Marak Kekerasan di Pesantren: Inikah Potret Kegagalan Sistem Pendidikan di Indonesia?


TintaSiyasi.com -- Ironis, deradikalisasi yang sering didengungkan oleh pemerintah ternyata tidak mampu mencegah terjadinya tindak kekerasan di dunia pendidikan. Justru kekerasan yang berujung kematian sering menerpa dunia pendidikan. Inilah akibat dari miskonsepsi radikalisme yang terjadi di dunia pendidikan. Bukannya mencegah dan menanggulangi tindakan kekerasan, justru deradikalisasi malah menyasar ajaran Islam. Ajaran Islam disasar, disisir, dan direduksi agar tidak menaungi dunia pendidikan. Walhasil, terciptalah generasi yang kasar, keras, jauh dari Islam, dan membahayakan dunia pendidikan.

Memilukan, pendidikan kembali menelan pil pahit akibat duka tewasnya salah satu santri di Gontor. Dirilis dari detik.com (13/9/2022), santri Ponpes Gontor berinisial AM (17) dianiaya hingga tewas oleh dua seniornya. Ternyata, motif penganiayaan ini karena hal sepele. Polisi menyebut, penganiayaan terjadi karena korban menghilangkan pasak tenda, salah satu alat perkemahan.

Sementara itu, Kapolres Ponorogo AKBP Catur Cahyono menyebut motif penganiayaan ini berawal saat korban menjadi panitia Perkemahan Kamis Jumat (Perkajum). Korban dituntut untuk tanggung jawab soal adanya inventaris yang rusak hingga hilang. Kedua senior ini tak terima dan memberi 'hukuman' korban dengan cara keji.

Sungguh tragis, 'hukuman' yang berakhir kematian ini sepertinya sudah sering terjadi dalam pendidikan hari ini. Dilansir dari detik.com (13/9/2022), seorang santri diduga menjadi korban kekerasan di dalam pesantren di Garut. Akibatnya, santri tersebut dikabarkan mengalami pecah gendang telinga dan sudah melaporkan kasusnya ke polisi. Hal itu terjadi lantaran korban diduga mencuri sejumlah barang-barang milik temannya. Tetapi, korban tidak mau mengakui, padahal barang tersebut ada di tangan korban. Soal penganiayaan tersebut sudah diselesaikan secara kekeluargaan antara korban dan tersangka.

Kekerasan tidak hanya terjadi di pondok, di sekolah-sekolah kedinasan juga sering ditemui hingga korban meninggal. Sebagaimana yang viral setahun lalu, taruna pelayaran tewas dianiaya senior. Himbauan penghentian kekerasan di lingkungan pendidikan sudah disampaikan oleh Mendagri Tito Karnivian, tetapi potensi kekerasan itu tetap bisa terjadi. Sejatinya, mengapa kekerasan di lingkungan pendidikan marak terjadi? Sekalipun masuk ke ranah hukum, itu tidak mampu membuat jera, kekerasan kerap terjadi di dunia pendidikan. Ada apa sebenarnya?

Menelisik Penyebab Kekerasan Marak Terjadi di Dunia Pendidikan

Kekerasan di dunia pendidikan hari ini seolah-olah menjadi budaya. Tentunya ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, tetapi ini terjadi karena kondisi yang telah turun-temurun diwariskan di generasi sebelumnya. Ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan. Pertama, senioritas yang menjadi seniorisme. Kekerasan di dunia pendidikan terjadi karena senioritas.

Budaya senioritas yang menjadi seniorisme, yakni, senior selalu benar, jika senior salah kembali ke pasal satu, ini telah menjadi budaya di dunia pendidikan. Jadi, senior sudah menjadi biasa mengerjai, melakukan perploncoan pada juniornya. Bahkan, perploncoan yang terjadi tidak hanya sekadar canda, tetapi sudah mengarah pada kekerasan dan mempermalukan korban. Hal ini seolah menjadi hal biasa dan diamini di berbagai jenjang lembaga pendidikan.

Kedua, dendam. Para senior yang dulu dikerasi dan diplonco oleh kakak kelasnya seolah memelihara dendam itu. Alhasil, mereka lampiaskan pada junior yang baru masuk ke sekolah. Dendam ini terpelihara dan terkadang dibalas lebih kejam daripada yang ia dapatkan dulu. Contoh: Dulu saya diperlakukan begini, lalu mereka pun mencoba melakukan hal yang sama pada juniornya. Bahkan, lebih dari itu. Sedihnya, teman-teman yang ada di sekitar juga kurang tahu dan tidak menegur. Jadi, masalah sepele bisa jadi masalah besar yang berujung kematian.

Ketiga, kurang pengawasan dan guru cenderung abai. Seharusnya ketika penyambutan siswa baru, santri baru, atau peserta didik baru guru harus memberikan edukasi pada para senior agar tidak melakukan tindakan kekerasan yang melampaui batas. Tetapi, karena kurang pengawasan dan kontrol dari guru, hal ini kerap terjadi. Guru sering kecolongan terhadap kasus-kasus kekerasan dan perploncoan yang menimpa junior. Tiba-tiba, jatuh korban, guru baru tahu. Apalagi di pondok pesantren atau sekolah kedinasan, yakni guru terkadang tidak 24 jam membersamai santri atau peserta didik.

