Mega Kasus 2022 Menyeret Institusi Negara: Mungkinkah Keadilan Tegak dalam Demokrasi Sekuler?


TintaSiyasi.com -- Kasus polisi mati ditembak polisi di rumah polisi masih menyisakan tanda tanya besar. Inilah mega kasus 2022 paling memprihatinkan yang mencoreng institusi negara. Betapa tidak? Sebagai penegak hukum, seharusnya menjadi garda nomor satu yang menjunjung tinggi keadilan dan menjadi pengayom rakyat. Pengayom di sini memiliki arti memberikan ketenangan dan ketentraman di hati rakyatnya, karena telah menegakkan keadilan. Namanya hidup tidak lepas dari masalah, adanya masalah tersebut membutuhkan solusi yang adil. Tidak hanya sekadar mencari yang benar dan yang salah, tetapi bagaimana bisa merawat keadilan. Karena hanya keadilan yang mampu menjaga kewarasan.

Ya, tewasnya Brigadir Joshua atau Yosua Hutabarat telah mengalami perkembangan. Kabarnya, Ferdy Sambo mantan Kadiv Propam Polri di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jaksel telah ditetapkan sebagai tersangka. Sampai tulisan ini dibuat, kasus tersebut masih menjadi perhatian utama dan sampai saat ini polisi masih melakukan penyelidikan untuk mengungkapkan kejadian sebenarnya. Akankah tabir kebenaran dapat disingkap oleh aparat penegak hukum? Apakah keadilan mampu ditegakkan di negeri ini?

Berbicara soal keadilan di negeri ini memang sangat miris. Sebelum mega kasus yang terjadi di tubuh institusi negara ini telah disuguhkan tewasnya enam laskar ormas Islam yang telah dicabut izinnya di negeri ini. Ya, peristiwa KM50 masih menjadi ganjalan umat Islam. Karena rona-rona keadilan belum bisa ditampakkan secara terang benderang, justru pelakunya telah dibebaskan. Beberapa bulan yang lalu, terdakwa kasus penembakan anggota Laskar FPI Ipda M Yusmin Ohorella (kiri) dan Briptu Fikri Ramadhan mendengarkan pembacaan putusan dalam sidang yang digelar secara virtual di Jakarta, Jumat (18/3/2022). 

Bagaimana tidak jengkel? Pantaskah ini? Padahal dalam Islam itu jelas, utang nyawa dibalas dengan nyawa. Begitu pula di negara demokrasi yang menjunjung hak asasi manusia (HAM), tak sepantasnya mempertontonkan hukum seperti ini. Jika demokrasi konsekuen dengan narasinya, harusnya mampu menjaga jiwa-jiwa pengembannya. Katanya, memberikan kebebasan untuk hidup, mengapa ada kasus menghilangkan jiwa seseorang tanpa alasan hukum yang benar dibiarkan? Justru ini mengonfirmasi, HAM dan demokrasi adalah gagasan utopia yang tidak akan pernah terwujud. Alih-alih melindungi nyawa, justru demokrasi dan HAM berpotensi jadi alat pelindung para pembunuh.

Menelisik Penyebab Maraknya Kasus Pembunuhan dalam Payung Demokrasi Sekuler?

Nyawa aparat penegak hukum begitu mudah dihilangkan, bagaimana dengan nasib nyawa-nyawa rakyat jelata yang hidup dalam payung demokrasi sekuler? Pertanyaan yang menyelimuti setelah publik dihebohkan dengan kasus kematian brigadir J. Sebelumnya kasus tersebut, kasus terbunuhnya enam laskar FPI juga membuat publik tercengang dan prihatin. Seolah-olah, nyawa manusia di negeri ini tak ada harganya dan mudah sekali dihilangkan karena kepentingan yang tidak terungkap. Apalagi pelaku yang menghilangkan nyawa ini bagian dari institusi negara.

