Korupsi Kepala Daerah Marak Akibat Sistem Rusak (Perspektif Hukum, Moral, dan Agama)

TintaSiyasi.com -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe, Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak, dan Bupati Mimika Eltinus Omaleng, sebagai tersangka pada 14 September 2022. Mencuatnya fakta korupsi kepala daerah bukanlah hal baru. Situs kpk.go.id mewartakan, sejak 2004 hingga 3 Januari 2022, terdapat  22 Gubernur dan 148 bupati/wali kota ditindak oleh KPK. Adapun ICW mencatat, sepanjang 2010Juni 2018 tak kurang 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum (antikorupsi.org, 7/2/2022).  

Praktik rasuah ibarat fenomena gunung es. Dibutuhkan pendekatan hukum tersendiri untuk memahami akar permasalahannya. Terkait upaya memahami hukum dan cara berhukum di Asia dan Afrika, tidak bisa lagi didekati dengan tiga pendekatan klasik seperti pendekatan filosofis, normatif, dan socio-legal. Wener Menski menawarkan pendekatan keempat yang disebut dengan legal pluralism approach, yang mengandalkan pertautan antara state (positive law), aspek kemasyarakatan (socio-legal approach), dan natural law (moral/ethic/religion).  

Cara berhukum yang hanya mengandalkan positive law dengan rule and logic serta rule bound-nya hanya akan bermuara pada kebuntuan dalam pencarian keadilan substantif. Non enforcement of law dalam pencarian keadilan substantif yang sempurna (perpect justice) hanya akan lahir melalui pendekatan legal pluralisme. 

Berdasarkan paparan di atas, maka kajian korupsi kepala daerah ini sangat menarik untuk dibahas karena perspektifnya bukan hanya ditinjau dari sisi  hukum, juga dari aspek moral dan agama sebagaimana pendekatan legal pluralisme yang telah dijelaskan di muka. Hal ini disebabkan kajian yang aktual dan kontemporer masih perlu  didiskusikan secara mendalam. Sehingga mendorong penulis untuk mengungkap mengenai “Pemberantasan Korupsi pada Pemerintah Daerah dalam Perspektif Hukum, Moral, dan Agama." 

Penyebab Maraknya Korupsi Kepala Daerah

Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999, korupsi adalah tindakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Ada beberapa faktor penyebab kepala daerah melakukan korupsi antara lain:

1. Biaya politik tinggi

Telah menjadi rahasia umum bahwa maraknya korupsi kepala daerah karena tingginya biaya politik. ICW mencatat (2018), mahalnya biaya politik setidaknya disebabkan dua hal yakni, politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying). Menurut kajian Litbang Kemendagri tahun 2015, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20–100 miliar. Sementara, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode.

2. Dinasti politik

Rawan korupsi sering disorot dari politik dinasti. Sepanjang tahun 2016 misalnya, enam dari sebelas kepala daerah pelaku korupsi diketahui terkait dinasti politik di daerahnya. Fenomena ini mengkonfirmasi politik dinasti turut melanggengkan korupsi.

3. Monopoli kekuasaan

Kepala daerah memiliki kekuasaan besar dalam pengelolaan APBD, perekrutan pejabat daerah, pemberian ijin sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa, pembuatan peraturan daerah, serta adanya dinasti kekuasaan. Sehingga ia berpeluang melakukan korupsi melalui suap dan gratifikasi. 

4. Diskresi kebijakan

Hak diskresi melekat pada pejabat publik, khususnya kepala daerah. Diskresi dilakukan karena tidak semua tercakup dalam peraturan, maka perlu kebijakan agar target terpenuhi tanpa harus menunggu aturan tersedia. 

Masalahnya, diskresi ini dipahami sangat luas, padahal ia sangat terbatas. Diskresi hanya diberi ruang ketika tidak ada aturan main dan dalam situasi mendesak. Terkait APBD, dalam pelaksanaannya kepala daerah sering dihadapkan pada fakta pembiayaan suatu kegiatan yang tidak dianggarkan dalam APBD. Kepala daerah mencari celah menciptakan pengeluaran fiktif untuk menutupi biaya tersebut. Hingga cenderung korupsi untuk kepentingan dinas maupun pribadi.

5. Lemahnya akuntabilitas

Kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran dan aset, serta  dalam pengadaan barang dan jasa, sehingga menyebabkan kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi.

6. Kolusi eksekutif dan legislatif dalam pembuatan kebijakan yang koruptif

Diduga ada kolusi antara kepala daerah dengan DPRD terkait kebijakan kepala daerah, misalnya masalah pembuatan perda dan perizinan yang disinyalir terjadi korupsi di dalamnya.

Jika ditelisik, faktor penyebab korupsi kepala daerah di atas mudah terjadi, ini sebagai konsekuensi logis penerapan demokrasi sekularisme kapitalistik. Berkredo Vox Populi Vox Dei (suara rakyat suara Tuhan), demokrasi 'menghargai' suara mayoritas rakyat. Dalam praktik Pilkada langsung, pemimpin yang dipilih oleh suara terbanyaklah pemenangnya. Demi suara terbanyak, berbagai upaya dilakukan termasuk mengeluarkan dana besar untuk iklan diri hingga serangan fajar. 

Secara teori, demokrasi tegak dengan pilar kebebasan. Dalam praktiknya, ia berkelindan dengan liberalisme dan kapitalisme. Prinsip ini mengandalkan kebebasan tanpa batas dan mendasarkan segala sesuatu pada keuntungan material. Jadilah demokrasi mengantar pada pragmatisme politik. Yang utama dari politik adalah kekuasaan, kemenangan, dan kekuatan. Dan ketiganya akan mudah diraih dengan politik uang. Bagi politisi busuk, masa menjabat adalah kesempatan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya agar modal naik tahta bisa kembali, bahkan menuai keuntungan lebih besar.

Peranan Hukum, Moral, dan Agama dalam penanganan Korupsi di Pemerintah Daerah

Korupsi terkategori extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Ia  merampas hak rakyat dan hak asasi manusia, serta melawan kemanusiaan. Tindakan ini harus diberangus, pun pelakunya mendapat hukuman setimpal.

Indonesia memiliki dasar-dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi yang menjadi pedoman pencegahan dan penindakan. Dalam perjalanannya, berbagai perubahan undang-undang dilakukan untuk menyesuaikan kondisi terkini penindakan korupsi. Berikut  dasar-dasar hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.

1. UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2. Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN

3. UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN

4. UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

5. Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

6. UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 

7. UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

8.  Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK)

9. Peraturan Presiden No.102/2020 tentang tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

10. Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi

Meskipun perangkat hukum telah tersedia, namun dilansir dari  negarahukum.com (26/5/2022), saat ini upaya pemberantasan korupsi  dinilai berjalan ke titik buruk. Hal ini tercermin dalam data ICW berdasarkan hasil pemantauan vonis peradilan pada 2021 berbasis hukuman dan besaran kerugian yang berhasil diperoleh.

Berdasarkan angka pemidanaan penjara yang rendah dan pemulihan kerugian yang minim, ICW menilai upaya pemberantasan korupsi yang digaungkan pemerintah tidak berjalan dan dinilai gagal. ICW  melihat pemerintah dan DPR dalam kerja pembuatan legislasi, aparat penegak hukum untuk aspek penuntutan, dan Mahkamah Agung sebagai fungsi mengadili, mengesampingkan urgensi penghukuman maksimal kepada koruptor.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman pun mengakui penindakan dalam upaya pemberantasan korupsi turun drastis. Menurutnya, pandemi Covid-19 tidak hanya memicu penindakan melemah, tapi juga diikuti kegiatan lain seperti revisi UU KPK hingga pemilihan pimpinan KPK yang tidak layak. Jargon pencegahan yang disebut-sebut pimpinan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi ternyata tidak memberikan nilai positif.

Alih-alih pencegahan, APH justru tidak bekerja optimal karena motor penggerak pemberantasan korupsi ada di tangan KPK. Kejaksaan pun dinilai tidak bekerja optimal karena mereka hanya membuka dua kasus korupsi besar seperti Jiwasraya dan Asabri. Di luar itu tidak ada suara besar.

Selain itu, soal vonis hakim yang rendah, ia menyoroti  sejak mundurnya Hakim Agung Artidjo Alkostar tidak aktif di MA, puluhan koruptor mengajukan peninjauan kembali dan dikabulkan. Aksi di tingkat MA berdampak ke level pengadilan yang lebih rendah, sehingga di terjadi pengendoran penuntutan dan penindakan.

Sangat disayangkan bila sebagai extraordinary crime, justru penegakan hukum terhadap kasus korupsi mengalami kemunduran. Padahal secara moral, jelas korupsi bertentangan dengan nilai-nilai moralitas (baik-buruk) dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Korupsi sangat tercela karena mengambil atau mengurangi hak orang lain. Pun tidak menjalankan tugas yang diamanahkan pada dirinya.

Korupsi juga menyalahi syariat Islam. Ia merupakan perbuatan keji dan dilarang. Dalam Islam disebut sebagai perbuatan khianat. Pelakunya disebut khaa`in. Tindakan khaa in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah), sebab mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam. Adapun khianat ialah menggelapkan harta yang diamanatkan kepadanya.

Maka, sanksi Islam bagi koruptor bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri sebagaimana dalam QS al-Maidah: 38. Sanksinya berupa ta'zir yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi pengkhianat (termasuk koruptor), orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret." (HR Abu Dawud)

Bentuk sanksi yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran hakim. Bisa berupa penjara, pengenaan denda, pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa, hukuman cambuk, hingga sanksi paling tegas, yaitu hukuman mati baik digantung atau dipancung.

Dengan demikian, baik dari aspek hukum, moral, terlebih agama (Islam), korupsi adalah tindakan tercela. Sebagai kejahatan luar biasa, penegakan hukumnya juga harus luar biasa. Tidak tebang pilih dan beri hukuman seberat-beratnya agar memberikan efek jera bagi masyarakat.

Strategi Pemberantasan Korupsi Kepala Daerah dalam Perspektif Hukum, Moral, dan Agama

Sebagai kejahatan luar biasa, korupsi bukan hanya merugikan uang negara, tetapi juga berdampak antara lain:

Pertama, program pembangunan tak berjalan: mutu pendidikan menjadi rendah, kualitas sarana prasarana jatuh, hingga kemiskinan tidak tertangani. Akibatnya tujuan negara tak terwujud hingga menjadi negara gagal.

Kedua, rakyat tak terpenuhi hak-haknya terutama kesejahteraan hidupnya. Pun kesenjangan miskin-kaya kian menganga. Ketiga, peradaban masyarakat makin rusak. Masyarakat tumbuh dalam lingkungan pemerintahan korup nan rusak. Keempat, meruntuhkan harga diri negara di mata internasional. Nilai indeks persepsi korupsi rendah mengakibatkan tingkat kepercayaan negara lain juga rendah. 

Selain itu, terus berulangnya kasus korupsi kepala daerah membuktikan bahwa ini bukanlah problem kasuistik, melainkan masalah sistemis. Oleh karena, dibutuhkan strategi komprehensif bagi pemberantasan korupsi kepala daerah tersebut. 

Berikut ini strategi pemberantasan korupsi kepala daerah yang terangkum dari tiga perspektif yaitu hukum, moral, dan agama.

1. Aspek pencegahan

a. Memberikan wawasan dan kesadaran kepada berbagai pihak, baik rakyat, penyelenggara negara, maupun swasta agar tidak melakukan korupsi. Ditinjau dari sisi apapun, baik hukum, moral, dan agama, korupsi adalah tindakan terlarang. Pun dampaknya sungguh buruk. 

b. Mengajak seluruh elemen masyarakat mengawal pemerintahan daerah yang bersih dan bertindak bila menjumpai kasus korupsi kepala daerah di wilayahnya. Misalnya melaporkan pada pihak berwenang.

c. Kepala daerah atau pegawai negara diangkat selain dengan syarat profesionalitas, juga ditetapkan syarat takwa dan adil. Takwa adalah Self control kuat sebagai penangkal berbuat maksiat. Iman akan membuat merasa diawasi oleh Allah SWT. 

d. Menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan kepala daerah sebelum dan setelah menjabat. Jika saat menjabat ada penambahan harta meragukan, akan diverifikasi apakah syar'i atau tidak. Bila terbukti korupsi, harta akan disita dan dimasukkan kas negara. Pelakunya diproses hukum.

e. Memberikan gaji yang layak bagi pegawai atau pejabat negara. Pun menjamin pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan) bisa diperoleh dengan harga terjangkau. Kebutuhan kolektif (pendidikan, kesehatan) digratiskan pemerintah. Dengan kondisi sejahtera, tak ada alasan berbuat korupsi apalagi sekelas kepala daerah (pejabat negara). 

2. Aspek penindakan 

a. Menetapkan hukuman tegas dan keras pada pelaku korupsi. Bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati. Sanksi tegas akan memberikan efek jera dan mencegah kasus serupa terulang. 

Dan bila dikembalikan pada akar masalah korupsi kepala daerah yaitu adanya penerapan sistem demokrasi sekularistik kapitalistik yang membuka ruang biaya politik tinggi dan keburukan lainnya, maka solusi total menghilangkan korupsi ialah mengganti sistem demokrasi dengan sistem yang tidak membuka celah sedikit pun terjadinya kejahatan ini. 

Sistem terbaik tentu saja berasal dari Yang Maha Baik, Allah SWT, berupa sistem Islam yang akan menerapkan seluruh hukum-Nya untuk memandu sekaligus memberikan solusi bagi permasalahan kehidupan, termasuk soal kepemimpinan dan pemerintahan.

Oleh: Pierre Suteki dan Puspita Satyawati


PUSTAKA

Faktor-Faktor Penyebab Kepala Daerah Korupsi, bpkp.go.id, 30/9/2016

Kenali Dasar Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, kpk.go.id, 10/5/2022

Masalah Pemberantasan Korupsi: Vonis Rendah Hingga Asset Recovery, negarahukum.com, 26/5/2022

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar