Fiqih Peradaban Bertentangan dengan Maqashidus Syariah

TintaSiyasi.com -- Fiqih Peradaban yang dimaksud dalam tulisan ini adalah fiqih yang digagas oleh NU (Nahdlatul Ulama) yang menjadikan Piagam PBB sebagai sumber hukum Islam (6/2/2023). Namun karena menimbulkan kritik-kritik tajam ketika Piagam PBB dijadikan sumber hukum Islam, akhirnya ada klarifikasi dari Ketua Umum PBNU, bahwa yang dimaksud olehnya sebenarnya bukan menjadikan Piagam PBB sebagai sumber hukum Islam, melainkan sekedar menegaskan bahwa perjanjian antara negara anggota PBB dengan PBB itu merupakan perjanjian yang bersifat mengikat.

Fiqih Peradaban tersebut telah menempatkan Piagam PBB dan PBB sebagai dasar yang paling kokoh dan yang tersedia untuk mengembangkan fiqih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis. (Sumber: www.kompas.tv).

Fiqih Peradaban ini merupakan wacana baru yang dikembangkan NU untuk menggantikan cita-cita menyatupadukan seluruh umat Islam dalam negara tunggal sedunia, yaitu negara Khilafah. Usaha mendirikan kembali Khilafah dianggap bertabrakan dengan maqashid syariah, dengan bukti kasus ISIS yang dalam usahanya mendirikan kembali Khilafah, dinilai menimbulkan banyak kerusakan dan kemudharatan. Maka Fiqih Peradaban datang konon diharapkan dapat mewujudkan maqashid syariah dengan mencegah eksploitasi atas identitas, menangkal penyebaran kebencian antargolongan, mendukung solidaritas, dan saling menghargai perbedaan di antara manusia, budaya, dan bangsa-bangsa di dunia, serta mendukung lahirnya tatanan dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis, tatanan yang didasarkan pada penghargaan atas hak-hak yang setara serta martabat setiap umat manusia. 

Tulisan ini bertujuan untuk membuktikan bahwa yang bertentangan dengan maqashid syariah itu sebenarnya bukanlah Khilafah yang merupakan kewajiban syariah, melainkan justru Fiqih Peradaban itu sendiri, yang menjadikan PBB dan Piagam PBB sebagai rujukan untuk mewujudkan perdamaian dan keharmonisan dunia.

Kritik terhadap Fiqih Peradaban

Fiqih Peradaban wajib hukumnya secara syariah untuk ditolak, karena justru Fiqih Peradaban itu yang bertentangan dengan maqashid syariah, yaitu bertentangan dengan:

1. prinsip menjaga agama (hifzhud din), 
2. prinsip menjaga akal (hifzhul ‘aqal), 
3. prinsip menjaga nyawa (hifzhun nafs), 
4. prinsip menjaga harta (hifzhul mal), dan 
5. prinsip menjaga keturunan/keluarga (hifzhun nasl).

Bukti Fiqih Peradaban bertentangan dengan maqashid syariah, terdapat pada 5 (lima) poin bukti yang akan dijelaskan dalam lanjutan tulisan ini secara detail.

(1) Bukti Fiqih Peradaban Bertentangan Dengan Prinsip Menjaga Agama (Hifzhud Din)

Fiqih Peradaban bertentangan dengan prinsip menjaga agama (hifzhud din), karena terdapat bukti sejarah bahwa ketika Khilafah Utsmaniyah bergabung dengan Aliansi Kristen Eropa (yang menjadi cikal bakal PBB) pada abad ke-19 M, ternyata Khilafah Utsmaniyah disyaratkan harus mengadopsi prinsip-prinsip Kristiani dan meninggalkan hukum Islam khususnya hukum-hukum mengenai hubungan internasional, seperti hukum-hukum jihad dalam fiqih Islam.
 
Perlu diketahui bahwa sejarah PBB itu cikal bakalnya justru adalah aliansi negara-negara Kristen Eropa guna menghadapi futūhāt (penaklukan/ekspansi) yang dilakukan oleh Daulah/Khilafah Utsmaniyah, pada akhir abad ke-15 M dan awal abad ke-16 M.

Futūhāt itu berhasil menaklukkan negeri-negeri Kristen Eropa, seperti Yunani, Romania, Albania, Yugoslavia dan Hungaria. Untuk merespon futūhāt dari pasukan jihad Khilafah Utsmaniyah itu, dibentuklah kemudian Holy League (Latin : Sacra Ligua) pada tahun 1684 oleh negara-negara Kristen Eropa, seperti Austria, Polandia, Venice, dan Rusia. Pembentukan Holy League ini telah diinisiasi oleh pemimpin tertinggi agama Katolik sedunia saat itu, yaitu Paus Innocent XI. (Sumber: https://www.britannica.com/topic/Holy-League-European-alliance-1684; https://id.wikipedia.org/wiki/Liga_Suci_(1684).

Aliansi negara-negara Kristiani ini kemudian terbukti berhasil menahan futūhāt Utsmaniyah, dan bahkan saat Khilafah Utsmaniyah melemah pada abad ke-19 M, tepatnya tahun 1856 M, Khilafah Utsmaniyah justru bergabung dengan aliansi negara-negara Kristiani tersebut. (Nicko Pandawa, Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda, hlm. 51-52).

Pada tahun 1856 itu, akhirnya Khilafah Utsmaniyah bergabung masuk ke Aliansi negara-negara Kristiani tersebut, tetapi dengan syarat yang sangat berat, yaitu wajib mengadopsi pandangan-pandangan Kristen (adopt those Christendom) dan meninggalkan hukum-hukum Islam dalam hubungan internasional, seperti hukum-hukum Dārul Islām dan Dārul Harbi (Dārul Kufur), hukum kāfir harbi dan kafir dzimmi, hukum jizyah, hukum dakwah dan jihad fi sabilillah ke luar negeri dalam rangka melakukan futūhāt. (Nicko Pandawa, Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda, hlm. 51-52).

Walhasil, mendukung PBB dan Piagam PBB berarti mendukung dan meneruskan persyaratan yang ditetapkan oleh Aliansi negara-negara Kristiani pada tahun 1856 itu, ketika Khilafah Utsmaniah disyaratkan meninggalkan hukum Islam khususnya hukum-hukum hubungan internasional sehingga tidak dapat diamalkan lagi.

Jelaslah, bahwa mendukung PBB dan Piagam PBB, berarti akan bertentangan dengan prinsip hifzhud din, atau menjaga agama, karena akan ada sebagian hukum Islam (khususnya hukum hubungan internsional) yang dikorbankan dan tidak dapat diamalkan lagi ketika sebuah negeri muslim menjadi anggota PBB.

(2) Bukti Fiqih Peradaban Bertentangan Dengan Prinsip Menjaga Akal (Hifzhul ‘Aqal)

Fiqih Peradaban bertentangan dengan prinsip menjaga akal (hifzhul ‘aqal), karena telah memaksakan sesuatu yang mustahil secara akal, yaitu menjadikan Piagam PBB sebagai sumber hukum Islam.

Sungguh, merupakan hal yang tidak mungkin secara akal menjadikan Piagam PBB sebagai sumber hukum Islam, karena Piagam PBB itu sama sekali bukan wahyu dari Allah SWT. Para ulama seperti Imam Syafi’i, rahimahullah, telah menjelaskan bahwa sumber hukum Islam itu hanyalah wahyu Allah dari langit yang terwujud dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, atau derivat (turunan) dari Al-Qur`an dan As-Sunnah itu, seperti Ijma’ dan Qiyas. (Imam Syafi’i, Jimā’ al-’Ilmi, hlm. 11; Al-Umm, Juz VII, hlm. 285; Al-Risālah, pentahqiq Muhammad Syakir, hlm. 39).