Sejatinya, penyebab maraknya kasus pembunuhan di negeri ini adalah sistem kehidupan yang keliru dan ditetapkan di negeri ini. Yakni, demokrasi kapitalisme sekularisme. Pertama, demokrasi tidak mampu menjaga jiwa rakyatnya karena demokrasi adalah gagasan yang utopis. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat ini adalah gagasan yang tidak mungkin dapat diwujudkan. Ini sudah terbukti di berbagai negara yang menerapkan demokrasi, sebagaimana di Amerika Serikat sendiri. Di sana marak terjadi kasus penembakan brutal yang menewaskan banyak manusia, baik dari kalangan orang tua maupun anak-anak. 

Mengapa demikian? Tidak akan mungkin suatu negara itu mampu mengikuti keinginan seluruh rakyatnya. Faktanya, demokrasi telah berubah dari uang, oleh uang, dan untuk uang. Demokrasi adalah sistem yang tidak akan bisa hidup tanpa uang, karena itu, siapa pemilik modal, dialah pengendali segalanya. Bahkan demokrasi akan memberi panggung utama kepada para pemilik modal.

Hal itulah yang mempengaruhi perpolitikan dan hukum yang terjadi dalam sebuah negara, hukum bersujud pada uang, singgasana perpolitikan menjadi rebutan para pemilik modal. Inilah sejatinya demokrasi sekuler kapitalisme. Berkuasa bukan untuk mengurusi urusan umat, tetapi berkuasa untuk menguasai urusan umat agar tunduk di bawah kendalinya.

Kedua, manusia tidak bisa dan tidak pantas membuat hukumnya sendiri. Demokrasi sekuler ini sombong dan arogan. Mengapa? Karena merasa lebih mampu membuat aturan sendiri dan mengabaikan aturan Allah Subhanahuwa wataala, walhasil yang tercipta adalah kerusakan yang membinasakan. Aturan dalam demokrasi diciptakan berdasarkan hawa nafsu manusia, jika hawa nafsu manusia ini berbeda, maka akan tercipta perpecahan, pertikaian, perang, dan sebagainya. Inilah mengapa manusia seharusnya tunduk dan patuh pada aturan pencipta-Nya. 

Ketiga, demokrasi menjatuhkan martabat manusia. Nyawa manusia dalam Islam memiliki kedudukan tertinggi, tidak dibenarkan menghilangkan nyawa dalam alasan yang sudah dibenarkan dalam syariat. Bayangkan, terkadang masalah yang terjadi itu hanya masalah sepele telah menyebabkan mereka saling menzalimi. Berkuasanya keserakahan, telah membutakan mata hati manusia dan keserakahan ini subur dalam sistem demokrasi sekuler. 

Oleh karena itu, negeri ini membutuhkan sistem yang mampu menciptakan kesejahteraan dan menjaga jiwa-jiwa manusia. Tentunya ini bukan aturan buatan manusia, tetapi aturan yang tercipta dari Tuhan Yang Mahaadil, yakni Allah Subhanahuwa wataala. Aturan Islam inilah yang akan memanusiakan manusia dan mampu mencegah manusia kehilangan akalnya, sehingga berpotensi berperilaku seperti hewan yang tidak berakal. Selain itu, sistem Islam memiliki hukum had yang mampu menjaga nyawa.

Dampak Apabila Kasus Pembunuhan Tidak Dihukum dengan Adil

Jangankan nyawa manusia, nyawa hewan dalam pandangan Islam dijaga dan dipelihara keberadaannya. Berbeda hal dalam payung demokrasi sekuler, nyawa manusia tidak ada harganya dan tidak dihargai sebagaimana mestinya. Potensi pertikaian, perpecahan, dan perang yang ada dalam sistem demokrasi sekuler inilah yang memicu terjadinya kasus pembunuhan. Apabila negara tidak mampu menegakkan hukum secara adil, tentu ini adalah kezaliman yang nyata dan berpotensi menimbulkan maraknya kasus serupa. 

Dampaknya apabila kasus penganiayaan dan pembunuhan tidak diusut tuntas dan adil. Pertama, memicu dendam. Dalam kehidupan masyarakat lumrah adanya masalah, tetapi yang membuat masalah tambah besar adalah tidak diselesaikan dengan syariat Islam. Mereka menyelesaikan masalah berdasarkan hawa nafsunya. Padahal, namanya hawa nafsu jika dituruti yang terjadi adalah kerusakan. Maka, dalam Islam setiap penganiayaan atau pembunuhan yang dilakukan tanpa hak akan dibalas dengan balasan setimpal. Inilah hukum qisas.

Kedua, hilangnya kepercayaan publik pada penegakan hukum. Negara yang menerapkan hukum, seharusnya konsekuen dengan hukum yang sudah dibuatnya. Tetapi, jika penegak hukumnya saja tidak mampu menegakkan keadilan dan justru menjadi tersangka kasus kejahatan. Bagaimana publik bisa percaya meminta keadilan dan perlindungan hukum di negeri demokrasi ini?

Ketiga, investasi dosa yang akan diadili kelak di pengadilan akhirat. Ketika terjadi kezaliman, wajib sebagai negara menegakkan hukum yang adil. Hukum adil ini bukan berasal dari manusia, melainkan keadilan hanya akan terwujud jika diterapkan hukum Islam. Karena hukum Islam itu, sesuai dengan fitrah manusia, menentramkan jiwa, dan memuaskan akal. Oleh karena itu, mereka yang membunuh manusia tanpa hak adalah dosa besar. Dalam Islam, seharusnya pelakunya diqisas. 

Oleh karena itu, jika hukuman membunuh tanpa sebab dihukum qisas, tentunya tidak akan terjadi manusia-manusia yang seenaknya membunuh saudaranya hanya karena berbeda kepentingan ataupun dirugikan dalam hal materi dan pamornya. Tentu, jika ada masalah, tidak buru-buru untuk melenyapkan nyawa musuhnya. Tetapi, menyelesaikan dengan adil di hadapan hakim yang menerapkan hukum Islam yang adil dan mendamaikan.

Strategi Islam dalam Menjaga Jiwa dan Mampu Menyelesaikan Konflik antara Masyarakat

Namanya berkelompok, bermasyarakat, bernegara pasti akan menemukan segudang masalah yang hadir di tengah-tengahnya. Oleh karena itu, penting negara ini memiliki dan menerapkan hukum yang adil. Hukum yang mampu jadi pengayom, memuaskan akal, sesuai fitrah manusia dan menentramkan hati. Tidak lain tidak bukan, inilah hukum Islam yang diturunkan Allah Subhanahuwa wataala melalui Muhammad shalallahu alaihi wasallam.

Islam jelas memiliki perangkat aturan yang mampu menyelesaikan problematika kehidupan. Selain itu, memiliki hukum yang menjaga jiwa. Karena nyawa seorang Muslim itu sangat berharga di hadapan Allah Subhanahuwa wataala, bahkan lebih berharga dari bumi dan seisinya. Begitu pun nyawa manusia non-Muslim. Dalam Islam, haram membunuh manusia yang berbeda keyakinan tanpa hak. Inilah keunggulan dan keindahan hukum Islam.

Dikutip dari wislah.com, qisas berasal dari kata “qasasa” yang artinya memotong atau berasal dari kata Iqqtsa yang artinya mengikuti, yakni mengikuti perbuatan si penjahat sebagai pembalasan atas perbuatannya. Menurut syarak qisas ialah hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku tindak pidana pembunuhan maupun perusakan atau penghilangan fungsi anggota tubuh orang lain yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan). Mengenai hukuman qisas ini, baik qisas pembunuhan maupun qisas anggota badan, dijelaskan dalam Al-Qur'an surah al-Maidah (5): 45: “Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barang.siapa melepaskan hak (qisas) nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang Zalim.” (Q.S. Al-Maidah (5): 45).

