar dan ditaati." (HR. Muslim)

Demikianlah, hanya penerapan syariat Islam kaffah yang mampu melahirkan pemimpin amanah dan mengayomi rakyatnya.[]

Oleh: Nabila Zidane (Analis Mutiara Umat Institute) dan Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Institute)

Posting Komentar

0 Komentar