Maka dari itu, ketika Fiqih Peradaban menjadikan Piagam PBB sebagai sumber hukum Islam, sungguh akal sehat seorang muslim pun akan memberontak serta tidak akan mau dan tidak akan mampu menerima hal yang mustahil secara akal itu dengan ikhlas.

Dengan demikian, jelaslah, bahwa Fiqih Peradaban itu justru bertentangan dengan prinsip menjaga akal (hifzhul ‘aqal), karena telah memaksakan sesuatu yang mustahil menurut akal, yaitu menjadikan Piagam PBB sebagai sumber hukum Islam.

(3) Bukti Fiqih Peradaban Bertentangan Dengan Prinsip Menjaga Nyawa (Hifzhun Nafs)

Fiqih Peradaban bertentangan dengan prinsip menjaga nyawa (hifzhun nafsi), karena PBB terbukti gagal mencegah jatuhnya korban nyawa yang sangat banyak dalam berbagai konflik dan perang di berbagai kawasan dunia, baik di Asia, di Afrika, maupun di Eropa sendiri. Bukti nyata, apa peran PBB dalam menghentikan perang Ukraina dan Rusia sejak Februari 2022 hingga Februari 2023 saat ini yang telah menewaskan ratusan ribu korban jiwa? Berhasilkah PBB mencegah atau menghentikan perang Ukraina dan Rusia yang sangat kejam tersebut?

Wahai orang-orang yang tergila-gila kepada PBB, kemanakah perginya PBB dan Piagam PBB yang kalian gembar-gemborkan sebagai sumber hukum Islam itu ketika saat ini jumlah tentara Rusia dan Ukraina yang tewas sudah mencapai lebih dari 200.000 orang dari kedua belah pihak? 

Wahai orang-orang yang mabok PBB, kemana perginya PBB dan Piagam PBB yang mau kalian jadikan sumber Fiqih Peradaban itu, ketika jumlah penduduk sipil Ukraina yang tewas sudah mencapai lebih dari 40.000 orang? (data per 10 November 2022. Sumber https://www.bbc.com/news/world-europe-63580372).

Ini belum lagi kalau kita bongkar korban-korban perang lainnya, khususnya ketika korbannya adalah umat Islam, misalnya saja korban muslim yang tewas dalam invasi Amerika Serikat dan koalisinya di Irak pada tahun 2003-2011.

Wahai orang-orang yang fanatik buta kepada PBB, kemana perginya PBB dan Piagam PBB yang mau kalian jadikan sumber Fiqih Peradaban itu, ketika korban muslim yang tewas akibat invasi Amerika Serikat dan koalisinya di Irak dalam kurun 19 Maret 2003 - Pertengahan 2011 mencapai 461.000 jiwa? (Sumber: https://www.bbc.com/news/world-middle-east-24547256).

Maka dari itu, sangat aneh sekali kalau Fiqih Peradaban mau menjadikan Piagam PBB itu sumber hukum Islam, atau mempercayai PBB sebagai organisasi yang bisa menjaga nyawa dari kekejaman peperangan. Buktinya tidak ada. 

Dengan demikian, jelaslah, bahwa Fiqih Peradaban itu justru bertentangan dengan prinsip menjaga nyawa (hifzhun nafsi), karena justru PBB adalah organisasi yang gagal dalam mencegah perang sehingga banyak korban nyawa yang jatuh di antara umat manusia, termasuk nyawa muslim.

(4) Bukti Fiqih Peradaban Bertentangan Dengan Prinsip Menjaga Harta (Hifzhul Mal)

Fiqih Peradaban bertentangan dengan prinsip menjaga harta benda (hifzhun mal), karena PBB justru banyak menghilangkan harta kekayaan banyak umat manusia.

Bukti nyata, lepasnya negeri kita Timor Timur tahun 1999, yang tak bisa dilepaskan dari referendum yang diorganisir oleh UNAMET (United Nations Assistance Mission for East Timor), sebuah lembaga yang dibentuk oleh PBB. Seperti kita tahu, akhirnya Timor Timur itu lepas dari Indonesia. Kita akhirnya kehilangan salah satu harta atau aset kita, yang berbentuk wilayah teritori propinsi Timor Timur. Jadi, justru PBB itulah yang menyebabkan kita kehilangan harta atau aset kita, lalu bagaimana mungkin PBB mau dijadikan rujukan dan dipercaya untuk menjaga harta (hifzhul mal)? Di manakah akal sehatmu wahai para penggila PBB?

Bukti nyata berikutnya, lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan dari Indonesia pada tahun 2002. Yang berperan memutuskan sengketa antara Indonesia dan Malaysia seputar dua pulau itu, tiada lain adalah Mahkamah Internasional, sebuah lembaga kehakiman yang justru dibentuk oleh PBB pada tahun 1946, yang berkedudukan di Den Haag (Belanda). Sekali lagi, justru PBB itulah yang menyebabkan kita kehilangan harta atau aset kita, lalu bagaimana mungkin PBB mau kita jadikan rujukan untuk menjaga harta (hifzhul mal), padahal justru dengan merujuk kepada PBB, kita akhirnya kehilangan harta atau aset kita berupa dua pulau itu, yaitu Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002? Wahai manusia-manusia yang fanatik buta kepada PBB, kemanakah perginya akal sehatmu melihat fakta kegagalan PBB untuk menjaga harta (hifzhul mal) ini?

(5) Bukti Fiqih Peradaban Bertentangan Dengan Prinsip Menjaga Keturunan (Hifzhun Nasl)

Fiqih Peradaban bertentangan dengan prinsip menjaga keturunan/keluarga (hifzhun nasl), karena PBB yang dijadikan rujukan saat ini justru telah memberikan proteksi dan dukungan kepada LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transeksual), sesuatu yang akan mengacaukan nasab keturunan umat Islam.

Bukti jelasnya, PBB telah nyata-nyata mendukung LGBT dengan mengatasnamakan slogan free and equal (Bebas dan Setara), serta slogan Against Criminalization (melawan kriminalisasi terhadap para pelaku LGBT). Lihat buktinya di situs PBB ini yang jelas-jelas membuktikan bahwa PBB telah mempropagandakan dan mendukung LGBT: https://www.unfe.org/.

Jadi, bagaimana mungkin kita umat Islam mau merujuk kepada PBB untuk menjaga keturunan/keluarga (hifzhun nasl), padahal PBB pada waktu yang sama terbukti telah mendukung perilaku bejat moral yang sangat hina, yaitu LGBT yang sangat bertentangan dengan prinsip menjaga keturunan/keluarga (hifzhun nasl)? Apakah kita ini sudah menjadi sedemikian gila (edan)-nya sehingga PBB yang menghalalkan LGBT yang najis dan hina malah kita jadikan rujukan dan teladan untuk menjaga keturunan (hifzhun nasl) bagi umat Islam? Ya Allah Ya Rabbi astaghfirullāhal ‘azhīm.

Kesimpulan

Kesimpulan kami, Fiqih Peradaban wajib hukumnya untuk ditolak umat Islam, karena justru terbukti bertentangan dengan maqashid syariah, yaitu bertentangan dengan:
1. prinsip menjaga agama (hifzhud din), 
2. prinsip menjaga akal (hifzhul ‘aqal), 
3. prinsip menjaga nyawa (hifzhun nafs), 
4. prinsip menjaga harta (hifzhul mal), dan 
5. prinsip menjaga keturunan (hifzhun nasl).

Dengan kata lain, Fiqih Peradaban yang secara bodoh dan membabi buta merujuk dan berkiblat kepada PBB, bagi kami sama sekali bukanlah fiqih Islam, melainkan Fiqih Palsu yang sesat dan menyesatkan dan sangat berbahaya bagi umat Islam. Wallāhu a’lam. (Yogyakarta, 25 Februari 2023)

Oleh: K.H. M. Shiddiq Al-Jawi
Ahli Fiqih Islam 

Posting Komentar

0 Komentar