Tragedi Kanjuruhan: Polisi Wajib Bertanggung Jawab


TintaSiyasi.com -- Seperti diberitakan di berbagai media massa, Arema FC kalah dari Persebaya Surabaya dengan skor 2-3 pada lanjutan Liga 1 musim 2022-2023 di Stadion Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang, Sabtu (1/10/2022) malam. 

Usai peluit panjang dibunyikan tanda pertandingan berakhir, sejumlah Aremania memasuki lapangan untuk meluapkan kekecewaan lantaran kalah dari rival. Tak lama kemudian, aparat menembakkan gas air mata untuk ke arah tribun penonton. Akibatnya, ribuan suporter yang masih memenuhi tribun panik menyelematkan diri namun naas, banyak yang terinjak dan sesak nafas hingga meninggal dunia. 

Saya prihatin dan mengutuk tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan Malang saat dilangsungkannya ajang pertandingan sepak bola  Liga 1 2022-2023 ini. Benar-benar ini tragedi kemanusiaan yang memakan korban lebih dari 150 orang meninggal, belum yang luka-luka masih dirawat di RS.

Saya turut menyatakan bela sungkawa sedalam dalamnya kepada seluruh keluarga korban, baik masyarakat umum maupun aparat kepolisian. 

Lalu bagaimana kasus ini jika ditinjau dalam perspektif hukum? Intinya, ada fakta hukum yang jelas yakni terbunuhnya manusia hingga ratusan jumlahnya dalam waktu bersamaan. Ada korban, pasti ada pelaku (banyak pihak yang terlibat) yang dapat ditelusuri apakah karena ada unsur kesengajaan ataukah karena kelalaian. 

Lalai saja dapat dihukum apalagi sengaja. Siapa saja yang terlibat dalam perkara ini? Mereka adalah:  pertama, panitia termasuk PSSI. Kedua, keamanan (polisi). Ketiga, penyulut kerusuhan. Mereka harus dimintai pertanggung jawaban hukum atas meninggalnya ratusan jiwa tersebut. 

Terkait regulasi FIFA yang melarang penggunaan gas air mata, sementara Polda Jatim berdalih sesuai prosedur. Apakah hal ini dapat dibenarkan?

Bila kita perhatikan ketentuan dari FIFA soal penggunaan gas air mata, apa yang dilakukan petugas keamanan jelas telah melanggar aturan FIFA. Dalam aturan FIFA soal pengamanan dan keamanan stadion alias FIFA Stadium Safety and Security Regulations, tertuang poin penggunaan gas air mata dilarang. 

Tertulis bahwa gas air mata tidak boleh dipakai. Disebutkan bahwa: "senjata api atau gas pengendali massa (gas air mata) tidak diboleh dibawa atau digunakan," demikian bunyi Pasal 19 b di aturan FIFA soal pengamanan dan keamanan stadion. 

Kalau membawa gas air mata ke dalam stadion saja tidak boleh, lalu apakah kita masih mau memperdebatkan soal penggunaanya, apalagi menyatakan telah sesuai prosedur. Prosedur yang mana? 

Banyak juga Lembaga-lembaga non pemerintah yang menduga bahwa penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use force) melalui penggunaan gas air mata dan pengendalian masa yang tidak sesuai prosedur, menjadi penyebab banyaknya korban jiwa yang berjatuhan. 

Saya kira kelalaian polisi dalam hal penggunaan gas air mata ini menggenapi wajah bopeng kepolisian RI. Belum kelar soal Sambo, judi online, dugaan penimbunan BBM, soal narkoba dan lain,lain. Kini kepolisian diduga melakukan tindakan ceroboh dan lalai dalam pengamanan sepak bola Arema Malang VS Persebaya. 

Atas peristiwa tragedi kemanusiaan ini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan ke depan terkait dengan dunia sepakbola Indonesia. Ada fakta bahwa banyak korban bukan karena ikut membuat kericuhan tapi masih tertahan di stadion dikarenakan penuh sesak untuk keluar dari stadion dengan gas air mata itu yang membuat suasana menjadi mengkhawatirkan dikarenakan korban seperti wanita dan anak kecil terkena imbasnya. 

Maka ke depan stadion itu mesti punya banyak pintu yang siap setiap saat dibuka, setidaknya sesuai penjuru arah mata angin. Ada delapan gate atau setidaknya empat gate dengan tingkat safety yang tinggi jika ada keadaan darurat. Sebelum acara dimulai protokolnya harus jelas menerangkan strategi penyelamatan diri jika terjadi hal-hal yang membahayakan jiwa orang dalam stadion. 

Jika tiket ini berbayar, pemerintah harus berani menanggung seluruh kerugian jiwa dan raga karena kesalahan yang disengaja maupun lalai. Berikan asuransi jiwa  kepada penonton. 

Berikutnya, saya menghimbau kepada pemerintah berani menghukum para pihak yang bersalah. Proses hukum siapa saja yang terlibat, termasuk polisi. Jika perlu dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Pemerintah harus memberikan sanksi kepada klub sepak bola yang telah terbukti melanggar ketentuan FIFA dan pelanggaran hukum. Misalnya tidak boleh ikut bertanding. 

Polisi harus lebih siap dan tegas dalam pengamanan, dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: 

Pertama, jika merasa kurang kuat, lebih baik meminta bantuan TNI dan polisi dari polda lain. 
Kedua, jangan spekulasi dengan jumlah penonton dalam satu studion. Ya untungnya saja tidak terjadi di JIS. Kalau terjadi di JIS, pasti buzzer akan mindah siarannya ke JIS. 
Ketiga, patuhi ketentuan prosedural yang telah ditetapkan oleh FIFA, misalnya larangam membawa gas air mata dan kepolosian. Ada SOP FIFA yang dapat dijadikan pedoman. 

a) Pramugara atau petugas polisi yang ditempatkan di sekitar lapangan permainan kemungkinan besar akan direkam di televisi, dan oleh karena itu perilaku dan penampilan mereka harus memiliki standar tertinggi setiap saat. 

b) Tidak ada senjata api atau "gas pengendali massa" yang boleh dibawa atau digunakan. 

c) Jumlah penjaga lapangan dan/atau petugas polisi harus dijaga seminimal mungkin dan berdasarkan penilaian risiko pertandingan, dengan mempertimbangkan perilaku penonton yang diharapkan dan kemungkinan invasi lapangan. 

d) Jika ada risiko tinggi terhadap invasi lapangan atau gangguan kerumunan, pertimbangan harus diberikan untuk mengizinkan petugas polisi dan/atau pramugara untuk menempati barisan depan kursi di stadion jika dianggap perlu untuk meningkatkan kehadiran dan kemampuan secara keseluruhan. Jika pendekatan ini akan diadopsi, perhatian harus diberikan untuk memastikan bahwa kursi yang diduduki oleh petugas polisi dan/atau pramugara tidak dijual kepada publik. 

Kita berharap tragedi kemanusiaan dalam event sepak bola tidak akan terjadi. Semua pihak harus lebih beradab jika ingin negeri ini cepat pulih dan bangkit lebih kuat. 


Tabik...!
Semarang, Ahad: 2 Oktober 2022


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat 

Posting Komentar

0 Komentar