Potret Buram Pendidikan dalam Sistem Kapitalisme: Penganiayaan Hingga Kematian Selalu Menghantui

TintaSiyasi.com -- Twitter beberapa saat yang lalu berlomba tagar antara #BatalkanKenaikanBBM dan #gontor. Bahkan, ada yang niat banget menarik isu Gontor dengan gambar pemukulan polisi pada massa demonstrasi kenaikan BBM. Tampaknya kasus ini menggores kembali dunia pendidikan islami dalam pondok setelah sebelumnya ada kasus pencabulan juga.

Kasus tewasnya AM (17), santri Pondok Modern Darussalam Gontor yang terekspos publik saat ibu korban mengadu ke Hotman Paris Hutapea (5/9/2022). AM dikabarkan kelelahan saat mengikuti Perkemahan Kamis Jumat (Perkajum) dan disampaikan ke ibu korban pada Senin (22/8/2022) sekitar pukul 10.20 Wib. Padahal sejatinya AM dianiaya oleh seniornya hingga meninggal. 

Melihat kasus ini sungguh kompleks. Netizen dan buzzer banyak membumbui. Misal @littlevixen : pesantren gontor = tempat menyerahkan anak di mana kekuatan hukum negara akan dibungkam. do not send your children to place where the people know nothin about justice!!!!

Terus terang komentar ini sangat menyakitkan. Pasalnya rentang pernyataan resmi pondok yaitu tanggal 5 September 2022 berjarak lama dari meninggalnya AM. Belum lagi alasan tidak tepat yaitu adanya surat perjanjian sebelum masuk pondok. Hal itu menjadi santapan empuk menyalahkan dengan tanpa melihat secara benar realitas kondisi generasi dan pendidikan hari ini.

Dunia pendidikan Islam memang menjadi idola karena kabar keberhasilan pendidikannya di tengah dipertanyakannya outcome pendidikan kapitalisme. Mulai dari boarding, sekolah IT, TPA/Q, pondok konvensional maupun modern banyak diminati para orang tua. Pasalnya orang tua tetap menginginkan anak keturunannya menjadi generasi yang saleh dan salihah. Maka harapan untuk mendapatkan pendidikan agama jatuh kepada sekolah dan institusi Islam.

Realitasnya kondisi generasi muda yang dididik saat ini tidaklah sama dengan generasi sebelumnya. Arus kapitalisme modern bahkan tanpa ampun menggilas kaum muda. Apalagi dunia maya mengajari dan menyediakan apa pun untuk kawula muda. Tanpa batas dan kendali kecuali kuota. Maka bisa ditakar bagaimana beban dunia pendidikan Islam saat ini terutama pondok harus bekerja. Tapi benarkah peloncoan dan kekerasan menjadi senjata pamungkas mengatasi kenakalan yang ujung-ujungnya terjadi kematian?


Potret vs Harapan Orang Tua dalam Pendidikan ala Kapitalisme

Tujuan pendidikan yg berlaku di masa Orde Lama berbeda menggunakan tujuan pendidikan pada masa Orde Baru. sejak Orde Baru sampai sekarang, rumusan tentang tujuan pendidikan selalu mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan pembangunan serta perkembangan kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Tujuan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu insan yang beriman serta bertaqwa terhadap yang kuasa yang Maha Esa serta berbudi pekerti luhur, mempunyai pengetahuan serta keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yg mantap serta berdikari serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan serta kebangsaan.

Tujuan pendidikan dasar adalah memberi bekal kemampuan dasar pada siswa buat berbagi kehidupanya menjadi langsung, anggota umat manusia dan mempersiapkan peserta didik buat mengikuti pendidikan menengah. Tujuan pendidikan dasar di atas memberikan makna bahwa tujuan pendidikan dasar artinya pondasi, dasar atau batu loncatan buat mencapai tujuan pendidikan yang lebih tinggi. Secara konsep jika memang ini direalisasikan dan menginspirasi dalam pendidikan nasional yang ditetapkan Wajar 9 tahun pasti ada hasil yang bisa diindra.

