LBH Pelita Umat Gugat Kewenangan Absolut Pemerintah dalam Menerbitkan Perppu

TintaSiyasi.com -- Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. menggugat kewenangan absolut pemerintah dalam menerbitkan Perppu. "Kami menggugat pemerintah," tegasnya kepada TintaSiyasi.com, Sabtu (7/1/2023).


Sebab menurutnya, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Parppu) merupakan kewenangan absolut pemerintah dalam legislasi.

"Mengapa, karena, melalui Perppu, pemerintah dapat membuat dan menetapkan peraturan setara undang-undang," ungkapnya.

Oleh karena itu, katanya, disebabkan merupakan kewenangan absolut, sehingga tidak terdapat keharusan untuk melibatkan partisipasi publik dalam penyusunan legislasi tersebut. 

"Dikarenakan merupakan kewenangan absolut, sehingga Pemerintah diberikan kewenangan subjektivitas dalam menentukan alasan-alasan/dalil terkait "hal ihwal kegentingan" yang memaksa sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat 1 UUD 1945," terangnya.

Ia mengatakan, perhatikan secara cermat kata "hal ihwal kegentingan yang memaksa" itulah syarat utama bagi pemerintah untuk bisa mengeluarkan Perppu.

"Secara a contrario, pemerintah tidak boleh atau dilarang konstitusi untuk menerbitkan Perppu manakala tidak ada "hal ihwal kegentingan yang memaksa,". imbuhnya. Ia menerangkan, arti dalam "hal ihwal kegentingan yang memaksa," menurut penjelasan resmi UUD 1945, frase tersebut merupakan terjemahan dari noodverordeningsrecht. Dalam bahasa hukum Amerika ini sama dengan clear and present danger, yakni, situasi bahaya yang terang benderang dan memaksa.

"Nood mengandung arti berbahaya atau darurat, sedangkan ordenen berarti mengatur atau menyusun. Secara harfiah noodverordeningsrecht adalah peraturan hukum yang mengatur dalam keadaan yang secara kasat mata atau terangbenderang sedang darurat atau bahaya," jelasnya.

Maka, dengan demikian, menurutnya, logika penerbitan Perppu bisa disusun sebagai berikut. Pertama, benar-benar atau terang benderang sedang terjadi genting atau bahaya. Kedua, siatusi bahaya ini dapat mengancam keselamatan negara. Ketiga, karena situasinya amat mendesak, maka dibutuhkan tindakan pemerintah secepatnya. Sebab, menangani situasi genting itu menunggu mekanisme DPR memerlukan waktu lama.

Sehingga, katanya, karena presiden dapat menentukan kondisi "kegentingan yang memaksa", maka kondisi ini menjadi sangat subjektif dan berpotensi disalahgunakan secara politis. Dengan demikian, penting menguji secara objektif, selama ini menguji objektivitas "hal ihwal kegentingan memaksa" di DPR dan Mahkamah Konstitusi. 

"Terkadang di DPR masyarakat agak ragu karena DPR dipegang oleh koalisi pemerintah. Sedangkan di MK membutuhkan waktu lama dikhawatirkan objek perkara sudah berubah menjadi undang-undang," imbuhnya.

"Sehingga, dibutuhkan terobosan baru yaitu menguji objektivitas 'hal ihwal kegentingan memaksa' melibatkan partisipasi masyarakat," pungkasnya. [] Nurmilati

Posting Komentar

0 Komentar