Keempat, lemahnya akidah dan pemahaman Islam. Dalam Islam itu haram menyakiti saudara sesama Muslim maupun non-Muslim. Tidak boleh ada budaya senioritas dan dendam yang turun-temurun sebagaimana terjadi di dunia pendidikan saat ini. Islam mengajarkan untuk rendah hati dan tidak sombong. Hormat dan menghargai kepada yang lebih tua, sayang dan mencintai terhadap yang lebih muda. Walhasil tidak akan ada budaya yang memelihara dendam, dengki, dan hasad yang diwariskan jika memiliki pemahaman Islam yang benar.

Kelima, penerapan kapitalisme sekuler telah menyebabkan kerusakan secara fundamental. Secara dasar rusak, walhasil melahirkan banyak kebijakan yang lemah dan generasi-generasi yang lemah. Hukum pun yang narasinya indah, tetap tidak bisa menegakkan keadilan di negeri ini. Akibatnya tindak kekerasan subur dan terpelihara. Hidup was-was dan jauh dari rasa aman, karena sistem sekuler telah menciptakan manusia bejat yang merusak.

Nyatanya, haram melukai saudara sesama Muslim. Hukumannya jelas, yakni qisas. Yang memukul tanpa hak, akan dipukul. Yang membunuh tanpa hak, akan dibunuh pula. Dalam Islam nyawa sangat dihargai, yang berani menghilangkan nyawa manusia harus membayar dengan nyawanya atau dengan diyat dari anggota keluarganya jika mereka ridha, nyawa saudaranya dibalas diyat bukan dengan nyawa tersangka.

Inilah pemeliharaan jiwa dan akal yang nyata oleh syariat Islam. Bukan seperti kapitalisme sekuler hari ini yang tidak menghargai nyawa manusia. Bahkan, dengan bebasnya mereka melakukan pembunuhan secara sadis pada manusia, tetapi tidak ada hukum yang membuat manusia-manusia tersebut itu jera. 

Dampak Kekerasan terhadap Perkembangan Dunia Pendidikan

Pendidikan adalah ujung tombaknya sebuah negara. Karena dari pendidikan yang diselenggarakan negara akan tercipta generasi-generasi penerus estafet kepemimpinan peradaban. Tetapi, pendidikan hari ini tercoreng oleh produk pendidikan yang rusak dan jauh dari adab. Mungkin secara tertulis memiliki segudang prestasi, tetap pendidikan hari ini kesusahan untuk mencetak generasi beradab dambaan umat. Jika kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan ini dibiarkan, sejatinya ada beberapa catatan kritis berikut.

Pertama, lahir budaya premanisme. Kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan ini sangat berakibat fatal. Karena berpotensi lahir generasi-generasi rusak yang memiliki budaya premanisme. Sadar atau tidak budaya senioritas yang berdampak seniorisme ini adalah cikal bakal premanisme. Di banyak tempat budaya premanisme itu subur, aparat kepolisian seolah dibuat kewalahan dengan tingkah premanisme tersebut. Karena diberantas satu, tumbuh lagi yang lain. Dari klithih, begal, mutilasi, perampok, dan sebagainya.

Kedua, rusaknya mental dan fisik korban kekerasan, bahkan ada yang berujung kematian. Sadar atau tidak, tindakan kekerasan yang telah menjadi budaya ini bisa merusak mental korban, berpotensi membuat cacat fisik korban, dan yang paling fatal adalah kematian. Betapa bahaya sekali jika kekerasan ini dibiarkan lestari. Dan seolah hukum di negeri ini mandul terhadap tindakan kekerasan yang beraneka ragam bentuknya. Dari kekerasan fisik, verbal, seksual, dan sebagainya telah menjadi hal yang lumrah di negeri ini dan tidak ada tindakan yang jera untuk menghukum pelaku. Bahkan, ada yang membela pelaku dengan dalil hak asasi manusia (HAM).

Ketiga, suburnya aneka ragam kejahatan. Kejahatan di negeri ini terjadi tidak hanya karena lemahnya penegakan hukum, namun kegagalan pendidikan mencetak generasi unggul telah membuat rentetan kejahatan yang beraneka ragam. Keempat, generasi rusak tidak berkarakter Islami dan jauh dari kebaikan. Kekerasan yang jauh dari kelembutan ini telah menciptakan generasi muda yang rusak dan tidak bisa diharapkan. Apalagi mereka jauh dari Islam dan suka menuruti nafsunya. Tidak bisa mengendalikan ghariza baqa, sehingga apa yang ia lakukan didikte oleh hawa nafsunya. Yakni, menjadi nomor satu (senioritas) dengan merendahkan yang lainnya dan menghalalkan segala cara.

Kelima, merusak tatanan sosial dan kehidupan. Tindak kekerasan yang tidak dihukum secara jera akan merusak tatanan sosial dan kehidupan. Kehidupan yang keras dan jauh dari ketentraman akan meneror masyarakat. Apalagi hukum yang diterapkan di negeri ini tidak mampu membuat jera pelaku kekerasan. Pelaku kekerasan yang seharusnya mendapatkan hukum had, dia hanya dikurung dan bisa bebas kembali. Padahal, setelah dia bebas tidak ada yang menjamin kalau dia sudah berubah. Bisa jadi dia malah lebih parah lagi. Sebagaimana pelaku residivis, ketika berbuat jahat malah lebih berpengalaman dan lihai. Astaghfirullah na'uzubillah.

Sejatinya inilah akibat dari penerapan kapitalisme sekuler, dampak buruk adalah kerusakan yang masif, sistematis, dan terstruktur. Tidak akan mungkin masalah ini hanya dengan solusi tambal sulam yang sudah-sudah terjadi. Caranya ya dengan mencari akar masalahnya, dan mengganti akar masalahnya dengan sistem Islam secara totalitas. Karena kerusakan mendasar akibat kapitalisme sekuler telah melahirkan berbagai kerusakan cabang. Oleh karena itu, perlu upaya yang mengakar untuk menyelamatkan generasi dan negara secara totalitas dan sistematis. Tidak lain dan tidak bukan yaitu dengan penerapan sistem Islam kaffah.
 

Strategi Islam dalam Menciptakan Peserta Didik yang Unggul dan Kuat secara Fisik dan Mental

Ajaran Islam itu ajaran yang sesuai fitrah manusia, memuaskan akal, dan menentramkan hati. Maka, jika umat manusia mau taat dan ridha diatur dengan peraturan Islam sejatinya ketentraman akan tercipta dan keadilan akan terwujud secara sempurna. Sehingga, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup itu bisa diwujudkan. Dalam mendidik generasi Islam telah memiliki formulanya. Tentu formula ini bisa diwujudkan tidak hanya dalam satu aspek individu, tetapi secara fundamental dan totalitas yang dilakukan oleh negara.

Dalam mencegah terjadinya tindak kekerasan ada beberapa catatan yang bisa dilakukan untuk dijadikan solusi. Pertama, negara memiliki tujuan pendidikan islami, yakni tujuan pendidikan untuk mencetak generasi unggul dan islami. Orientasi pendidikan tidak boleh sekadar materi, tetapi bagaimana mencetak bibit unggul yang berkarakter Islami. Oleh sebab itu, negara harus menggunakan berbagai perangkat untuk mewujudkan itu semua.

Kedua, pendidikan dalam keluarga yang islami. Selain anak didik keluar mendapatkan pendidikan dari negara. Di rumah pun, mereka mendapatkan porsi pendidikan Islami yang terukur. Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama antara negara dan orang tua untuk saling mendorong terciptanya generasi unggul dan islami.

Ketiga, menciptakan masyarakat yang kondusif untuk mendukung pendidikan yang dilaksanakan negara dan keluarga. Masyarakat yang kondusif ini adalah masyarakat yang taat para hukum Islam yang ditegakkan oleh negara.

Selain ketiga fungsi negara, keluarga, dan masyarakat yang harus dijalankan, negara harus berupaya menyukseskan pendidikan dengan menerapkan aturan Islam secara komprehensif. Tidak mungkin sistem pendidikan Islam bisa berdiri sendiri tanpa disokong sistem-sistem lainnya. Perlu sistem ekonomi Islam untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan profesional. Selain itu, sanksi dan hukum harus diterapkan berdasarkan standar Islam, bukan hawa nafsu manusia.

Pelaku-pelaku tindak kekerasan harus diadili secara islami dengan ditegakkan hukum had. Dengan begitu tidak akan ada yang meremehkan nyawa manusia dan menyamakan dengan benda mati yang bisa disakiti dan disiksa seenaknya sendiri. Hanyalah hukum Islam yang mampu memanusiakan manusia. Tidak ada hukum lain yang bisa menjaga akal, nyawa, dan jiwa seteguh penjagaan hukum Islam.

Pemerintah harus muhasabah diri, jangan menuruti ego dan kesombongan diri terus menerus mengabaikan syariat Islam. Sudah saatnya negeri ini berbenah kembali menerapkan sistem Islam secara totalitas. Karena jika masih berkubang pada kapitalisme sekuler, negeri ini dikhawatirkan ambruk dan sistem tersebut justru yang memproduksi generasi rusak dan merusak tatanan kehidupan. Oleh karena itu, tidak ada tawaran solusi yang tepat kecuali menawarkan kembali untuk menerapkan sistem Islam secara totalitas dalam naungan khilafah Islam. Itulah sistem yang telah diwariskan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam dan diteruskan oleh para Khulafaur Rasyidin, sungguh tak elok jika sistem yang agung ini ditolak oleh umat hari ini.[]

Oleh: Ika Mawarningtyas (Dosen Online Uniol 4.0 Diponorogo dan Direktur Mutiara Umat Institute)

MATERI KULIAH ONLINE UNIOL 4.0 DIPONOROGO
Rabu, 14 September 2022 Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.

#Lamrad
#LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar