Pinjol Adalah Cara Kapitalisme Mengakumulasi Kapital dengan Menjebak Masyarakat



TintaSiyasi.com -- Menanggapi fenomena pinjaman online (pinjol) yang makin meresahkan tidak hanya di kalangan mahasiswa, Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan, dalam kacamata kapitalisme yang penting mereka bisa mendapatkan cara untuk mengakumulasi kapital dengan menjebak masyarakat.

"Dalam kacamata kapitalisme, yang penting mereka mendapatkan cara bagaimana untuk mengakumulasi kapital kan begitu. Pinjol ini makin melengkapi trap (utang) yang disiapkan sistem kapitalisme agar kemudian masyarakat terjebak di dalamnya," katanya kepada TintaSiyasi.com, Sabtu (19/11/2022).

Menurut dia, misi mereka untuk bisa mengakumulasi kapital dalam jumlah yang besar adalah jika uang mereka itu berkembang dengan cepat, menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya.

Dengan berkembangnya dunia Fintech, menurut Fajar, fenomena pinjol tersebut semakin lumrah dan semakin marak. Di dalam ekonomi kapitalisme hal itu disebutnya sebagai exit strategy atau alternative strategy.

"Apalagi untuk seseorang yang kemudian ingin memenuhi keinginannya yang mungkin tidak bisa ia jangkau kalau dia hanya mengandalkan harta yang ada di dalam dirinya. Sehingga salah satu strateginya adalah dengan pinjam," ujarnya.

Menurut dia, hegemoni kapitalisme itu luar biasa, sehingga orang akan di dorong betul untuk menjadi konsumtif. Setiap hari iklan melalui berbagai macam marketplace, ada dari Shopee, Lazada, Bli-bli, Tokopedia dan sebagainya.

"Semuanya menawarkan konsumerisme, membujuk agar kita selalu menjadi konsumtif. Bahkan sesuatu yang kadang-kadang tidak kita butuhkan akhirnya kita beli juga. Dengan gencarnya gempuran dari kapitalisme tersebut, benar-benar mampu mengeksploitasi ekonomi masyarakat," imbuhnya.

Bagi mereka kalangan orang mampu yang berkelimpahan yang kaya, ia menilai, tentunya tidak ada masalah. Mereka bisa menghambur-hamburkan uangnya di sana. Tetapi akan menjadi problem kalau kemudian yang termakan provokasi untuk konsumtif adalah orang-orang yang kemampuannya terbatas.

"Di sinilah kemudian mereka membuka opportunity baru, yang sebenarnya itu adalah trap juga, seperti sekarang ada menu pay later, bayar belakangan, bayar cicil di berbagai aplikasi marketplace tersebut," ungkapnya.

Menu-menu tersebut dinilai olehnya adalah bagian dari upaya untuk menjebak orang, agar kalaupun mereka hari ini enggak mampu. "Tiada mengapa akan kami talangi dulu, bayar belakangan. Bayar cicil kan gitu. Inilah watak buruk kapitalisme, dari situ kemudian mereka menjebak satu persatu korbannya. Baik mahasiswa, ibu rumah tangga, remaja bahkan anak-anak," imbuhnya.

Fenomena pinjol dalam kapitalisme adalah fenomena yang lumrah, terang dia, untuk bisa memenuhi lifestyle, maka apa pun mereka lakukan termasuk dengan meminjam, jelas Fajar. "Sampai ada pepatah, biar tekor asal kesohor, walaupun dia harus tekor sampai meminjam tadi yang penting dia terkenal, yang penting dia tersohor yang penting dia bisa melampiaskan nafsu keinginannya untuk beli-beli sesuatu dan kemudian dipamerkan kepada yang lainnya. Kan begitu motifnya," tegasnya.

Ia menjelaskan, "Di situlah, mengapa masyarakat sekarang konsumtif? Itu juga karena hegemoni kapitalisme, di mana muncul stereotype di masyarakat untuk mengukur seseorang itu sukses atau tidak." Sehingga untuk mengukur bahwa orang itu sukses atau tidak itu dari atribut-atribut materi yang dia tampakkan. Menjadi jamak di masyarakat itu untuk mengukur sukses seseorang itu dari mereka memikiki mobil atau tidak. Kalau mereka mempunyai mobil, mobilnya yang murah atau mahal, jelasnya.  

"Kemudian dia memiliki rumah atau tidak. Kalaupun punya rumahnya biasa saja atau bagus. Busana yang dipakai branded atau tidak. Oh enggak branded berarti biasa-biasa saja, handphonenya yang _high class_ atau bukan. Oh cuman handphone china misalkan, bukan iphone bukan samsung dan seterusnya," bebernya.

Ia menilai, adanya jebakan pada menu-menu pay later tersebut menurutnya motif pinjaman dalam kapitalisme bukan menolong, tetapi untuk mendapatkan manfaat untuk dirinya sendiri.

Berbeda dengan prinsip pinjaman dalam Islam, lanjut Fajar, kebaikan atau qardhul hasan. "Dia betul-betul berangkat dari niat yang tulus, tidak mengharap sesuatu bahkan tidak boleh untuk memungut sesuatu apapun tambahan dari dia memberikan pinjaman itu," cetusnya.

Maka, tegas dia, manusia tidak boleh mendapatkan se sen pun tambahan dari apa yang ia pinjamkan. "Kalau dia meminjamkan seratus rupiah maka ya kembali seratus rupiah, tidak boleh lebih. Satu sen saja lebih tidak boleh, karena itu bagian dari riba," imbuhnya.

Itulah mengapa ia menilai di dalam Islam orang meminjamkan uang itu niatnya tulus, niatnya menolong, niatnya membantu saudaranya yang mengalami kesulitan dan perlu bantuan, perlu pertolongan.

"Kalau kemudian terlambat pembayarannya bagaimana? Tentu di sini ada komunikasi, ada negosiasi yang kemudian harapannya bisa dimaklumi oleh kedua belah pihak," tandasnya.

Ia melanjutkan, peminjam juga harusnya tahu diri. Pemberi pinjaman harus menyadari bahwa ketika ia memberi kelonggaran lagi itu adalah hal yang lebih utama. Walaupun juga tidak boleh bagi peminjam itu selalu excuse, selalu meminta tambahan waktu. "Kalau memang komitmen pinjam dua bulan ya harusnya berusaha keras agar dua bulan bisa dikembalikan," bebernya.

Atau kalau memang dua bulan itu meleset sebagaimana yang diharapkan, ia menghimbau, agar peminjam mengkomunikasikan kepada pemberi pinjaman agar tempo waktunya bisa ditambah lagi.[] Heni

Posting Komentar

0 Komentar