Hoaks: Mayoritas Koruptor Sarjana

TintaSiyasi.com -- Ada banyak jenis hoaks, salah satunya adalah misleading content. Misleading content atau konten yang menyesatkan juga kerap dibuat secara sengaja. Konten-konten jenis ini dibuat untuk menjelek-jelekkan seseorang atau sesuatu. Hal-hal yang diangkat dalam konten tersebut juga dapat menyangkut satu orang maupun banyak orang. Konten-konten jenis ini dibuat untuk menggiring opini masyarakat.

Konten menyesatkan atau misleading content dibuat dengan memanfaatkan informasi asli. Informasi- informasi itu bisa saja berupa pernyataan resmi, gambar atau foto, statistic dan lain-lain. Informasi tersebut akan diedit sedemikian rupa, sehingga informasi dengan konten yang akan dibuat tidak memiliki hubungan, padahal sangat erat kaitannya. Berdasarkan pengertian ini, maka pernyataan resmi yang berisi 86% koruptor adalah lulusan Perguruan Tinggi itu bisa dinilai hoaks berupa misleading content.

Lagi-lagi Menko Polhukam Mahfud MD bicara soal fenomena relasi Perguruan Tinggi (PT) dengan pelaku  koruptor di Indonesia. Kali ini ia bicara pada saat Dies Natalis ke-65 Universitas Diponegoro, Sabtu tanggal 15 Oktober 2022. Mahfud menyebut sekitar 1.100 koruptor lulusan perguruan tinggi atau sekitar 86%, yang nota bene merujuk pada temuan KPK 2021. Jadi, bukan barang baru. 

Apakah pernyataan itu benar secara logik dan mengandung nilai? Mari kita berpikir,  koruptor itu rata-rata pejabat, khususnya pejabat pemerintah dan juga pejabat swasta. Nah, untuk menjabat pasti ada syarat pendidikan, setidaknya sarjana, kecuali untuk menjabat Presiden cukup lulusa SMA. Maka, boleh jadi lebih dari 86% koruptor ya lulusan PT S1. Lalu, apa nilainya ketika mennyatakan bahwa 86% koruptor itu lulusan PT?

Jadi pernyataan Pak Menkopolhukam bahwa 86 koruptor lulusan Perguruan Tinggi itu nilainya nol. Pernyataan yang nilainya nol ini akan berakibat mendiskreditkan PT dan sekaligus meminta PT untuk bertanggung jawab atas praktik korup pejabat tersebut.

Lalu,  apakah Anda setuju jika ada korupsi yang merajalela lalu PT diminta untuk bertanggung jawab lantaran para koruptor itu nota bene berasal dari perguruan tinggi? Kalau saya tidak setuju! Saya sebagai dosen juga tidak pernah mengajarkan satu ilmu pun kepada para mahasiswa untuk menerima suap atau maling uang negara. kami bekali anak didik dengan hukum moral dan agama dengan baik, justru praktik ketatanegaraanlah yang mengoyak meluluhlantakan semua ajaran kebaikan di PT bahkan, Pak Mahfud MD pernah menyatakan bahwa malaikat pun kalau masuk dalam sistem demokrasi dapat berubah menjadi setan. jadi, jangankan lulusan PT, bahkan seorang pejabat lulusan pondok pesantren ternama, bergelar doktor, kiai haji dll pun jika masuk sistem demokrasi berpotensi menjadi penjahat, bernama koruptor.

Rusaknya semua lini institusi negara, baik legislatif, yudikatif dan eksekutif semoga tidak membuat Anda ikut larut dalam kerusakan tersebut! Kita semua harus merasa ikut bertanggung jawab atas masa depan bangsa ini, bukan dengan mendeskreditkan satu pihak bernama Perguruan Tinggi. Atas dasar pemikiran ini masihkah kita tega meminta PT almamater untuk bertanggung jawab atas kebobrokan pejabat korup yang nota bene diasuhnya, dahulu?

Tabik...!
Semarang, Ahad: 16 Oktober 2022


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum
Pakai Hukum dan Masyrakat

Posting Komentar

0 Komentar