Sayangnya kualitas pendidikan di Indonesia belum se ideal seperti yang tercantum pada UU N0.20 tahun 2003 pasal 2. Hasil PISA (Programme for Internatinal Student Assesment) tahun 2018 yang merupakan tes tentang membaca, matematika, dan sains pada tahun 2018, Indonesia menempati peringkat 72 dari 78 negara dengan angka 371 untuk membaca, 379 untuk matematika, dan 396 untuk sains. 

Sementara, menurut survei dari PERC (Politic and Economic Risk Consultan), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan terakhir yaitu urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Belum lagi bila mengacu pada indeks pendidikan yang merupakan bagian dari Laporan Pengembangan Sumber Daya Manusia yang dirilis oleh United Nations Development Programme (UNDP). Indonesia hanya berada di peringkat 107 dari 189 negara.

Beradasarkan data yang dipublikasi oleh World Population Review, pada tahun 2021 lalu Indonesia masih berada di peringkat ke-54 dari total 78 negara yang masuk dalam pemeringkatan tingkat pendidikan dunia. Tapi setidaknya posisi tersebut naik satu peringkat dari tahun sebelumnya yakni di tahun 2020 yang ada di peringkat ke-55. Indonesia masih kalah unggul dengan berada di posisi ke-4 jika dibandingkan dengan sesama negara yang berada di kawasan Asia Tenggara seperti Singapura di peringkat 21, Malaysia di peringkat 38, dan Thailand di peringkat 46.

Bagaimana dengan output pendidikan yang dihasilkan? Generasi muda saat ini sungguh menghadapi problema besar. Sebut saja Citayam Week yang mampu menjadikan mereka bolos dari sekolah, demi konten akun youtubenya. Narkoba, merokok, dugem, tingkat aborsi tinggi, freesex dan yang terbaru perundungan. Terbiasanya generasi muda menonton game dan film kekerasan menjadikan mereka tega melakukan kekejian kepada teman atau lingkungan sekitar mereka.  

Ikhtisar Eksekutif Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020 dari Kemen-PPPA menyebut 84% siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah dan 50% anak pernah mengalami perundungan (bullying) di sekolah. Menurut KPAI, angka kasus tawuran pelajar pun meningkat, dari 12,9% menjadi 14% di tahun 2018. Sementara 27% pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Lalu pengaduan masyarakat terkait kasus perlindungan khusus anak tahun 2021 sebanyak 2.982 kasus. Dari jumlah tersebut, paling banyak atau 1.138 kasus anak yang dilaporkan sebagai korban kekerasan fisik dan atau psikis. 

Gambaran yang demikian tentu saja membuat miris orang tua. Bahkan beberapa jika tidak mau disebut banyak milenial yang tidak pernah dilarang dan diarahkan orang tua karena kesibukan bekerja. Atau orang tua justru mengindra tapi bingung mau berbuat apa dan bagaimana. Satu-satunya yang terpikirkan hanyalah mendekatkan anak mereka dengan agama meski sebelumnya banyak yang tak tersentuh agama. 

Pada zaman sekarang, banyak orang tua lebih hati-hati utamanya saat memilih sekolah untuk anak-anak mereka. Di Indonesia tentunya banyak berdiri sekolah, mulai dari sekolah negeri, sekolah swasta ada yang berbasis agama Islam dan non Islam, sekolah boarding dan pondok pesantren. Selain KBM sehari-hari ada juga lembaga yang mengajarkan tsaqofah Islam seperti tahfidz, tahsin dan ada pula yang menawarkan beberapa keunggulan mulai dari fasilitas, program unggulan, ekstrakurikuler dan masih banyak yang lainnya.

Salah satu pilihan orang tua saat ini adalah dengan memasukan anak mereka ke lembaga pendidikan yang berbasis agama. Tentu ada alasan yang menyebabkan mereka cenderung untuk memilih sekolah yang berlandaskan Islam yang utama karena menyadari anak adalah investasi akhirat dan ingin anak lebih mendapatkan tsaqofah Islam. Harapan ini menggurita di tengah kerusakan moral dan akal dari generasi. Berharap anak mereka mendapat yang lebih baik dari orang tuanya dan kembali ke jalan yang benar.