Dalam pandangan Islam, orang yang melakukan tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan akan dijatuhi hukuman qisas jika memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut: Pertama, orang yang terbunuh terpelihara darahnya (orang yang benar-benar baik). Kedua, Pelaku tindak pidana pembunuhan sudah baligh dan berakal. Ketiga, pembunuh bukan bapak (orangtua) dari terbunuh. Keempat, orang yang dibunuh sama derajatnya dengan orang yang membunuh, seperti Muslim dengan Muslim, merdeka dengan merdeka dan hamba dengan hamba.

Inilah hukum qisas. ilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, dan lain sebagainya. Mungkin ada yang sebagian orang yang takut dengan hukuman ini, tetapi inilah hukum yang mampu menjaga nyawa manusia, agar manusia tidak dengan mudahnya menganiaya orang atau membunuh orang.

Islam menerapkan hukuman yang berat bagi pelaku tindak pidana, baik tindak pidana pembunuhan maupun penganiayaan semata mata demi menjaga kehormatan dan keselamatan jiwa manusia. Hal ini akan memberikan dampak positif, di antaranya adalah:

Pertama. Dapat dijadikan suatu pelajaran bahwa keadilan harus ditegakkan. Dan salah satu bentuk keadilan itu adalah jiwa dibalas dengan jiwa, anggota badan juga dibalas dengan anggota badan.

Kedua. Memelihara keamanan dan ketertiban. Karena dengan adanya qisas, seseorang akan berpikir lebih jauh jika akan melakukan tindak pidana pembunuhan ataupun penganiayaan. Di sinilah qisas memiliki peran penting dalam menjauhkan manusia dari nafsu membunuh ataupun menganiaya orang lain, yang pada akhirnya akan tercipta lingkungan masyarakat yang tertib, damai, aman dan tentram.

Ketiga. Dapat mencegah pertentangan dan permusuhan yang mengundang terjadinya pertumpahan darah.

Tentunya hukum qisas inilah yang seharusnya diterapkan, bukan demokrasi yang menyuburkan perpecahan dan pertikaian. Oleh karenanya, wajah hukum di Indonesia hanya dapat terselamatkan jika kembali kepada syariat Islam secara totalitas. Karena hanya dengan Islam keadilan dapat ditegakkan dan mampu membuat jera pelaku penganiayaan dan pembunuhan.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Sejatinya, penyebab maraknya kasus pembunuhan di negeri ini adalah sistem kehidupan yang keliru dan ditetapkan di negeri ini. Yakni, demokrasi kapitalisme sekularisme. Demokrasi tidak mampu menjaga jiwa rakyatnya karena demokrasi adalah gagasan yang utopis.

Jika hukuman membunuh tanpa sebab dihukum qisas, tentunya tidak akan terjadi manusia-manusia yang seenaknya membunuh saudaranya hanya karena berbeda kepentingan ataupun dirugikan dalam hal materi atau pamornya. Tentu, jika ada masalah, tidak buru-buru untuk melenyapkan nyawa musuhnya. Tetapi, menyelesaikan dengan adil di hadapan hakim yang menerapkan hukum Islam yang adil dan mendamaikan.

Tentunya hukum qisas inilah yang seharusnya diterapkan, bukan demokrasi yang menyuburkan perpecahan dan pertikaian. Oleh karenanya, wajah hukum di Indonesia hanya dapat terselamatkan jika kembali kepada syariat Islam secara totalitas. Karena hanya dengan Islam keadilan dapat ditegakkan dan mampu membuat jera pelaku penganiayaan dan pembunuhan.[]

Oleh: Ika Mawarningtyas
Direktur Mutiara Umat Institute dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Materi Kuliah Online Uniol 4.0 Diponorogo, Rabu, 10 Agustus 2022 di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.
#Lamrad
#LiveOperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar