Euforia Demokrasi: Menyingkirkan Politik Identitas dan Menyuburkan Politik Transaksional?



TintaSiyasi.com -- Tidak ada angin, tidak ada hujan, narasi politik identitas senantiasa dinarasikan dalam pertarungan sengit menuju 2024. "Jangan bawa-bawa politik identitas" adalah narasi yang ditujukan kepada kontestan politik yang mereka duga akan membawa-bawa Islam. Sebagaimana Bawaslu sendiri memprediksi politik identitas akan makin marak jelang 2024. Anies Baswedan salah satu kandidat kontestan 2024 juga tak sepi diterpa isu politik identitas. Anis pun menanggapi akan melawan politik identitas itu sendiri.

Dikutip dari Antaranews.com (7/11/2022), Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengatakan penyampaian edukasi politik sejak dini dapat menjadi salah satu langkah yang dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk mencegah politik identitas. Aksi umat Islam 4 November 2022 kemarin juga dikritik oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), supaya PA 212 menyetop politik identitas. Dikutip dari CNNIndonesia.com (6/11/2022), Wasekjen PBNU Rahmat Hidayat Pulungan mengkritisi aksi PA 212 dan mengimbau seluruh pihak menghentikan upaya memperalat agama untuk kepentingan politik sesaat.

Masih banyak pernyataan yang mewaspadai dan menolak politik identitas. Dikutip dari Wikipedia, politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.

Namun hari ini, yang membawa Islam sebagai identitas diri dianggap menjadikan alat politik identitas. Berdasarkan penjelasan yang dijelaskan Wikipedia, siapa saja yang membawa Islam ke ranah politik, seolah-olah sedang menjadikan identitas keislamannya sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan secara ekstrem. Oleh karena itu, politik identitas Islam ditolak secara serempak. Tetapi, mereka yang membawa identitas sekuler, liberal, dan hedonisme dibiarkan melenggang dalam kontestasi politik. Berbeda dengan politik transaksional yang sering nampak dalam demokrasi kapitalisme, malah tidak digembar-gemborkan.

Menyelisik di Balik Alarm Kencang Politik Identitas dan Keheningan Suara Politik Transaksional

Setop politik identitas, jangan bawa-bawa politik identitas, jangan ada politik identitas dan politisasi agama. Begitulah narasi perlawanan terhadap politik identitas. Sejatinya politik identitas adalah politik yang menjadikan etnis, kelompok, agama sebagai alat politik. Bahkan, dalam Wikipedia dikatakan, identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya. 

Padahal jika membaca makna politik identitas itu sendiri, semua yang terjun di ranah politik pasti membawa identitas. Tidak ada yang netral dan tidak ada yang melenggang tanpa identitas. Mereka berteriak-teriak terhadap politik Islam agar tidak dibawa ke ranah politik dengan dalil politik identitas, tetapi mereka sendiri membawa politik identitas di setiap warna perpolitikan hari ini.

Bukankah mereka yang hadir membawa kepentingan kelompok/oligarki telah membawa identitas kelompoknya juga? Bukankah identitas sekularisme, liberalisme, hedonisme juga dibawa ke ranah politik hari ini? Hanya saja itu tidak terlalu mendapatkan perlawanan hari ini. Ada beberapa catatan soal politik identitas sebagai berikut. 

Pertama, politik identitas adalah narasi untuk melawan politik Islam. Siapa pun kontestan yang diduga bercorak islami, langsung diteriaki "Jangan bawa-bawa politik identitas". Aneh, mengapa aksi 411 dianggap sebagai aksi yang membawa politik identitas? Sejarah aksi 411 itu apa? Karena mulut kotor pejabat yang telah menghina ajaran Islam. Oleh karena itu, siapa yang bawa-bawa agama ke politik sebenarnya? Siapa yang sebenarnya cari masalah dengan umat Islam? Namun, anehnya Islam dan umat Islam hari ini senantiasa jadi pihak tertuduh dan dipersalahkan atas segala karut marutnya negeri ini. 

Kedua, narasi politik identitas ada akibat islamofobia yang menjangkiti politisi hari ini. Negeri Muslim terbesar justru ketakutan dengan politik Islam. Padahal Islam adalah agama yang sempurna mampu mengatur segala aspek kehidupan. Ketika Islam diterapkan, keberkahan dan kesejahteraan dapat diwujudkan dalam segala aspek kehidupan. Lantas, apa yang perlu ditakuti atas Islam? Sejatinya yang takut jika Islam memimpin kehidupan adalah para pelaku kemaksiatan, kejahatan, dan kezaliman. Mereka tidak mau kejahatan mereka terhalangi atas kebangkitan dan penerapan Islam. 

Ketiga, politik identitas adalah narasi untuk menutupi fakta politik transaksional yang terjadi dalam perpolitikan demokrasi kapitalisme. Bayangkan, berapa modal yang dibutuhkan oleh seorang kontestan politik? Apalagi jika maju untuk jadi presiden, tentu membutuhkan dana yang cukup fantastis. Di sinilah para kontestan politik butuh dana untuk bersaing dalam pemilu. Dana yang cukup fantastis ini biasanya dicari dari para pemilik modal. Di sinilah pemodal, oligarki, atau kapitalis, memainkan perannya. Mereka walau di balik layar, tetapi kepentingannya senantiasa direstui penguasa. Karena penguasa yang berhasil terpilih atas restu pemodal, harus balas budi. Di situlah politik transaksional terjadi. Ada transaksi antara penguasa dan pemodal. Yakni, adanya kebijakan yang dapat dipastikan akan menguntungkan pemodal. Di sinilah oligarki tercipta dan subur keberadaannya.

Mengapa politik identitas nyaring disuarakan padahal fakta yang terjadi di lapangan adalah politik transaksional? Karena mereka tidak ingin Islam masuk dalam dunia politik hari ini. Oleh karena itu, Islam ditolak dengan narasi politik identitas. Ajaran dan politik Islam apabila masuk dalam dunia politik hari ini, keadilan dan kesejahteraan akan terwujud. Keserakahan dan kerakusan oligarki tidak akan mungkin diamini dalam sistem Islam. Inilah yang ditakutkan oleh para oligarki hari ini.

Dampak Politik Transaksional di Balik Isu Politik Identitas

Sejatinya setiap politisi pasti membawa identitasnya. Identitas sebagai kapitalisme sekuler, sosialisme komunis, atau Islam. Hanya saja hari yang dimusuhi dan dijadikan musuh bersama adalah politik Islam. Yang berkuasa di dunia ini adalah politik sekuler kapitalisme dan sosialisme komunis. Islam dimusuhi oleh dua ideologi tersebut, karena politik Islam mampu menghentikan kezaliman yang diakibatkan oleh dua ideologi kapitalisme dan sosialisme. 

Diakui atau tidak, mereka yang memegang politik hari ini pasti memiliki corak ideologi yang mereka emban. Ideologi itulah yang jadi identitas mereka. Hari ini, identitas politik Islam sedang berusaha dibungkam dan dihalang-halangi muncul sebagai solusi tuntas atas kesengsaraan yang ada hari ini. Politik identitas yang sedang diwaspadai para politisi sekuler hari ini, sejatinya dampak politik transaksional yang mulus dalam sistem demokrasi kapitalisme adalah sebagai berikut. 

Pertama, demokrasi berubah korporatokrasi. Demokrasi yang didaulat sebagai pemerintahan rakyat telah mati dan berubah menjadi korporatokrasi. Yakni, negara yang dikuasai oleh para korporat. Alhasil, hanya kepentingan para korporat yang direstui oleh penguasa, rakyat hanya dijadikan tumbal atas kepentingan mereka. Fungsi negara sebagai pengelola urusan rakyat berubah menjadi pengelola urusan korporat dan oligarki semata. 

Kedua, menguburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Politik transaksional inilah yang menyebabkan korupsi susah diberantas dalam sistem demokrasi. Justru demokrasi itu memberikan ruang untuk para koruptor untuk mengembangkan dirinya menjadi penguasa. Janji pemberantasan korupsi hanya akan jadi isapan jempol, karena korupsi adalah yang membiayai politik demokrasi yang sangat mahal. 

Ketiga, kesengsaraan dan problematika berkepanjangan. Jika yang terjadi adalah deal-dealan politik yang bernuansa transaksional dapat dipastikan rakyat akan jadi tumbal kesengsaraan atas keserakahan para korporat. Bukannya rakyat diurusi keperluannya, tetapi yang terjadi bagaimana bisa memeras dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari rakyat. Oleh karena itu, yang terjadi adalah perampasan hak rakyat. Seharusnya sumber kekayaan negara dikelola untuk kesejahteraan rakyat, tetapi yang terjadi adalah sumber kekayaan dikuasai oleh korporat untuk memperkaya dan memuluskan keserakahannya menguasai dunia. Wajar jika hidup rakyat makin susah, dan para korporat makin jadi konglomerat.

Inilah wajah asli dari ideologi kapitalisme sekuler. Bukan mengurusi urusan rakyat, namun memanfaatkan urusan rakyat untuk memenuhi kepentingannya. Mereka pengusung kapitalisme sekuler tidak akan merestui Islam masuk dan mengganggu kepentingan mereka. Jika Islam didakwahkan untuk dijadikan solusi permasalahan yang ditimbulkan kapitalisme sekuler, maka Islam akan benar-benar menampakkan kegemilangannya. Oleh karena itu, jika Islam hari ini dakwahnya dihalangi, pengemban dakwahnya menemui rintangan dalam menyampaikan Islam, maka ini adalah akibat dari penerapan sistem kapitalisme sekuler.

Strategi Politik Islam dalam Mengatur Kehidupan

Islam bukan hanya agama ritual, namun sebuah ideologi yang dapat diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Dalam politik telah terbukti bagaimana Rasulallah Muhammad SAW mengurusi urusan umat dengan Islam. Islam memiliki sistem pemerintahan yang disebut khilafah. Khilafah Islamiah adalah bentuk sistem pemerintahan yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW dan diteruskan oleh para Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah Abbasiyah, dan Utsmaniyah. 

Jika ada yang mengerdilkan Islam tidak mampu mengurusi kehidupan, maka mereka belum tahu saja bagaimana kiprah Islam dalam membawa kesejahteraan dunia. Bagaimana Islam menguasai 2/3 dunia dengan membawa rahmat ke seluruh alam, sejatinya kisahnya ada dalam literasi dan sejarah, hanya saja hari ini sejarah itu sedang berusaha dikuburkan dan dikaburkan.

Dalam mengurusi urusan umat, ada beberapa catatan yang dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, Islam diterapkan dalam aspek individu. Islam memiliki aturan yang mengatur hubungan individu dengan Allah Subhanahuwa wata'ala dan mengatur hubungan individu dengan dirinya sendiri. Sebagai contoh dalam hal ibadah mahdah adalah bentuk aturan Islam mengatur hubungan dengan Rabbnya yang disebut habluminallah. Namun, tidak hanya itu, Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang disebut habluminafsih.

Kedua, Islam diterapkan mengatur hubungan manusia dengan manusia (habluminanas). Di sinilah peran negara dibutuhkan untuk menegakkan hukum Islam dan menerapkan sistem Islam dalam segala aspek kehidupan. Negara yang menerapkan sistem Islam kaffah telah menerapkan mahkota kewajiban. Karena jika negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiah, maka segala bentuk kewajiban yang ada dalam hukum Islam dapat diwujudkan di muka institusi tertinggi, yakni khilafah. 

Korelasi penerapan sistem Islam dalam bingkai negara akan sampai di akhirat, karena jika hukum, sanksi, dan uqubat dapat dilaksanakan di dunia, tentunya ketika di akhirat hisabnya lebih ringan. Karena negara telah menegakkan keadilan di muka bumi. Setiap kezaliman akan ada hisabnya, jika hisab itu tuntas di dunia, pasti tidak akan menjadi beban di pengadilan akhirat. Di sinilah pentingnya penerapan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah, karena korelasinya sampai ke akhirat. 

Kecuali Khilafah Islamiah, tidak ada sistem pemerintahan yang mampu menerapkan sistem Islam secara kaffah. Seharusnya sistem ini posisinya disejajarkan dengan sistem pemerintahan lain, yang harus dikaji, dipelajari, dan dijadikan solusi atas problematika kehidupan. Hanya saja mereka yang membenci Islam dan tidak ingin Islam menguasai dunia, pasti akan berada di garis terdepan untuk menghalanginya. Namun, mau dihalangi dan dihalau sekuat apa pun, ketika kemenangan Islam itu diturunkan, tidak akan yang mampu menghalangi sekalipun mereka kumpulkan seluruh bala bantuannya.


Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Mengapa politik identitas nyaring disuarakan padahal fakta yang terjadi di lapangan adalah politik transaksional? Karena mereka tidak ingin Islam masuk dalam dunia politik hari ini. Oleh karena itu, Islam ditolak dengan narasi politik identitas. Ajaran dan politik Islam apabila masuk dalam dunia politik hari ini, keadilan dan kesejahteraan akan terwujud. Keserakahan dan kerakusan oligarki tidak akan mungkin diamini dalam sistem Islam. Inilah yang ditakutkan oleh para oligarki hari ini.

Inilah wajah asli dari ideologi kapitalisme sekuler. Bukan mengurusi urusan rakyat, namun memanfaatkan urusan rakyat untuk memenuhi kepentingannya. Mereka pengusung kapitalisme sekuler tidak akan merestui Islam masuk dan mengganggu kepentingan mereka. Jika Islam didakwahkan untuk dijadikan solusi permasalahan yang ditimbulkan kapitalisme sekuler, maka Islam akan benar-benar menampakkan kegemilangannya. Oleh karena itu, jika Islam hari ini dakwahnya dihalangi, pengemban dakwahnya menemui rintangan dalam menyampaikan Islam, maka ini adalah akibat dari penerapan sistem kapitalisme sekuler.

Kecuali Khilafah Islamiah, tidak ada sistem pemerintahan yang mampu menerapkan sistem Islam secara kaffah. Seharusnya sistem ini posisinya disejajarkan dengan sistem pemerintahan lain, yang harus dikaji, dipelajari, dan dijadikan solusi atas problematika kehidupan. Hanya saja mereka yang membenci Islam dan tidak ingin Islam menguasai dunia, pasti akan berada di garis terdepan untuk menghalanginya. Namun, mau dihalangi dan dihalau sekuat apa pun, ketika kemenangan Islam itu diturunkan, tidak akan yang mampu menghalangi sekalipun mereka kumpulkan seluruh bala bantuannya.

Oleh: Ika Mawarningtyas
Direktur Mutiara Umat Institute dan Dosen online Uniol 4.0 Diponorogo

MATERI KULIAH ONLINE UNIOL 4.0 DIPONOROGO
Rabu, 9 November 2022 di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.
#Lamrad
#LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar