Tragedi Morowali: Diskriminasi Pekerja Lokal dan Eksploitasi Kekayaan Alam?


TintaSiyasi.com -- Adanya diskriminasi pekerja lokal yang sebatas dugaan akan menjadi kenyataan apabila ditemui fakta-fakta yang mengarah ke sana. Apalagi setelah disahkan UU Cipta Kerja (Ciptaker), seolah-olah diskriminasi tersebut dilegitimasi oleh hukum yang ada. Demontrasi yang menewaskan dua TKI dan satu TKA di Morowali masih jadi sorotan publik. Beberapa tokoh publik berpendapat tragedi Morowali dipicu dari pengesahan UU Ciptaker. Sekalipun menuai konflik, pemerintah bersikukuh tidak mau membatalkan pengesahan UU itu, bahkan mengeluarkan Perppu Nomor 2 tahun 2022 yang substansinya tidak jauh berbeda. 

Pemerintah seolah-olah hanya menyelesaikan konflik di hulu dan hilirnya tidak dipreteli. Selain itu, nampak opini publik digiring agar tidak memojokkan TKA dan PT GNI itu sendiri. Hal itu dinilai dari penangkapan tersangka penyebab konflik di Morowali dan mediasi yang akan dilakukan oleh pihak kementerian. Dikutip dari Merdeka.com (16/1/2023), Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyatakan, aksi unjuk rasa yang berakhir anarkis di PT Gombuster Nickel Industri (GNI), Morowali Utara, Sulawesi Tengah, Sabtu (14/1) malam bukan dipicu oleh keberadaan tenaga kerja asing atau TKA. Ida pun sedang mengupayakan mediasi permasalahan ketenagakerjaan. Karena Ida menganggap penyebab konflik Morowali adalah tuntutan dari perwakilan Serikat Pekerja Nasional (SPN). Di antaranya tuntutan soal K3, pengupahan dan PHK.

Coba bayangkan nasib para pekerja lokal, mereka bekerja di perusahaan asing yang tentunya akan lebih menganakemaskan para pekerja yang mereka bawa. Di saat yang sama pekerja lokal disuruh memperjuangkan haknya di saat banyak UU memojokkan mereka dan justru lebih menguntungkan pihak investor atau perusahaan asing. Bagaimana mereka bisa bertahan dalam kondisi seperti ini? 

Seharusnya pemerintah mengevaluasi dan menindaklanjuti bagaimana sistem kerja yang ada di PT GNI. Apabila terbukti banyak ketidakadilan yang diterima oleh pekerja lokal, maka pemerintah harus berani menghentikan izin operasi PT GNI. Tetapi, apakah pemerintah berani bersikap demikian pada swasta asing? Beginilah akibatnya kerja sama dengan asing, digadang-gadang mampu meningkatkan ekonomi negeri, nyatanya hanya segelintir saja yang meningkat ekonominya. Rakyat kecil apalagi kaum buruh masih tertindas di negerinya sendiri.

Menguak di Balik Tragedi Morowali

Tragedi Morowali adalah dampak dari kebijakan pemerintah yang lebih memihak kepentingan para investor asing daripada nasib para pekerjanya sendiri. Dapat dikatakan dampak dari kebijakan pemerintah karena, pertama, kerja sama pemerintah dengan China adalah kerjasama turnkey project. Kebijakan tersebut berpotensi perusahaan-perusahaan dari China memegang kendali penuh terkait proyek yang digarapnya. Mereka bisa mendatangkan bahan baku sendiri dari negaranya, bisa membawa tenaga kerja juga, tidak tenaga kerja ahli, bahkan buruh pun juga dari mereka. Dan kebijakan ini mengerdilkan peran negara. 

Kedua, mementingkan kepentingan korporasi dan mengabaikan kejahatan yang dilakukan korporasi . Dikutip dari suara.com (18/1/2023) Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengatakan, dipicu adanya kekecewaan antar buruh Indonesia dan asing. Melainkan akumulasi dari rentetan kebijakan serta regulasi pemerintah yang hanya mementingkan pelaku industri dan abai terhadap segudang kejahatan korporasi atas buruh.

Ketika ada konflik di Morowali, Presiden Jokowi hanya meminta aparat mengusut dan menangkap orang-orang yang terlibat dalam konflik tersebut. Tetapi, penyebab konflik itu terjadi tidak diurai. Hal itu mengonfirmasi penguasa dan sistem hari dalam penegakan hukum aparat kepolisian lebih penting melindungi investasi, dari pada keselamatan rakyat dan lingkungan, serta kesejahteraan buruh itu sendiri. Inilah model sistem sekuler kapitalistik.

Kapitalisme membuat pemerintah tidak berdaya dengan ulah korporasi dengan dalih demi investasi dan investasi. Maka, investasi ini seolah-olah menjadi topeng asing untuk menjajah negeri ini. Nampaknya, investasi, tetapi sebenarnya penjajahan dan penjarahan.

Ketiga, UU Ciptaker produk dari sistem kapitalisme mengejar keuntungan materi tanpa memperhitungkan dengan cermat keselamatan kerja dan lingkungan. UU Ciptaker dikhawatirkan memberikan kelonggaran terhadap kerusakan alam yang diakibatkan pihak korporasi. 

JATAM mencatat, sebelum smelter nikel PT GNI diresmikan Jokowi hingga terjadi bentrokan pada 14 Januari kemarin, lanjut Taufik, JATAM telah menemukan sejumlah kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan PT GNI. Pada 2018 saat pertama kali beroperasi di Bunta, Petasia Timur pembangunan pembangkit listrik (PLTU batubara) dan pabrik smelter, menurutnya telah membendung sungai Lampi tanpa ada proses konsultasi dan pembebasan lahan. Bahkan, lahan-lahan produktif warga juga diklaim sepihak perusahaan, dan melarang warga untuk mengelola lahan-lahan itu. 

Sejak pertama kali PT GNI beroperasi hingga kini, sudah terdapat 10 pekerja yang tewas. Korban pertama berinisial HR, meninggal karena tertimbun longsor pada 8 Juni 2020 malam. Kemudian pada Mei dan Juni 2022, juga terjadi peristiwa bunuh diri tenaga kerja asing asal China. Keduanya berinisial MG dan WR.

Lalu, kecelakaan kerja lainnya menimpa YSR, AF, NS, dan MD. YSR terseret longsor saat mengoperasikan bulldozer tanpa penerangan dan tenggelam ke laut di kedalaman 26 meter. Sementara AF, hilang saat bekerja di tungku enam smelter 1 PT. GNI. Dia ditemukan tak bernyawa setelah jatuh di sebelah tuas kontrol mesin hidrolik. Dua korban yang meninggal dunia pada ledakan tungku smelter 2 GNI pada 22 Desember 2022.

Bahkan JATAM menuntut Jokowi agar menghentikan operasi dan mencabut izin PT GNI. Sekaligus mengaudit serta mengevaluasi seluruh tindakan kejahatannya, baik terhadap buruh, warga terdampak, maupun lingkungan hidup. 

Inilah dampak nyata kapitalisme sumber daya alam. Potensi penjajahan dan penjarahan nyata terjadi atas nama kerja sama dengan asing (turnkey project); mengejar investasi; efisiensi dan sebagainya. Apabila ini dibiarkan, negara ada bukan lagi untuk menyejahterakan rakyat, tetapi hanya memikirkan para investor asing.

Dampak Kerja Sama dengan Korporasi Asing terhadap Aspek Politik dan Ekonomi

Apabila pengelolaan sumber daya alam justru merusak alam, di situlah terjadi eksploitasi kekayaan alam. Bukannya sumber daya alam dikelola tetapi malah dirusak dan merusak. Berdasarkan fakta yang dikutip dari JATAM terkait pelanggaran PT GNI, maka terlihat investasi asing dan kerja sama dengan asing tidak menguntungkan Indonesia, justru malah merugikan dan dikhawatirkan dijadikan alat penjajahan negeri ini dan penjarahan sumber daya alam yang dimiliki negeri ini. Ini sangat bahaya. Aneh, jika para penguasa di sana tidak mampu mencium bahaya ini? Jika mereka tidak khawatir, mereka sebenarnya berkuasa untuk menyejahterakan siapa? Asing atau rakyat di negeri ini?

Ada dua dampak serius dari kerja sama dengan asing terhadap aspek politik dan ekonomi di negeri ini. Pertama, dampak politik yakni pemerintah memberikan kebebasan pengelolaan sumber daya alam atas nama investasi; liberalisasi sumber daya alam berkedok investasi asing. Dalam kacamata kapitalisme tidak ada makan siang gratis (no free lunch), begitu pula kerja sama dengan asing, tidak mungkin saling menguntungkan, tetapi yang terjadi adalah hanya satu yang untung dan lainnya buntung. 

Kerja sama yang dilakukan dengan asing sejatinya telah menjadi pintu masuk penjajahan yang tersistem. Ketika mereka berusaha 'merampok' SDA tidak dengan senjata dan kekerasan tetapi dengan pendekatan undang-undang. Oleh karena itu, banyak kebijakan-kebijakan politik yang strategis yang lebih menguntungkan korporasi asing daripada rakyatnya sendiri. Banyak undang-undang yang dibuat memberikan karpet merah korporasi asing, sebagai contoh: UU Minerba, UU Ciptaker, dan UU lainnya.

