BUMN Pailit hingga Bangkrut karena Pengelolaan Kapitalistik dan Liberalis

TintaSiyasi.com -- Beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus merugi hingga gulung tikar. Seharusnya, jika pemerintah serius mengelola BUMN hasilnya tidak begini, tetapi anehnya, mengapa merugi dan bangkrut? Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir resmi mengumumkan tiga perusahaan pelat merah yang akhirnya harus dibubarkan. BUMN tersebut yaitu PT Industri Sandang Nusantara (Persero) atau ISN, PT Industri Gelas (Persero) atau Iglas, dan PT Kertas Kraft Aceh (Persero) atau KKA. Pembubaran ketiga BUMN tersebut dilakukan melalui putusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). (tribunnews.com, 17/3/2022).

Menjadi tanda tanya besar, mengapa BUMN merugi? Dikatakan Sindonews.com (22/6/2022) karena dua hal. Pertama, faktor eksternal terdiri dari kondisi perekonomian nasional dan global, penugasan, hingga kepentingan politik. Kedua, faktor internal di antaranya adalah miss manajemen dan tata kelola perusahaan yang buruk.

Tidak hanya dari faktor eksternal maupun internal, tetapi kondisi yang ada makin memiskinkan BUMN dan membuatnya bangkrut karena penerapan sistem ekonomi kapitalistik. Pertama, ekonomi kapitalisme telah membiarkan BUMN bersaing bebas dengan BUMS (Badan Usaha Milik Swasta) asing. Seharusnya, pemerintah meningkatkan teknologi BUMN terlebih dahulu, bukan membiarkan BUMS masuk dan menyaingi BUMN. 

Kedua, diduga kuat BUMN sering jadi 'sapi perah' para elit politik untuk menyabet dana segar. Selama ini BUMN kerap merugi dan terkesan mudah mendapatkan gelontoran dana dari pemerintah, tetapi anehnya gelontoran dana justru tidak membawa perubahan, justru membuat BUMN terjerat utang riba yang menyebabkan kebangkrutan. 

Ketiga, BUMN tak ubahnya seperti korporasi swasta yang mengedepankan bisnis untuk mengejar keuntungan. Sehingga kinerjanya diukur dengan ukuran untung rugi sebagaimana korporasi swasta. Ada yang salah dalam tata kelola BUMN. Indikasinya BUMN merugi dan utang terus bertambah. Kerugian BUMN tersebut tidak bisa lepas dari cara pandang kapitalis yang digunakan pemerintah dalam mengelola BUMN. BUMN bukan lagi menjadi pelayan umat, tetapi dibiarkan bertarung di kancah bisnis meraup keuntungan.

Keempat, pembangunan infrastruktur digenjot terus menerus menyebabkan BUMN memiliki utang yang banyak. Namun seringkali pembangunan insfrastruktur tersebut dilakukan bukan berdasarkan kajian yang cukup, akan tetapi karena logika proyek. Misalnya, dilansir dari detik.com (27/5/2021)proyek listrik 35.000 megawatt di tahun 2021 yang mangkrak. Karena konsumsi listrik tidak sebesar prediksi sehingga terjadi over supply. Namun demi mewujudkan proyek pembangunan infrastruktur, BUMN dijadikan salah satu mesin penggeraknya. 

Konsekuensinya utang BUMN terus membengkak. Ditambah lagi, utang dalam pandangan kapitalisme adalah sesuatu yang mutlak dibutuhkan untuk pembangunan. Sebab seringkali anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan sangat besar, sementara pemerintah hanya bisa mendanai kurang dari 40 persennya saja. Sehingga tindakan penguasa menambah utang untuk menutupi anggaran BUMN pun dimaklumi.

Kelima, sedari awal problem mendasarnya adalah pengelolaan harta atau kekayaan negeri ini dengan prinsip kapitalisme-neoliberal. Dalam sistem ekonomi kapitalisme neo liberal aset negara atau kepemilikan rakyat sah-sah saja diperjualbelikan selama ada pihak bermodal besar yang sanggup mengelolanya. Padahal BUMN yang dikelola dengan paradigma kapitalisme neoliberal hanya menjadikan negara berlepas diri.

Keenam, aset strategis BUMN diperjualbelikan dengan mudah alias dikapitalisasi yang bebas konsensinya dimiliki oleh swasta bahkan asing. Siapa yang memiliki modal besar dialah pemilik sesungguhnya. Alhasil aset negara hanya dipandang sebagai objek bisnis untuk mendapatkan keuntungan. Padahal memandang aset negara dengan pandangan untung rugi menyebabkan BUMN lebih banyak memberi untung bagi segelintir pihak yang menghalangi kemaslahatan publik secara luas.

Inilah dampak buruk dari pengelolaan BUMN dengan cara pandang kapitalis. BUMN yang seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat banyak justru diperah untuk memenuhi ambisi penguasa. Fungsi bisnis BUMN akhirnya lebih menonjol daripada fungsi pelayannya. Mirisnya fungsi bisnis BUMN pun ternyata tak berjalan. Sudahlah tidak optimal menyumbang keuntungan pada negara, justru menjadi masalah bagi negara.

BUMN bangkrut, jika dibiarkan akan menyasar ke mana-mana. Jurus mabuk cari utangan sana-sini justru berpotensi membuat negara kolaps. Tapi, anehnya hal itu tidak disadari para penguasa. Mereka seolah-olah tidak memihak BUMN untuk rakyat lagi, justri meliberalisasi BUMN atas nama 'menyelamatkan' BUMN. Sungguh miris, jika aset negara yang harusnya dikelola untuk kemaslahatan umat, hanya dikuasai oleh segelintir orang, apalagi mereka adalah kapitalis asing atau aseng. Akan jadi apa bangsa ini ke depan?

Islam Mengatur Kepemilikan Negara

Berbeda dengan pandangan Islam. Islam mengatur kepemilikan negara dan umum sebagai harta milik umat yang harus diurus dengan ketentuan syariat dan diselenggarakan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan semua Muslim. Harta milik negara adalah izin dari pembuat hukum, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'ala atas setiap harta dan hak pemanfaatannya berada di tangan negara. Seperti harta ganimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, 1/5 harta rikaz, ushr, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris dan tanah milik negara. 

Harta tersebut digunakan untuk berbagai kebutuhan yang menjadi kewajiban negara untuk mengatur dan memenuhi urusan rakyat, seperti menggaji pegawai, akomodasi jihad, pembangunan sarana dan prasarana publik dan lain sebagainya. Terhadap harta milik umum, negara tidak boleh memberikan pokok atau asalnya kepada seseorang meskipun seseorang boleh memanfaatkan harta milik umum tersebut berdasarkan kesertaan dan andil dirinya atas harta tersebut.

Sementara terhadap harta milik negara, negara berhak memberikannya kepada individu atau sekelompok individu rakyat. Atas dasar itu, negara boleh memberikan harta kharaj kepada petani saja untuk memajukan pertanian dan perkebunan mereka. Namun air, garam, tambang, minyak dan harta milik umum lainnya tidak boleh diberikan kepada seorangpun dari rakyat. 

Harta yang juga termasuk kategori milik umum, ialah fasilitas umum yang dibutuhkan rakyat secara luas, diantaranya sarana beribadah, pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial juga jalan-jalan, jembatan, pelabuhan dan fasilitas umum lainnya, seperti listrik, komunikasi, transportasi, pengolahan limbah, laut, sungai, kanal dan tempat penyaringan air.

Pembelanjaan dan pengembangan harta negara hanya boleh dilakukan pada usaha-usaha yang dibolehkan syariat Islam. Negara dilarang membelanjakan dan mengembangkan harta pada sektor-sektor yang diharamkan Allah subhanahu wa ta'ala, semisal bekerja sama dengan asing memakai utang riba ataupun privatisasi milik umum atau negara untuk kepentingan para kapitalis, bukan rakyat. Namun harus dipahami bahwa negara yang mampu melaksanakan pengelolaan harta sesuai syariat Islam hanya negara Khilafah Islamiah.[]

Oleh: Nabila Zidane (Analis Mutiara Umat Institute) dan Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute)

Posting Komentar

0 Komentar