Menunggu Janji Manis G20 di Tengah Ancaman Resesi 2023


TintaSiyasi.com -- Gelaran KTT G20 yang baru saja usai digadang-gadang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Diperkirakan manfaat G20 yang berlangsung secara fisik diklaim akan meningkatkan PDB nasional hingga Rp7,4 triliun. Akankah hal tersebut terealisasi? Atau hanya menjadi perkiraan semata? Di sisi lain gelaran G20 telah menelan biaya yang cukup fantastis. Yakni, mencapai Rp674,8 miliar.

Ada beberapa catatan kritis terkait janji G20. Pertama, PDB meningkat ini masih perkiraan, fakta di lapangan tidak selalu berjalan secara mulus. Produk domestik bruto atau dalam bahasa Inggris gross domestic product adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional. Jika barang yang diproduksi meningkat, maka pendapatan juga meningkat. Padahal namanya memproduksi barang, ada kalanya laku dengan cepat dan ada kalanya lambat. Jual beli tidak terlepas dari untung dan rugi. Dalam kacamata kapitalisme seolah-olah ketika ada bisnis, harus untung, tidak boleh rugi. Ketika produksi barang meningkat otomatis keuntungan meningkat. Padahal secara riil, apa yang diproduksi tidak selalu laku terjual semua. Bahkan yang berkongsi pun, maunya cuma untung, ketika rugi, pihak lain tidak mau ikut menanggung. Justru minta ganti rugi berdasarkan kerugian yang terjadi. Begitulah gambaran kerja sama dalam lingkup kapitalisme, cenderung semena-mena berdasarkan kepentingan mereka. 

Kedua, tema presidensi G20 sulit untuk diwujudkan dalam naungan kapitalisme global. Dikutip dari laman bi.go.id, tema Presidensi G20 Indonesia 2022

"Recover Together, Recover Stronger". Melalui tema tersebut, Indonesia ingin mengajak seluruh dunia untuk bahu-membahu, saling mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan. Akan sulit sekali ekonomi negara-negara berkembang bangkit, jika sistem yang diterapkan masih kapitalisme sekuler. Karena hegemoni kapitalisme global tetap menjajah dengan mengatasnamakan kerjasama, investasi, utang, dan undang-undang tawaran mereka yang ditetapkan di negeri-negeri kaum Muslim yang nota bene masih mendapatkan stempel negara berkembang.

Bagaimana mereka bisa bangkit, jika mereka didikte untuk mengeksploitasi kekayaan mereka supaya dikelola oleh kapitalis asing? Bagaimana mereka bisa pilih, jika mereka dipaksa membangun infrastruktur dengan dana utangan yang biayanya fantastis? Bagaimana mereka bisa tumbuh, jika mereka pasar bebas yang dibuka berpotensi mematikan industri dalam negeri? Bagaimana mereka bisa berkembang jika utang yang selama digelontorkan mengandung bunga tinggi yang harus dibayar. Oleh karena itu, sejatinya tema gelaran ini utopis untuk diwujudkan di tengah cengkeraman kapitalisme global merajalela di negeri ini.

Ketiga, G20 berpotensi menjebak negara-negara berkembang untuk berutang riba. Mereka klaim kesuksesan G20 adalah mengatasi krisis 200. Selain itu, G20 juga mendorong peningkatan kapasitas pinjaman IMF, serta berbagai development banks utama. Jika G20 hanya mampu meningkatkan kapasitas pinjaman pada IMF, sejatinya ini adalah jeratan mematikan ekonomi kapitalisme. Untuk menaklukkan negara tidak dengan senjata, tetapi dengan utang riba, wajar hal ini bisa disebut penjajahan gaya baru (neoimperialisme). 

Keempat, G20 mengokohkan bentuk negara kapitalisme sekuler yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan. G20 mendorong informasi pertukaran pajak. Selain itu, G20 menegaskan kembali komitmen kami terhadap implementasi cepat paket pajak internasional dua pilar OECD/G20. Hal ini mengonfirmasi G20 sejatinya ada untuk menyetir anggotanya masih menarik pajak dan menghapus subsidi secara berkala. Di saat yang sama kapitalisasi sektor publik besar-besaran.

Kelima, G20 mengokohkan posisi penguasa hanya sebagai regulator, selanjutnya ekonomi diserahkan ke pasar. Banyaknya kerja sama asing yang dilakukan sejatinya menancapkan hegemoni asing pada negeri ini. Keenam, maraknya pembangunan infrastruktur berbasis utang atau undang investor hanya menjebak negara dalam lingkaran riba. Pulih kembali bukan dengan melakukan banyaknya pembangunan dengan utang, tetapi dengan menjadikan ekonomi mandiri tanpa utang pada asing. Mampu mengelola sumber daya alam dan manusia agar produktif membangun negara bukan malah SDA dikapitalisasi dan SDM diperbudak di negeri sendiri. 

Seharusnya ini yang harus diwaspadai oleh negeri-negeri Muslim jika mengikuti acara-acara yang diinisiasi oleh Barat kapitalis. Tidak akan pernah mereka mampu keluar dari jurang penjajahan kapitalisme jika masih berkelindan terhadap kapitalisme sekuler. Negeri-negeri Muslim akan selamanya terjajah, jika tidak bangkit dengan mabda Islam. Karena hanya dengan ketundukan pada Islam secara kaffah, akan membebaskan umat Islam dari penjajahan kapitalisme global.

Ancaman Resesi

Harapan akan bebas dari ancaman resesi seolah-olah hanya isapan jempol. Karena, ancaman resesi itu nyata karena ekonomi kapitalisme berpotensi terjadi krisis, resesi, hingga depresi. Resesi dunia tidak terlepas dari sistem ekonomi kapitalisme. Cirinya adalah majunya sektor non riil baik di perbankan maupun di pasar modal. Jumlah dana dari sektor rumah tangga dan perusahaan disimpan dalam berbagai bentuk surat berharga, diantaranya saham, obligasi dan bentuk sekuritas lainnya. Dampaknya perputaran uang di sektor non riil akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan perputaran sektor riil. 

Menurut pakar ekonomi Islam H. Dwi Condro Triono, Ph,D. dalam majalah Al Waie rubrik hiwar "Kapitalisme Global Bakal Bangkrut". Ada sekitar 90 persen uang yang berputar di sektor non riil, berarti uang yang berputar di sektor riil hanya sekitar 10 persen. Besarnya pemasukan yang berada di sektor non riil ini memunculkan fenomena economy bubble (gelembung ekonomi). Perekonomian akan tumbuh melambung tinggi, namun sangat rentan.

Sehingga jika disentuh dengan isu non ekonomi, seperti gejolak politik, sosial kepanikan masyarakat dan sejenisnya, maka gelembung itu akan meletus dan menyebabkan krisis ekonomi. Buktinya terjadi dotcom bubble (gelembung teknologi informasi), istilah ini juga dapat diartikan sebagai gelembung spekualsi yang muncul pada rentang tahun 1998 hingga 2000.

Maupun krisis keuangan yang disebabkan oleh ambruknya keuangan peminjaman utang pembelian rumah pada tahun 2007 hingga tahun 2009. Resesi ekonomi global pada 2008 yang dipicu oleh krisis keuangan Amerika Serikat serta gerakan Occupy Wall Street pada tahun 2011 yang mengkritik bahwa satu persen mengendalikan yang 99 persen.

Jadi bisa dipahami, ketika sektor ekonomi non riil terguncang, maka surat-surat berharga tersebut akan langsung musnah dan pasar modal akan jatuh. Sementara itu satu pasar modal satu negara dengan negara lain memiliki hubungan. Sehingga jika terjadi kejatuhan pasar modal di satu negara seperti Amerika Serikat misalnya tentu akan langsung menjadi beban secara global terhadap seluruh perekonomian di dunia. Karenanya dunia akan senantiasa dalam kegelapan, jika kapitalisme masih berkuasa. Karena cacat bawaan kapitalisme tidak dapat diobati secara tuntas, kecuali sistem ini harus diganti secara keseluruhan dengan sistem yang terbukti membawa stabilitas ekonomi dunia. 

Sistem ini adalah sistem khilafah yang menerapkan hukum-hukum syariat termasuk dalam sistem perekonomiannya. Untuk menyelesaikan krisis ekonomi khilafah akan menata kembali sektor ekonomi riil.

Pelaku pasar adalah rakyat dengan komoditas nyata, yaitu barang dan jasa. Sumber perekonomian Khilafah bertumpu pada empat sektor, yaitu pertanian, perdagangan, industri dan jasa. 

Harta kekayaan umum milik rakyat seperti sumber daya alam akan dikelola negara dan hasilnya diberikan kepada rakyat. Begitu juga dengan harta kekayaan milik negara, seperti kharaj, usyur, jizyah, ghanimah dan sebagainya akan dikelola khilafah.

Mata uang yang digunakan adalah dinar dan dirham. Tata lembaga keuangan baik itu bank dan non bank wajib sesuai prinsip syariah. Konsep ini akan menutup pintu terjadinya krisis ekonomi. 

Kebijakan selanjutnya adalah khilafah akan mengharamkan transaksi ekonomi non riil. Khilafah akan melarang adanya pasar modal yang elitis, spekulatif, manipulatif dan destruktif. Karena hal tersebut adalah salah satu penyebab kemiskinan di masyarakat. Uang hanya berfungsi sebagai alat tukar saja, tidak ada perjudian dan spekulasi.

Ekonomi ribawi seperti prinsip bank kapitalisme dihapuskan. Khilafah juga akan menata ulang sistem distribusi. Penerapan sistem kapitalisme mengakibatkan buruknya distribusi sehingga menghasilkan krisis ekonomi termasuk krisis moneter, maka khilafah akan mengembalikan sistem distribusi tersebut sesuai dengan syariat.

Sistem distribusi yang dilakukan adalah dengan pendekatan sosial, seperti zakat, infak, sedekah, warisan dan lain-lain. Pendekatan komersial, seperti jual beli, sewa, kerjasama bisnis maupun pendekatan legal dengan menghilangkan berbagai praktik yang menghambat distribusi ekonomi, seperti menimbun. Konsep ini akan menutup celah krisis dari pintu distribusi.

Islam juga tidak memungkiri bisa terjadi krisis akibat bencana atau peperangan karena faktor thawari (emergency), bukan karena faktor siklus tahunan, maka salah satu pengeluaran pos kepemilikan negara dan umum dialokasikan untuk krisis tersebut.

 Jika tidak ada dana dari baitul mal, maka khilafah akan mendorong kaum Muslimin untuk bersedakah dan bisa juga mengambil dharibah (pajak) secara temporal. Demikian solusi yang ditawarkan oleh khilafah untuk mengatasi gejolak ekonomi saat ini.

Posting Komentar

0 Komentar