Kedua, dampak ekonomi adalah asing menjadi tumpuan ekonomi dan tidak bisa berdikari. Sadar atau tidak, kerja sama dengan asing menjadi pengendali ekonomi dan ekonomi negeri ini tidak bisa berdikari tanpa adanya campur tangan asing. Seolah-olah negeri ini lumpuh apabila ditinggalkan investor; tidak bisa berkembang dan bangkit tanpa bantuan dan uluran dari asing. Walhasil yang ada adalah mental terjajah, karena bergantung pada asing. Padahal secara faktual, mereka di sini tidak berhenti dalam mengelola SDA tetapi mengeksploitasinya, bahkan menjadikan buruh lokal sebagai budak mereka untuk memuluskan segala kepentingan mereka.

Kerja sama dengan asing secara tidak sadar telah memandulkan negara dalam menciptakan kesejahteraan rakyat. Kepentingan publik yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan rakyat telah dikapitalisasi dan diliberalisasi atas nama investasi ataupun kerja sama. Sumber daya alam yang seharusnya dinikmati rakyat justru dikuasai dan diperjualbelikan layaknya dagangan. Inilah batilnya ekonomi kapitalisme, memperjualbelikan aspek publik demi meraih keuntungan sebesar-besarnya.

Persoalan Morowali merupakan akumulasi dari persoalan eksploitasi sumber daya alam yang dirasa melimpah tetapi tidak memberikan keuntungan positif bagi masyarakat sekitar dan rakyat Indonesia. Allah Subhanahu wata'ala sudah memberi kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah. Sebenarnya kekayaan alam ini tinggal dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan diserahkan pengelolaannya pada asing, sehingga mereka (asing) yang sejahtera dan negara mereka yang sejahtera. Ketika asing diberi legitimasi hukum untuk merampok kekayaan negeri ini dengan dalih investasi, maka mereka arogan, sombong, dan semena-mena ada di negeri ini. Sikapnya terhadap rakyat dan para buruh lokal seolah-olah seperti sikap seorang penjajah terhadap para budaknya. Oleh karena itu, sejatinya ini tidak boleh dibiarkan. Pengelolaan sumber daya alam dengan landasan kapitalisme sekuler telah merusak tata lingkungan dan menzalimi rakyat, maka harus dikembalikan tata cara pengelolaan ini pada Islam. 

Karena hanya Islam yang secara tegas mengharamkan asing atau swasta untuk mengelola hajat hidup orang banyak atau kepentingan publik. Apabila kapitalisme sekuler dibiarkan mengatur, maka konflik, pergolakan, dan permasalahan akan terus datang menghampiri. Karena dalam kacamata Islam, kepentingan umum atau publik harus dikelola negara, kalau dikelola swasta pasti menimbulkan konflik. Maka dari itu, perintah negara wajib mengelola sumber daya alam adalah perintah Allah Subhanahu wata'ala, bukan dugaan atau analisis manusia semata. Ini perintah Allah, maka jika negara tetap menyerahkan pengelolaan kepada asing atau swasta sejatinya adalah bentuk kemungkaran yang sistematis.

Strategi Islam dalam Menangani Kasus Perburuhan

Karena pengelolaan modal dan akad kerja sama yang batil sehingga menyebabkan pola distribusi yang tidak adil dan berpotensi banyak kecurangan dan kejahatan yang dilakukan korporasi. Selain itu, liberalisasi akses dan kontrol korporasi pada sumber daya alam. Ini yang menjadikan eksploitasi sumber daya alam negeri ini. Sumber daya alam milik rakyat seharusnya dikelola negara, malah dikapitalisasi dan dieksploitasi oleh asing. Mereka tidak hanya mengeruk SDA tetapi juga merusak alam dan lingkungan. Belum lagi masalah ketenagakerjaan. 

Inilah akibat penerapan undang-undang yang bernafaskan kapitalisme. Oleh karena itu, tidak ada solusi lain kecuali mengembalikan pengelolaan sumber daya alam kepada syariat Islam. Hanya Islam yang mampu mengelola SDA dengan adil dan sejahtera. Mengapa Islam? Karena Islam mengharamkan swastanisasi kepentingan publik; mewajibkan negara mengelolanya untuk mendistribusikan ke rakyat. Seumpama dalam proses pengolahan dan distribusi SDA dikenakan biaya, tentunya tidak akan seperti sekarang. Karena dalam Islam negara berfungsi penguasa yang meriayah/mengelola tidak berperan sebagai pebisnis yang sedang cari untung dalam bisnisnya. Penguasa mempertanggungjawabkan semua yang dikelola tidak hanya kepada rakyatnya tetapi juga kepada Allah Subhanahu wata'ala. Sehingga dorongan menciptakan keadilan dan kesejahteraan adalah dorongan akidah; dorongan pertanggungjawaban akhirat; bukan dorongan duniawi dan materi semata.

Islam itu tidak hanya seputar ibadah, tetapi Islam itu lengkap, sebuah pedoman hidup untuk mengatur urusan manusia baik skala individu, masyarakat, dan negara. Nah, dalam bentuk negara, yang telah diajarkan Nabi Muhammad SAW adalah sistem pemerintahan khilafah. Khilafah inilah yang akan menerapkan sistem Islam dalam segala aspek kehidupan, termasuk pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi yang ada di suatu negara.

Dalam pandangan Islam ada beberapa catatan terkait kasus perburuhan. Pertama, antara buruh dan perusahaan akadnya adalah ijarah, hal itu ditakar oleh ahli takar terkait jual beli jasa secara objektif. Kedua, perusahaan atau korporasi dalam Islam boleh, tetapi mereka tidak boleh mengelola hajat publik. Sebagai contoh, swastanisasi sumber daya alam di dalam Islam haram, maka sumber daya alam wajib dikelola negara dengan mengoptimalkan potensi sumber daya manusia yang ada. Ketiga, dalam proses pengelolaan sumber daya alam, negara boleh mempekerjakan warga asing sebagai tenaga ahli dalam kasus-kasus tertentu, seumpama belum ada rakyatnya yang mampu.

Keempat, akad kerja sama (syirkah) yang dilakukan harus sesuai dengan tuntunan syariat Islam, karena jika akadnya batil, maka akan mengundang kemudaratan. Kelima, pola distribusi kekayaan sesuai dengan tuntunan Islam yakni ada kepemilikan umum, negara, dan individu. Sehingga, negara mampu menjalankan fungsinya sebagai pengelola, bukan lepas tangan pada swasta atau asing. Keenam, tidak boleh melakukan kerja sama dengan negara penjajah. Dalam Islam negara Muslim yang menerapkan aturan Islam tidak boleh melakukan kerja sama dengan negara penjajah anti-Islam. Betapa pun manisnya mulut mereka sejatinya mereka (baca: asing) hanya menginginkan kesengsaraan menimpa kaum Muslim.

Oleh karena itu, untuk mengatasi konflik buruh yang terus berkelanjutan tidak ada cara lain kecuali dengan menerapkan aturan Islam secara paripurna. Tidak ada solusi hakiki jika masih berkutat pada tawaran solusi dari sosialisme komunis. Lebih-lebih kapitalisme sekuler sudah gagal menyejahterakan kaum buruh. Selain itu, kapitalisme sekuler telah memperbudak kaum buruh untuk mengisi pundi-pundi kaum kapitalis. Hanya Islam yang mampu menyejahterakan umat manusia dari berbagai lapisan. Islam yang diterapkan dalam segala aspek kehidupan manusia.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
 
Inilah dampak nyata kapitalisme sumber daya alam. Potensi penjajahan dan penjarahan nyata terjadi atas nama kerja sama dengan asing (turnkey project); mengejar investasi; efisiensi dan sebagainya. Apabila ini dibiarkan, negara ada bukan lagi untuk menyejahterakan rakyat, tetapi hanya memikirkan para investor asing.

Karena hanya Islam yang secara tegas mengharamkan asing atau swasta untuk mengelola hajat hidup orang banyak atau kepentingan publik. Apabila kapitalisme sekuler dibiarkan mengatur, maka konflik, pergolakan, dan permasalahan akan terus datang menghampiri. Karena dalam kacamata Islam, kepentingan umum atau publik harus dikelola negara, kalau dikelola swasta pasti menimbulkan konflik. Maka dari itu, perintah negara wajib mengelola sumber daya alam adalah perintah Allah Subhanahu wata'ala, bukan dugaan atau analisis manusia semata. Ini perintah Allah, maka jika negara tetap menyerahkan pengelolaan kepada asing atau swasta sejatinya adalah bentuk kemungkaran yang sistematis.

Untuk mengatasi konflik buruh yang terus berkelanjutan tidak ada cara lain kecuali dengan menerapkan aturan Islam secara paripurna. Tidak ada solusi hakiki jika masih berkutat pada tawaran solusi dari sosialisme komunis. Lebih-lebih kapitalisme sekuler sudah gagal menyejahterakan kaum buruh. Selain itu, kapitalisme sekuler telah memperbudak kaum buruh untuk mengisi pundi-pundi kaum kapitalis. Hanya Islam yang mampu menyejahterakan umat manusia dari berbagai lapisan. Islam yang diterapkan dalam segala aspek kehidupan manusia.[]


Oleh: Ika Mawarningtyas
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo dan Direktur Mutiara Umat Institute 

Artikel di atas adalah Materi Kuliah Online Uniol 4.0 DiponorogoRabu, 25 Januari 2023 di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.
#Lamrad #LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar