Usulan Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa: Adakah Dilema Antara Hukum dan Politik Jelang Pemilu 2024?

TintaSiyasi.com -- Setelah polemik masa jabatan presiden tiga periode seolah reda tersebab penolakan Megawati (PDI-P), kini publik kembali riuh soal usulan perpanjangan jabatan kepala desa (kades). Ribuan kades dari seluruh Indonesia yang tergabung dalam Papdesi (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) menggelar demonstrasi di depan gedung DPR RI, Selasa (17/1/2023). 

Mereka menuntut perpanjangan masa jabatan kades yang sebelumnya enam tahun menjadi sembilan tahun. Pun meminta DPR merevisi masa jabatan yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (liputan6.com, 27/1/2023).

Tak ayal, pro kontra bergulir. Kubu yang pro berpendapat, sembilan tahun masa jabatan kades akan menguntungkan masyarakat karena bisa menekan konflik polarisasi akibat pemilihan kepala desa (Pilkades). Adapun yang kontra menganggap, sembilan tahun hanya menguntungkan sang kades. Sementara rakyat desa rugi sebab regenerasi kepemimpinan akan sangat lambat. Selain itu juga rawan korupsi.

Terlepas pro kontra yang terjadi, yang layak diwaspadai adalah dugaan politisasi. Bila tuntutan ini dikabulkan,  akan rawan untuk mobilisasi dan pengamanan dukungan warga bagi elit lokal dan nasional jelang Pemilu 2024. 

Jelas basis grass root ada di desa. Sementara kades punya akses terhadap sumber keuangan desa yang berasal dari pemerintah. Inilah modal yang bisa digerakkan demi mendukung kandidat tertentu jelang tahun politik. Maka, jangan ada transaksi politik atau barter kepentingan yang justru membunuh masa depan desa. 

Tuntutan Perpanjangan Masa Jabatan Kades: Antara Konflik Warga, Peningkatan Kinerja, dan Aroma Politisasi.

Dari beberapa sumber, terungkap setidaknya dua alasan para kades yang terhimpun dalam Papdesi menuntut perpanjangan masa jabatan menjadi sembilan tahun. Di antaranya adalah: 

Pertama, untuk menghilangkan ketegangan, polarisasi, dan konflik sosial di akar rumput pasca Pilkades.  Awal mula wacana perpanjangan masa jabatan kades menjadi sembilan tahun diungkap oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar. 

Ia mengatakan, wacana itu bermula dari diskusi panjang sejak akhir 2021 mengenai dinamika politik di desa-desa. Menurutnya, salah satu tim sukses calon kades yang menang menyampaikan kesulitannya dalam melakukan konsolidasi pembangunan karena friksi (gesekan)nya terlalu tinggi. 

Sebab kades terpilih tidak bisa menang secara mutlak, yang memperoleh suara terbanyaklah yang menang. Dari empat calon kades misalnya, sosok yang mendapatkan 30 persen suara saja bisa menang. Suara tiga calon yang tidak terpilih bila digabung menjadi 70 persen. Sementara di desa tidak ada sistem akomodasi politik. 

Ketegangan hingga konflik dan polarisasi pasca Pilkades lebih kental daripada pemilihan bupati, gubernur, maupun Pilpres. Akhirnya konsolidasi pembangunan sulit dilakukan. Sehingga jarak kontestasi Pilkades yang lebih lama dinilai akan mengurangi konflik sosial warga desa akibat dampak pembelahan pilihan. 

Kedua, dapat meningkatkan kinerja pemerintah desa. Mereka menganggap enam tahun menjabat belum bisa untuk memaksimalkan amanat. Misalnya dalam pengelolaan anggaran dana desa untuk pembangunan yang sosialisasi kepada masyarakat dalam kurun waktu enam tahun tidak cukup.

Namun di sisi lain, Ketua MPO (Majelis Pertimbangan Organisasi) Apdesi (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia), Muhammad Asri Anas justru membeberkan bahwa hanya lima belas persen kades di seluruh Indonesia yang ingin masa jabatannya diperpanjang menjadi sembilan tahun. Adapun pihaknya lebih fokus pada penataan kewenangan dan anggaran dana desa.

Ia memandang, jika masa jabatan kades diperpanjang maka potensi korupsi bisa meningkat. Pun ia menilai, wacana perpanjangan masa jabatan kades hanyalah upaya politisasi yang dilakukan berbagai pihak menjelang Pemilu 2024 (liputan6.com, 26/1/2023). 

Demikianlah alasan Papdesi menuntut perpanjangan masa presiden menjadi sembilan tahun yaitu untuk menghilangkan konflik pasca Pilkades dan meningkatkan kinerja pemerintah desa. Meski aroma politisasi jelang tahun politik 2023 tak bisa dihindari.

Perpanjangan Masa Jabatan Kades Bukan Jaminan Kualitas Kinerja Pelayanan Publik

Alasan perpanjangan masa depan kades menjadi sembilan tahun agar dapat meningkatkan kualitas kinerja pemerintah desa kurang bisa diterima. Enam tahun merupakan waktu yang cukup untuk melaksanakan program-program desa. Pun waktu yang lama untuk memerintah desa dengan jumlah penduduk rerata puluhan ribu.

Problemnya bukan soal kurangnya waktu, tetapi pada minimnya kemampuan leadership kades. Walaupun masa jabatan diperpanjang menjadi sembilan tahun, tapi masalah substansinya tidak diatasi, maka kades tetap tidak dapat menjalankan program-programnya dengan baik. Jadi, solusinya bukan memperpanjang masa jabatan.

Dalam kungkungan sistem demokrasi liberalistik bernuansa oligarki seperti saat ini, perpanjangan masa jabatan kades berpotensi memunculkan dampak buruk seperti: 

Pertama, kades riskan dimobilisasi untuk kepentingan politik jika usulan perpanjangan masa jabatan dikabulkan pemerintah. Berpotensi membuat kades menjadi alat transaksi politik dalam memenangkan pihak tertentu baik di Pileg maupun Pilpres tahun 2024. Pun dikhawatirkan menjadi alat tukar untuk menghidupkan "botoh politik" yang siap mengamankan suara di TPS sesuai selera pihak yang diajak bertransaksi. 

Kedua, membuka keran penyalahgunaan kekuasaan negara (abuse of power) dan merusak tata kelola pemerintahan lokal. Apalagi pemerintahan desa sering disorot memiliki berbagai problematika. Misalnya, dana desa yang menyedot anggaran negara dengan jumlah besar di mana pemberian anggaran tersebut tidak diikuti dengan sistem pengelolaan dan pengawasan secara transparan dan akuntabel. Akibatnya, alokasi dana desa yang besar justru tidak dikuti oleh inovasi kebijakan pembangunan yang signifikan. Para kades mestinya ikut mengevaluasi, bukan justru meminta perpanjangan masa jabatan.

Ketiga, korupsi semakin besar. Masa jabatan panjang akan membuka peluang korupsi lebih besar. Sebagaimana pernyataan Lord Acton, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely (Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup secara absolut)." Realitasnya, hingga tahun 2022 terdapat 686 kades korupsi dana desa. Dengan rentang masa jabatan enam tahun saja sudah tercipta perilaku koruptif apalagi bila masa jabatan diperpanjang.

Dengan demikian, melihat potensi dampak buruk yang bakal muncul bila masa jabatan kades diperpanjang menjadi sembilan tahun, maka bagaimana akan menjamin kualitas kinerja pemerintah desa dalam melayani masyarakat?

Strategi Memperbaiki Kualitas Kepemimpinan Kades Tanpa Mengubah Masa Jabatan

Kepemimpinan kades sangat diperlukan dalam pembangunan di desa. Dengan kepemimpinan yang baik akan mampu meningkatkan kinerja aparat pemerintahan di desa sehingga program-program pembangunan akan berjalan lancar.  

Maka seorang kades mestinya selalu berproses untuk memperbaiki kualitas kepemimpinan tanpa terpaku oleh masa jabatannya. Strategi perbaikannya antara lain: 

1. Sebagaimana jenis kepemimpinan lainnya, ia harus ingat bahwa seorang pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT, Tuhan Pencipta Alam Semesta, atas apa yang dipimpinnya. Inilah pengendali utama terhadap tindakan dan kebijakannya.

 ÙƒُÙ„ُّÙƒُÙ…ْ رَاعٍ ÙˆَÙƒُÙ„ُّÙƒُÙ…ْ Ù…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ

"Setiap dari kalian adalah pemimpin dan tiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban." (HR. Bukhari) 

2. Menyadari bahwa posisi kades dan aparat desa adalah pelayan bagi masyarakat. Terlebih merekalah yang secara langsung berhadapan dengan warga di akar rumput. Maka wajib memberikan pelayanan terbaik dan membantu warga memecahkan permasalahannya.  

3. Sosok Rasulullah SAW merupakan uswatun hasanah terutama soal kepemimpinan. Maka hendaknya kades meneladani pola kepemimpinan beliau yang berlandaskan pada karakter: shiddiq (jujur, tidak menyalahgunakan kekuasaan, tidak korupsi dan suap), amanah (menjalankan tugas dengan baik sebagai pelayan rakyat), fathanah (cerdas, berpikir kreatif dalam membuat program dan menyelesaikan permasalahan masyarakat), serta tabligh (sebagai penyampai kebaikan, mencerahkan masyarakat dengan agama Allah). 

4. Secara organisatoris, kades memiliki beberapa peran kepemimpinan yang hendaknya dioptimalkan pelaksanaannya. Peran itu meliputi: 

a. Sebagai katalisator. Kades mesti
berpemikiran luas, melakukan
pendekatan secara menyeluruh, dan 
mampu menggerakkan inisiatif pribadi orang lain.

b. Sebagai fasilitator. Bertugas menstrukturkan, memiliki 
keterampilan dalam memimpin, dan 
memotivasi. 

c. Problem solver. Menjalankan aktivitas pengambilan keputusan dan mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
d. Komunikator. Mampu berkomunikasi, dapat menyalurkan 
gagasan dan
menguasai teknik bekomunikasi 
secara efektif.

5. Idealnya memiliki pola kepemimpinan karismatik. Dengan ini, ia akan memiliki pengaruh dan menjadi sosok yang layak dicontoh. Karismatik memiliki kata dasar karisma, artinya pesona atau daya tarik seseorang pada orang lain. Bentuk kepemimpinan ini menekankan pada kemampuan seorang pemimpin dalam menarik hati para pengikut atau bawahannya. 

Secara umum, pemimpin karismatik ini memiliki ciri-ciri:  

a. Visioner. Pemimpin merencanakan semua keputusan dengan bijaksana demi masa depan lebih baik. 
b. Kreatif dan mampu memikirkan segala sesuatu di luar kotak. 
c. Mampu melihat serta menerima masalah sebagai tantangan menarik untuk diselesaikan. 
d  Kepribadian kuat dan penuh percaya diri. Sehingga para pengikutnya setia mengikuti dan menerima seluruh arahannya. 
e. Rendah hati dan peka terhadap sekitarnya. Mereka berupaya tidak melukai perasaan orang lain. 
f. Berani mengambil risiko dalam mewujudkan visi dan misi secara optimal. 
g. Komunikator handal. Dapat mengkomunikasikan maksud dan tujuan dengan baik melalui pidato dan kata-kata menghanyutkan. 
h. Menjadi agen perubahan yang membawa pengikutnya pada masa depan yang lebih baik. 
i. Pantang menyerah dan tidak putus asa dalam menjalankan visi dan misinya. Meskipun membutuhkan perjuangan sulit, namun mereka tidak mudah takut akan kegagalan. 

Demikian beberapa strategi memperbaiki kualitas kepemimpinan kades tanpa terpaku masa jabatannya. Hanya saja perbaikan kualitas ini tentunya butuh iklim pendukung yaitu tatanan pemerintahan yang diterapkan di negeri ini. Bagaimana pun sebaik-baik karakter kades, ia berada dalam level kepemimpinan terbawah yang sangat tergantung pada visi kepemimpinan dan pola aturan pemerintahan di atasnya. Terlebih kades memang perpanjangan tangan untuk melaksanakan berbagai program pemerintah pusat. Oleh karena itu, penting mewujudkan sistem pemerintahan yang mampu menjaga setiap level kepemimpinan memiliki karakter pemimpin terbaik demi mewujudkan kemaslahatan rakyat.

Penulis: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analisis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar