Mewujudkan Iyyaka na’budu Wa iyyaka nasta'in


TintaSiyasi.com -- Sobat. Seorang hamba tidak bisa mewujudkan iyyaka na’budu kecuali dengan dua dasar: Mengikuti Rasulullah SAW dan Ikhlas terhadap Allah yang disembah. Ibadah didahulukan daripada istiánah di dalam Al-fatihah merupakan gambaran didahulukannya tujuan daripada sarana. Ibadah merupakan tujuan penciptaan manusia dan merupakan hak Allah yang diwajibkan kepada hamba, sedangkan istiánah merupakan bagian dari ibadah dan tidak bisa dibalik. Dan merupakan permohonan pertolongan untuk dapat melaksanakan ibadah.

Sobat. Ibadah merupakan gambaran syukur terhadap nikmat yang dilimpahkan kepadamu, dan Allah suka untuk disyukuri. Pemberian pertolongan merupakan taufik Allah yang diberikan kepadamu.Jika engkau komitmen dalam beribadah kepada-Nya dan ibadahmulebih sempurna maka pertolongan Allah yang diberikan kepadamu juga lebih besar.

Sobat. Orang-orang yang ikhlas karena Allah dan mengikuti Rasulullah SAW. Merekalah yang benar-benar menghayati iyyaka na’budu. Semua perkataan dan perbuatan mereka karena Allah, memberi karena Allah, menahan karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah. Muámalah mereka secara lahir dan bathin karena mengharap wajah Allah semata, tidak dimaksudkan mencari imbalan, pujian, pengaruh, kedudukan, simpati di hati manusia atau pun menghindari celaan manusia.

Sobat. Syekh Al-Fadhl bin Iyadh pernah berkata, “Amal yang baik ialah yang paling ikhlas dan yang paling benar.” Orang-orang bertanya, “Wahai Abu Ali apa yang dimaksudkan paling ikhlas dan paling benar itu?" Dia menjawab, “Jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak dierima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas, maka ia tidak diterima pula, hingga ia ikhlas dan benar." Ikhlas itu artinya karena Allah. Benar itu artinya berdasarkan As-Sunnah. Inilah yang dimaksudkan dalam firman Allah SWT :

قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۖ فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا  

Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya" (QS. Al-Kahfi (18) : 110).

Sobat. Penjelasan tafsir ayat ini, Katakanlah kepada mereka, "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, mengakui bahwa semua ilmuku tidak sebanding dengan ilmu Allah, aku mengetahui sekedar apa yang diwahyukan Allah kepadaku, dan tidak tahu yang lainnya kecuali apa yang Allah ajarkan kepadaku. Allah telah mewahyukan kepadaku bahwa, "Yang disembah olehku dan oleh kamu hanyalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya." Oleh karena itu barangsiapa yang mengharapkan pahala dari Allah pada hari perjumpaan dengan-Nya, maka hendaklah ia tulus ikhlas dalam ibadahnya, mengesakan Allah dalam rububiyah dan uluhiyah-Nya dan tidak syirik baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi seperti riya, karena berbuat sesuatu dengan motif ingin dipuji orang itu termasuk syirik yang tersembunyi. Setelah membersihkan iman dari kemusyrikan itu hendaklah selalu mengerjakan amal saleh yang dikerjakannya semata-mata untuk mencapai keridaan-Nya.

Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya Allah berfirman, "Saya adalah yang paling kaya di antara semua yang berserikat dari sekutunya. Dan siapa yang membuat suatu amalan dengan mempersekutukan Aku dengan yang lain, maka Aku tinggalkan dia bersama sekutunya" (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah).

Sobat. Orang yang tidak ikhlas dan tidak mengikuti As-Sunnah. Amalnya tidak sejalan dengan syariat dan tidak pula ikhlas terhadap Allah yang disembah, seperti perbuatan orang-orang yang ingin pamer di hadapan manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling buruk dan dibenci Allah SWT. Mereka inilah yang digambarkan dalam firman Allah SWT :

لَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَفۡرَحُونَ بِمَآ أَتَواْ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحۡمَدُواْ بِمَا لَمۡ يَفۡعَلُواْ فَلَا تَحۡسَبَنَّهُم بِمَفَازَةٖ مِّنَ ٱلۡعَذَابِۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ  

Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih” (QS. Ali Imran (3) :188).

Sobat. Sifat orang-orang Yahudi dan Nasrani yang oleh orang mukmin wajib dihindari, yaitu mereka selalu bergembira atas penyelewengan dan pengkhianatan yang dilakukannya. Mereka merasa bangga karena menganggap dirinya adalah tokoh-tokoh masyarakat dan pemimpin-pemimpin yang ditaati. Mereka senang dipuji-puji bahwa mereka mengetahui secara mendalam semua isi Kitab, dan ahli dalam menafsirkannya, padahal mereka itu bukanlah ahlinya. Mereka berbuat demikian untuk mengalihkan perhatian orang-orang banyak dari kebenaran kepada apa yang dikehendaki pembesar-pembesar mereka dan orang awam walaupun salah. 

Sobat. Janganlah kaum Muslim menyangka bahwa Ahli Kitab yang perbuatannya jelek dan mengelabui itu akan terlepas dari siksaan, bahkan mereka merasakan azab yang pedih. Kaum Mukmin tidak perlu merasa sedih dan cemas atas penyelewengan mereka, tetapi hendaklah tetap menjelaskan yang hak dan jangan sekali-kali menyembunyikannya sedikit pun. Allah akan memenuhi apa yang menjadi keinginan kaum Muslimin dan melenyapkan hal-hal yang mungkar yang telah dilarang itu.

Sobat. Ikhlas dalam amalnya namun tidak mengikuti perintah dan As-Sunnah. Seperti yang dilakukan para ahli ibadah yang bodoh, mereka yang cenderung kepada zuhud dan hidup miskin, orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak sesuai dengan perintah-Nya.

Sobat. Amalnya sesuai dengan perintah dan As-Sunnah , tetapi untuk tujuan selain Allah. Seperti orang berjihad karena riya’ dan memamerkan patriotism, menunaikan umrah dan haji karena agar dia dipuji, atau membaca Al-Qur'an agar disanjung, Amal mereka secara dzahir sesuai dengan perintah, tetapi tidak saleh.

Sobat. Tujuan Ibadah itu tidak lain meraih ridha Allah SWT semata yakni ahli ibadah yang tak mengenal batas amal apa yang harus diutamakan, di mana dan kapan pun dia berada semuanya ibadah dalam kerangka meraih ridha Allah SWT. Jika engkau melihat para ulama, maka dia tampak bersama mereka. Jika engkau melihat para ahli ibadah, dia tampak bersama mereka, Jika engkau melihat para mujahidin, dia tampak terlihat bersama mereka. Jika engkau melihat orang-orang yang mengeluarkan sadaqah, dia tampak bersama mereka. Jika engkau melihat orang-orang berdakwah dan beramar ma’ruf dan nahi munkar, dia tampak bersama mereka. Inilah hamba-hamba Allah yang mewujudkan makna iyyaka na’budu wa iyyaka nastaín secara konsekuen.

Sobat. Artikel ini saya tutup dengan doanya Muádz bin Jabal yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, "Ya Allah, tolonglah aku untuk menyebut nama-Mu, bersyukur dan beribadah secara baik kepada-Mu.” []


Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.  
Penulis Buku Gizi Spiritual, Dosen Pascasarjan IAI Tribakti Lirboyo, Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur

Posting Komentar

0 Komentar