Dampak Berjalannya Sekolah-Sekolah Islam di Alam Kapitalisme

Menjamurnya sekolah dan institusi pendidikan Islami dalam negeri ini membuktikan semangat mendidik yang besar. Terkadang bahkan harus berkorban demi idealisme dengan kurang tercukupinya anggaran. Sehingga akhirnya sekolah berbasis Islam pun terjerat masalah yang ditimbulkan secara umum dalam kapitalisme. Jika dicermati, ada beberapa pokok persoalan pendidikan yang bisa dirangkum sebagai berikut:

Pertama, masalah kurikulum. Di negeri ini, gonta ganti kurikulum tampaknya sudah menjadi tradisi. Hingga beberapa kali berganti, pendidikan Indonesia tak kunjung menemui titik terang kurikulum seperti apa yang dapat memperbaiki output generasi. Guru dituntut mampu beradaptasi dengan perubahan kurikulum yang terus berganti. Sementara, hasil perubahan tersebut belum terlalu signifikan bagi perbaikan karakter generasi.

Kedua, masalah infrastruktur serta fasilitas pendidikan yang tidak merata. Ketimpangan ini menjadi masalah menahun yang juga belum tersolusikan dengan baik. Ada sekolah dengan fasilitas lengkap, ada pula sekolah yang hampir ambruk karena bangunan melapuk dan tidak layak.

Ketiga, masalah kesejahteraan. Problem ini sangat tampak bagi guru berstatus honorer. Kadangkala guru melakukan pekerjaan sambilan untuk mencukupi kebutuhan mereka. Tidak ayal, guru menjadi tidak fokus sebagai pendidik karena pikirannya terpecah dengan aktivitas nonpendidikan. Ketika guru sejahtera, ia bisa meningkatkan kompetensi diri untuk mendedikasikan ilmu pada anak didiknya tanpa harus dibayangi kehidupan ekonomi yang membelit.

Keempat, kompetensi guru. Hal ini menjadi faktor krusial mengingat guru adalah ujung tombak pendidikan ini berjalan. Merekalah yang akan menerapkan sistem pendidikan, manajemen, kurikulum, dan seluruh perangkat pendidikan yang dibutuhkan dalam membimbing dan mendidik generasi unggul.

Tapi mampukah sekolah berbasis Islam menghilangkan masalah output dalam pendidikan seperti adanya kasus perploncoan yang mengantarkan pada kematian korbannya. Berulangkali kasus seperti ini dan bullying seperti ini terjadi di kalangan pelajar yang sampai merenggut nyawa mereka. kasus bahkan juga terjadi di madrasah tsanawiyah dan pondok di mana siswa mendapatkan porsi pelajaran agama lebih banyak dibandingkan dengan sekolah umum. Pelajaran akhlak yang sudah mereka dapatkan di bangku sekolah seakan-akan tidak berbekas sama sekali. Inilah gambaran output pendidikan kita hari ini yang dibangun dengan landasan sekuler kapitalistik.

Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan perilaku seseorang. Sistem sekuler membolehkan agama mengatur tapi hanya dalam urusan privat, sedangkan dalam ruang publik peran agama itu sangat dibatasi. Inilah yang menjadi penyebab generasi saat ini mengalami krisis moral karena kehidupan sekuler memberikan kebebasan berperilaku pada setiap individu. Kebebasan itu yang membentuk mereka menjadi manusia yang bebas dalam arti jauh dari norma dan nilai-nilai agama, sehingga naluri mereka tidak terarah dan tidak terdidik dengan norma-norma agama.

Perbaikannya tentu harus diawali dengan mengubah paradigma pendidikan sekuler menjadi pendidikan Islam dengan memberlakukan sistem pendidikan Islam. Selain itu, juga perlu meningkatkan kemampuan mendidik kepada para keluarga, menata media agar berkontribusi untuk peningkatan potensi pelajar. Bukan sebaliknya justru merusak akal dan perilaku remaja seperti yang terjadi saat ini. Sebagaimana pihak pondok Gontor dan institusi yang lain terkadang menggunakan cara tidak dibolehkan agama seperti kekerasan fisik dan menutup-nutupi kejadian yang sesungguhnya sesungguhnya bukan hal yang ahsan. Tapi karena perkara sudah menyebar dan ini berkaitan reputasi jadi tindakannya seperti defensif apologetik semata. Sistem Kapitalisme memang tegak dengan ide dan metode yang juga harus dipilih dan dipilah dengan jeli.

Pengalihan dan pembiasaan aktivitas yang bermanfaat bagi milenial bisa mengarahkannya untuk beraktivitas yang benar. Maka untuk menyalurkan potensi penyarian jati diri dan idealisme maka mereka harus disibukkan dengan ketaatan baik dengan membaca, atau mendengar, atau menghafal Al-Qur'an dan hadis atau kitab-kitab tsaqofah lainnya. Yang demikian agar para pelajar tidak terperosok dalam kesia-siaan. Mereka juga bisa menyibukkan diri dengan melakukan perjalanan mencari ilmu. Intinya mereka harus benar-benar menyibukkan diri dalam ketaatan. Dengan menyibukkan diri dalam ketaatan, maka waktu, umur, ilmu, harta dan apa pun yang mereka miliki tentu akan menjadi berkah.


Strategi Pendidikan Islam yang Mencerdaskan dan Memanusiakan Manusia dalam Sistem yang Hakiki

Dalam Islam, perploncoan dikategorikan sebagai perilaku yang dilarang dan diharamkan yang dalilnya bersumber dari Al-Qur'an surat Al-Hujurat ayat 11:

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}
 
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."

Islam memerintahkan sesama muslim untuk saling mengasihi, saling mencintai dan menjaga persatuan sebagaimana hadis juga menjelaskannya seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyokong satu sama lain itu bagaikan satu tubuh. jika satu tubuh sakit maka seluruh bagian tubuh yang lainnya akan merasakan sakit."

Nilai-nilai Islam ini akan diinternalisasikan kepada para pelajar di dalam sistem pendidikan Islam dengan metode pengajaran yang mampu memberikan pengaruh, bukan sebatas teori semata. sistem pendidikan sekuler yang diterapkan di negeri ini terbukti telah gagal melahirkan pelajar yang sholeh yang bertakwa dan sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan zaman. Jika kita membiarkan berlangsungnya sistem pendidikan sekuler, simpulnya, berarti kita membiarkan rusaknya generasi Islam menjadi generasi sekuler, pelaku kebebasan dan penentang syariat Islam.

Islam mewajibkan pemeluknya untuk belajar. Ada pahala yang besar di sisi Allah SWT. Karena itu pendidikan memiliki posisi yang penting dalam masyarakat Islam. Pendidikan memastikan pemikiran (tsaqofah) Islam tetap terjaga di tengah kaum Muslim dari generasi ke generasi. Tsaqafah ini merupakan kekayaan yang menjadi sumber peradaban Islam.

Pendidikan dapat dimaknai sebagai proses manusia menuju kesempurnaan yang diridhai oleh Allah SWT. Sosok Rasulullah Muhammad SAW menjadi panutan (role model) peserta didik yang mesti menjalankan fungsi sebagai abdullah sekaligus al-khalifah fil ‘ardh. Keberadaan role model ini menjadi ciri pembeda pendidikan Islam dengan yang lain. Karena itu akidah Islam menjadi dasar pemikiran (fikrah) pendidikan Islam dan metodologi penerapannya (thariqah).

Tujuan dari pendidikan Islam adalah untuk membangun kepribadian Islam serta penguasaan ilmu kehidupan seperti matematika, sains, teknologi dan rekayasa bagi peserta didik. Hasil belajar (output) pendidikan Islam akan menghasilkan pesarta didik yang kokoh keimanannya dan mendalam pemikiran Islamnya (tafaqquh fiddin). Pengaruhnya (outcome) adalah keterikatan peserta didik terhadap hukum Allah SWT (bertakwa). Dampaknya (impact) adalah tegaknya amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat, tersebarnya dakwah dan jihad ke penjuru dunia.

Pemikiran (fikrah) pendidikan Islam ini tidak bisa dilepaskan dari metodologi penerapannya (thariqah), yaitu negara khilafah. Pendidikan Islam merupakan sebuah sistem dari sebuah supra-sistem Islam dalam negara khilafah. Khalifah sebagai pemimpin negara khilafah wajib menetapkan kebijakan untuk menerapkan sistem pendidikan Islam dan menjamin pelaksanaannya. Rasulullah SAW bersabda:

Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Negara menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam formalisasi pendidikan Islam seperti kebijakan terkait tujuan, strategi, kurikulum dan perbukuan; metode kegiatan belajar mengajar, ijazah dan sertifikasi; penetapan usia sekolah, jenjang pendidikan, kalender pendidikan, standardisasi pendidik dan tenaga kependidikan; sarana dan prasarana; akreditasi lembaga; penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; kerjasama internasional; serta pembiayaan. Kebijakan ini ditetapkan agar warga negara baik kaum Muslim atau kafir dzimmiy dapat mengakses pendidikan secara mudah, murah bahkan gratis, terjangkau, serta berpengaruh.

Sistem pendidikan negara khilafah disusun dari sekumpulan hukum syariah dan berbagai aturan administratif yang berkaitan dengan pendidikan formal. Tujuan umum dari sistem pendidikan ini adalah: pertama, membangun kepribadian Islam warga negara; kedua, memastikan ketersediaan ulama/mujtahid dan para ahli dalam berbagai disiplin pengetahuan yang menempatkan Negara Khilafah sebagai pemimpin dunia.

Untuk mewujudkan tujuan ini disusun kurikulum pendidikan formal yang berlandaskan akidah Islam. Kurikulum yang berlaku hanya satu, yaitu kurikulum yang ditetapkan oleh negara. Keberadaan sekolah dan perguruan tinggi swasta tidak dilarang selama mengikuti kebijakan negara. Kurikulum diterapkan dengan memperhatikan tumbuh kembang peserta didik. Peserta didik yang sudah balig belajar secara terpisah dengan peserta didik yang belum balig. Peserta didik laki-laki belajar secara terpisah dengan peserta didik perempuan. Kurikulum ini berlaku tanpa membedakan agama, mazhab, kelompok ataupun ras.

Negara berkewajiban untuk menyediakan pendidik dan tenaga kependidikan yang berkualitas: amanah, kompeten dan etos kerja yang baik serta mampu menjadi teladan bagi peserta didik. Negara wajib memberikan pendidikan berkelanjutan bagi peningkatan kualitas pendidik serta tunjangan dan jaminan kesejahteraan. Negara juga berkewajiban membangun sarana dan prasarana belajar seperti gedung sekolah, kampus, perpustakaan, laboratorium, asrama, ruang seminar, pusat kajian dan penelitian, pusat informasi dan publikasi, percetakan, berbagai buku, jurnal, majalah, surat kabar, radio, televisi, dll. Hal ini wajib untuk meniscayakan lahirnya ulama mujtahid dan para ahli yang menghasilkan karya inovasi baik temuan (discovery) maupun ciptaan (invention).

Karya-karya yang dihasilkan merupakan produk intelektual yang berhak dimanfaatkan oleh setiap warga negara. Pemikir, ilmuwan, atau penemu tidak lagi berhak atas produk intelektualnya setelah memberikan temuannya kepada orang lain dengan sebab mengajarkan, menjual melalui berbagai media, atau sebab-sebab lainnya yang tidak menyalahi syariah. Syariah meniadakan syarat-syarat hak cetak, menyalin, atau proteksi atas suatu produk intelektual selama tidak terdapat unsur penipuan/kebohongan. Hal ini akan menciptakan iklim yang baik untuk belajar dan berkarya.

Negara memperbolehkan warga negara untuk menerbitkan buku, surat kabar, majalah, jurnal, serta mengudarakan radio dan televisi. Adapun bagi warga negara asing, negara melarangnya kecuali buku/jurnal ilmiah. Ini selama tidak bertentangan dengan Islam.

Negara mengijinkan pelaksanaan pendidikan secara informal dan non-formal oleh lembaga keluarga dan masyarakat yang dilakukan di rumah, masjid, partai politik, media massa, dll. Negara tetap bertanggung jawab atas pendidikan informal dan non-formal ini agar berbagai pemikiran dan pengetahuan tetap berlandaskan akidah Islam.

Pada masa khilafah, pendidikan Islam mengalami kecemerlangan yang ditandai dengan tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan Islam, majelis ilmu pengetahuan, serta lahirnya ulama dan ilmuwan yang pakar dalam berbagai disiplin pengetahuan. Cendekiawan Barat, Montgomery Watt, menyatakan, “Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.” Pendidikan Islam menjadi mercusuar peradaban dan rujukan dunia.

Beberapa lembaga pendidikan Islam kala itu antara lain, Nizhamiyah (1067 -1401 M) di Baghdad, Al-Azhar (975 M-sekarang) di Mesir, Al-Qarawiyyin (859 M-sekarang) di Fez, Maroko dan Sankore (989 M-sekarang) di Timbuktu, Mali, Afrika. Lembaga pendidikan Islam ini pun menerima para siswa dari Barat. Paus Sylvester II, sempat menimba ilmu di Universitas Al-Qarawiyyin.

Literasi warga negara Khilafah saat itu lebih tinggi daripada Eropa. Perpustakaan Umum Cordova (Andaluisa) memiliki lebih dari 400 ribu buku. Ini termasuk jumlah yang luar biasa untuk ukuran zaman itu. Perpustakaan Al-Hakim (Andalusia) memiliki 40 ruangan yang di setiap ruangannya berisi lebih dari 18 ribu judul buku. Perpustakaan Darul Hikmah (Mesir) mengoleksi sekitar 2 juta judul buku. Perpustakaan Umum Tripoli (Syam) mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku. Perpustakaan semacam itu tersebar luas di berbagai wilayah negara Khilafah.

Pada masa Khilafah terlahir banyak ulama di bidang tsaqafah Islam bagai bunga di musim semi. Filosofi Islam, mazjul maddah birruh, yang mengintegrasikan belajar dan kesadaran akan perintah Allah SWT menjadikan tsaqafah Islam sebagai inspirasi, motivasi, dan orientasi pengembangan matematika, sains, teknologi, dan rekayasa hingga melahirkan banyak ilmuwan dan teknolog founding father disiplin ilmu pengetahuan modern. Tsaqafah Islam dan ilmu pengetahuan yang kita pelajari juga produk-produk industri yang kita nikmati saat ini tidak lain adalah sumbangan para ulama dan ilmuwan Muslim.

Di bidang kedokteran Ibnu Sina, Ibn Rusyd, dan Az-Zahrawi. Al-Khawarizmi, pakar matematika, penggagas angka nol dan algoritma, peletak dasar komputasi. Al-Idris (Dreses) pakar geografi, inventor globe, penggagas teknik pemetaan. Az-Zarkalli, pakar astronomi, inventor astrolobe pengukur jarak bintang-horison, penyumbang prinsip navigasi. Ibnu Al-Haitsam, pakar fisika penggagas optika. Al-Kindi, seorang filososf yang juga pakar fisika, mewariskan dasar meteorologi, anemologi, klimatologi, oseanografi, dan fisika musik. Jabir Ibn Hayyan, pakar kimia, penggagas karakterisasi unsur logam dan non-logam. Muhammad, Ahmad dan Hasan (tiga bersaudara), pakar mekanika, penyumbang teknik irigasi. Buku karya mereka diterjemahkan ke banyak bahasa bahkan menjadi rujukan hingga saat ini. Selain mereka, masih banyak lagi ulama dan ilmuwan dengan kepakarannya.

Peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, ulama, serta inventor telah memberikan kemaslahatan yang besar bagi umat. Negara memberikan jaminan kesejahteraan juga penghargaan yang besar baik berupa beasiswa, tunjangan, bahkan hadiah kepada mereka kala itu.


Kesimpulan

Potret pendidikan dalam Kapitalisme berbanding dengan harapan orang tua untuk anak-anaknya sangatlah kontras. Tujuan pendidikan nasional sendiri masih cacat dan belum paripurna dilakukan. Bahkan secara internasional posisi negeri ini dinilai sangat terbelakang dan mundur.

Dampak pendidikan Islam di alam Kapitalisme pun juga tidak bisa diartikan sebagai kesempurnaan hasil. Nilai dan norma Islam banyak yang bertentangan. Bahkan ketika diambil justru menghasilkan kerusakan dan kemunduran. Islam tidak bisa dipaksa bekerjasama dengan kapitalisme

Satu-satunya cara pendidikan Islam berfungsi dan menuai keberhasilan hanyalah dengan strategi Islam yang digali dari metode dan ide Islam. Hingga menjadikannya mampu menelurkan generasi terdepan dan maju. []

#Lamrad
#LiveOppressedorRiseUpAgaints


Oleh: Retno Asri Titisari
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar