Kurikulum Merdeka: Inikah Pintu Penguatan Sekularisasi Pendidikan bagi Generasi?


TintaSiyasi.com -- Peta jalan sistem pendidikan di Indonesia belum menemukan standar bakunya. Ini terbukti dengan berulang kalinya dilakukan pergantian kurikulum semenjak diproklamirkannya kemerdekaan. Ini sekaligus menjadi bukti ketika sistem hidup diramu oleh kejeniusan otak manusia, menjadikan niscaya terus terjadi perubahan mengikuti kebutuhan kepentingan pihak yang berkuasa. Termasuk standar pendidikan bagi generasi. 

Kurikulum pendidikan di Indonesia yang terus berganti-ganti itu di antaranya ada Kurikulum 1947 (Rentjana Pelajaran 1947); Kurikulum 1952 (Rentjana Pelajaran Terurai 1952); Kurikulum 1964 (Rentjana Pendidikan 1964); Kurikulum 1968; Kurikulum 1975; Kurikulum 1984; Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999; Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004; Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006; Kurikulum 2013 (K-13); kemudian memasuki masa pandemi Nadiem selalu Mendikbud Ristek di pemerintahan Jokowi memberlakukan Kurikulum Darurat; selanjutnya Kurikulum Prototype; belum lama kemudian mengganti nama lagi menjadi Kurikulum Merdeka.

Memasuki tahun ajaran 2022 berbagai sekolah sudah mulai akan menerapkan Kurikulum Merdeka, meskipun Nadiem menyatakan belum sepenuhnya diwajibkan apabila pihak sekolah belum mampu untuk menerapkannya. Sekolah memiliki pilihan untuk menerapkan Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat, atau Kurikulum Merdeka. Bahkan Nadiem, sebelumnya telah menggelontorkan dana bantuan 100 juta rupiah per sekolah bagi 2.500 sekolah penggerak yang telah menerapkan Kurikulum Merdeka. Dana tersebut digunakan untuk pelatihan guru pengajar. Dan dana bantuan akan diberikan bagi sekolah lain, namun dengan jumlah berbeda (tempo.co, 14/2/2022).

Penerapan Kurikulum Merdeka Belajar di Kabupaten Bojonegoro saja diikuti total ada 461 sekolah yang akan dimulai awal Juli 2022 (Bojonegorokab.go.id, 20/5/2022). Dan ada 13 madrasah negeri di Bojonegoro juga siap menerapkan Kurikulum Merdeka (mediapantura.com, 30/6/2022). Dalam tahun ajaran 2022/2023 ini juga, Nadiem Makarim mengatakan, mata pelajaran Pendidikan Pancasila akan diterapkan (Kompas.com, 3/6/2022).

Kurikulum, dapat dikatakan sebagai inti dari proses kebijakan pendidikan, serta menjadi ruh bagi eksistensi suatu bangsa, karena dari sinilah terbentuk kualitas generasi. Di bawah kurikulum merdeka yang diusung Nadiem, melalui kurikulum vokasi untuk SMK/SMA dan kurikulum industri untuk kampus, terpampang nyata nuansa kapitalistiknya. Kini, kurikulum merdeka yang diterapkan untuk PAUD, SD, SMP, SMA difokuskan pada merdeka belajar, kebebasan bagi siswa untuk menentukan minat belajarnya, serta pembentukan pelajar profil Pancasila yang disesuaikan dengan standar pemerintah. Mengingat selama ini, Pancasila digunakan oleh penguasa untuk menghadang berbagai isu radikalisme, gerak dakwah Islam kaffah. Bahkan, Nadiem tanpa takut sempat menghilangkan frasa "agama" dalam draf peta jalan pendidikan 2020-2035, meskipun kemudian telah diklarifikasi.

Sekularisme yang menjadi akidah kapitalisme diyakini sebagai jalan penangkal jalan kebangkitan Islam. Barat melalui intervensinya terhadap negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia masuk ke segala lini, demi melanggengkan eksistensi kapitalisme global sekuat tenaga meracuni umat Muslim dengan paham sekuler. Ketidakberdikarinya Indonesia dalam merumuskan kurikulum pendidikan, memberikan peluang bagi Barat untuk membajaknya dalam praktik pelaksanaan kurikulum. Pendidikan karakter pelajar Pancasila memungkinkan untuk dijadikan jalan sekularisasi pendidikan bagi generasi. 


Kurikulum Merdeka Pintu Penguatan Sekularisasi Pendidikan bagi Generasi

Kurikulum Merdeka merupakan kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi. Di dalam kurikulum ini terdapat projek untuk menguatkan pencapaian profil pelajar Pancasila. Di mana dikembangkan berdasarkan tema tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Inti dari Kurikulum Merdeka ini adalah Merdeka Belajar. Hal ini dikonsep agar siswa bisa mendalami minat dan bakatnya masing-masing. Misalnya, jika dua anak dalam satu keluarga memiliki minat yang berbeda, maka tolok ukur yang dipakai untuk menilai tidak sama. Kemudian anak juga tidak bisa dipaksakan mempelajari suatu hal yang tidak disukai sehingga akan memberikan otonomi dan kemerdekaan bagi siswa dan sekolah (Wikipedia Indonesia).

Adapun Profil Pelajar Pancasila sesuai Visi dan Misi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana tertuang dalam dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024:

Pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan enam ciri utama: pertama, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia; kedua, berkebinekaan global; ketiga, bergotong royong; keempat, mandiri; kelima, bernalar kritis; dan keenam, kreatif (ditpsd.kemdikbud.go.id).

Sebagaimana semisal kurikulum dalam pendidikan diibaratkan sebagai ruh atau nyawa sebuah negara, karena dari sini tercipta generasi yang merupakan tunas-tunas baru yang akan membawa arah bangsa. Keberadaan generasi ini akan menunjukkan performa individu, masyarakat, rakyat dan posisi bangsa dalam kancah pergaulan dunia.

Setiap kurikulum yang terus berganti selama puluhan tahun di Indonesia, tentu di dalamnya memiliki konten pembelajaran berikut metodologinya, serta relevansinya dengan visi bangsa ini. Dan, setiap rezim yang berkuasa, selalu membawa arah pendidikan generasi sesuai visi yang ingin dicapainya. Ini karena tak ada standar baku pendidikan dan visi yang berubah-ubah menyesuaikan kepentingan penguasa.

Ini lazim terjadi ketika negara tak berdikari, tak berdaulat, terintervensi oleh negara lain yang memiliki kepentingan-kepentingan. Bila negara tidak benar-benar independen, tak akan mungkin mampu merumuskan kurikulumnya sesuai dengan visinya. Secara praktik akan terkooptasi dengan kepentingan negara lain, akhirnya outputnya sesuai dengan kendali atau kepentingan dari negara lain.

Dapat kita lihat, arah pendidikan merdeka belajar yang diusung Nadiem mengukuhkan kapitalisasi pendidikan, lulusan-lulusannya dicetak mengikuti kebutuhan dunia industri, disiapkan sebagai insan akademisi yang siap kerja, baik di SMK, SMA, dan kampus. Pada akhirnya SDM unggul dilelang menjadi budak korporasi. Inilah wujud penguasaan sistem kapitalisme di dunia pendidikan.

Semakin jauh lagi, sistem kapitalisme juga menjadikan dunia pendidikan untuk melanggengkan eksistensinya. Geliat bangkitnya kembali Islam untuk menguasai perpolitikan dunia, menjadikan pengemban sistem kapitalisme global berusaha menghalangi dan mematikan bibit kebangkitan tersebut. Lewat dunia pendidikan, disinyalir ada upaya penguatan sekularisasi pendidikan.

Masih kita ingat, bagaimana frasa 'agama' sempat hilang dalam draf Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035, hingga memunculkan kritik tajam. Meskipun kemudian ditepis oleh Nadiem, namun ini seakan sengaja dijadikan 'test water' bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim.

Dan meskipun dalam Kurikulum Merdeka ini, visi pertamanya adalah beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, namun keberadaan Islam yang dikotak-kotak oleh Barat menjadikan umat Muslim tak bisa leluasa menjalankan syariat-Nya secara kaffah. Digaungkanlah Islam moderat sebagai standar Islam yang ramah terhadap kepentingan Barat.

Penguatan profil pelajar Pancasila, diduga sebagai jalan menumbuhkan generasi Muslim yang lebih moderat. Apalagi sebagaimana yang pernah dipaparkan Prof. Suteki yang sudah menjadi dosen Pancasila selama puluhan tahun, mengatakan bahwa Pancasila itu layaknya tabula rasa, kertas kosong bernilai, isi kertas itu tergantung siapa yang akan menuliskannya berdasarkan penafsirannya sendiri atau kelompoknya. Bahkan, dalam pengamatannya, bangsa Indonesia hingga kini tidak mempunyai blue print tentang tafsir Pancasila yang kemudian dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran, pengamalan serta upaya memperjuangkan dan mempertahankannya layaknya sebuah ideologi. 

Jadi, misi profil pelajar Pancasila sebagai pintu penguatan sekularisasi pendidikan bagi generasi bisa jadi bukan sekadar dugaan semu, melihat selama ini penguasa seakan menjadikan Pancasila sebagai alat gebug bagi pihak yang berseberangan dengan kepentingan penguasa. Jika benar, maka jelas keberadaan kurikulum merdeka sebagai pintu penguatan sekularisasi pendidikan bagi generasi. Demi mematikan tumbuhnya generasi Muslim yang merindukan penerapan Islam secara kaffah, sekaligus memuaskan pesanan Barat untuk melanggengkan eksistensi kapitalisme global.


Dampak Kurikulum Merdeka bagi Generasi

Upaya melanggengkan kelangsungan hidup kapitalisme global, membuat para pengusungnya rela menyuntikkan racun sekularisme ke dalam tubuh generasi. Jika benar kurikulum merdeka ini salah satu tangan panjang memuaskan kepentingan penjajah, menjadi pintu penguatan sekularisasi pendidikan bagi generasi, maka dampaknya bagi generasi di antaranya:

Pertama, standar karakter generasi Muslim semakin jauh dari berkepribadian Islam, yang tercipta lebih diarahkan pada gaya hidup sekuler, yang semakin menciptakan generasi individualis dan hedonis. Dan bahkan karakter materialistis semakin melekat pada generasi sehingga tercipta para intelektual yang nir-empati terhadap persoalan umat.

Kedua, melunturkan tujuan mulia dari pendidikan yang sesungguhnya. Banyaknya ilmuwan dan para intelektual yang terlahir dalam sistem ini, berikut kecanggihan teknologi yang kian meningkat tajam saat ini, tak berbanding lurus dengan semakin terselesaikannya problematika umat manusia, bahkan krisis kemanusiaan semakin terbentang lebar di berbagai belahan dunia.

Ketiga, krisis kepemimpinan, melemahkan generasi Muslim yang menjadi harapan kebangkitan Islam. Sumber daya manusia dengan sikapnya yang individualis, hedonis dan pragmatis, semakin menggerus potensi generasi yang merupakan bagian dari pemuda sebagai agent of change. Semakin apatis dengan berbagai persoalan umat, tak lagi peduli dengan ketidakadilan yang semakin merajalela. 

Keempat, semakin menancapnya ruh kapitalisme, yaitu materialisme. Di bawah kurikulum merdeka, kapitalisasi pendidikan juga semakin kental. Atas nama merdeka belajar, juga dimunculkan kurikulum vokasi dan kurikulum industri. Dunia pendidikan menjadikan kaum intelektual yang menjadi budak-budak kapitalisme. Kemajuan teknologi tidak mampu menyelesaikan persoalan umat, namun hanya fokus untuk memenuhi kebutuhan persaingan bisnis dan demi kepentingan para kapitalis. Terjadi banyak krisis di segala bidang, krisis kemanusian, krisis ekonomi, krisis moral, krisis politik dan krisis generasi. Dengan keberlimpahan ilmu pengetahuan tidak juga mampu menjadikan dunia lebih baik.

Dampak dari kurikulum ini akan semakin membahayakan bila tak disadari, karena sebagai pintu lahirnya SDM yang jauh dari khittah tujuan mulia pendidikan. Apalagi ketika dalam benak masyarakat tidak tergambar, bagaimana seharusnya arah pendidikan yang shahih.


Standar Baku Kurikulum Pendidikan untuk Mencetak Generasi Unggul

Pendidikan memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam. Sebagaimana firman Allah SWT, "Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang telah diberi ilmu" (QS. Al-Mujadilah: 11).

Tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk kepribadian Islami (Shakhsiyah Islamiyah) yaitu membentuk pola pikir islami dan pola sikap islami. Serta menciptakan ulama, intelektual dan tenaga ahli sebanyak mungkin yang dapat memberi manfaat bagi umat, melayani masyarakat dan membangun peradaban Islam.

Tentu saja tujuan pendidikan ini tidak akan mampu terwujud bila ditopang oleh sistem kapitalisme sekuler. Hanya sistem Islam yang mampu dan sudah terbukti mampu mewujudkannya. Negara memberikan hak penuh tanpa pandang bulu bagi seluruh umat untuk dapat mengenyam pendidikan secara cuma-cuma. Segala penelitian, laboratorium, perpustakaan dan sarana yang dibutuhkan disiapkan negara. Karena tidak lain negara merupakan penanggung jawab penyelenggara pendidikan, sedangkan pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang harus dijamin oleh negara dan sekali lagi negara wajib menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat.

Ingatlah sabda Rasulullah SAW, "Imam itu adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya" (HR al-Bukhari).

Dalam buku Ensiklopedia Khilafah dan Pendidikan: Menghidupkan Kembali Masa Keemasan, menyebutkan kebijakan pendidikan Daulah Khilafah Islamiah, di antaranya:

Pertama, asas pendidikan formal adalah akidah Islam. Seluruh mata pelajaran dan metode pengajaran harus berdasarkan akidah Islam.

Kedua, kebijakan pendidikan adalah pembentukan sistem berpikir dan kejiwaan Islami pada anak didik.

Ketiga, tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islami serta membekali anak didik dengan sejumlah ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan urusan hidupnya.

Keempat, dalam pendidikan, ilmu eksperimental beserta derivatnya harus dibedakan dengan pengetahuan yangd berhubungan dengan tsaqafah.

Kelima, pendidikan tsaqafah Islam harus disajikan di setiap jenjang kehidupan.

Keenam, ilmu sains dan teknologi yang terkategori dalam ilmu yang bebas nilai boleh diambil tanpa ada persyaratan apapun.

Ketujuh, kurikulum pendidikan harus tunggal. 

Kedelapan, negara menjamin penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh rakyatnya, tanpa memandang agama, suku, dan ras.

Kesembilan, negara bertanggung jawab sepenuhnya dalam menyediakan fasilitas pendidikan bagi rakyatnya.

Terbukti dalam masa keemasan Islam, pada masa itu studi ilmiah dan penelitian seperti kedokteran, ekonomi, matematika, geografi, astronomi dan banyak lagi berkembang di dunia Islam. Umat Muslim memberi kontribusi besar bagi sains, budaya dan sastra. Yang paling terkenal Aljabar yang ditemukan Al-Khawarizmi, Ilmiwan Persia di bidang matematika. Cendikiawan-cendikiawan Islam itu muncul dari berbagai agama, wilayah, suku dan ras. Sebagai contoh, banyak dokter pribadi untuk Khalifah Abbasiyah adalah orang Kristen. Seorang Kristen bernama Hunayn ibn Ishaq al-Ibadi adalah kepala "House of Wisdom" dalam jangka waktu yang lama, dia diberi posisi itu oleh Khalifah Al-Ma'mum. Orang Yahudi dan Zoroaster memainkan peran besar dalam menterjemahkan karya lama Yunani, Romawi, Persia, Cina dan Hindu ke dalam Bahasa Arab, bahkan ia dikenal sebagai Syekh of the translators. Di masa keemasan ini orang-orang yang berbeda agama dan budaya berkumpul di Baghdad. Semuanya berada di bawah perlindungan penguasa Muslim, yaitu Khilafah Islamiah.

Di masa ini, para penulis buku atau penerjemah sebuah buku diberi bobot emas dalam buku itu. Bukan hanya menterjemahkan karya lama, di masa itu berbagai penelitian pun dilakukan. Al-Khawarizmi selain Aljabar juga meningkatkan karya-karya geografi. Ibn Mua'dh al-Jiyyani, terinspirasi oleh karya Euclid, menulis risalah tentang trigonometri bola. Ibn al-Haytham melakukan terobosan di bidang optik. Ibn al-Nafis ilmuwan yang menggambatkan sirkulasi darah paru-paru dan masih banyak lagi cendekiawan-cendekiawan Islam lainnya.

Itulah sebagian kecil gambaran kegemilangan pendidikan di masa Khilafah Islamiah. Kembalinya abad keemasan ini, hanya dapat terwujud dengan penerapan syariat Islam di setiap lini kehidupan, yaitu sistem pendidikan Islam yang terintegrasi dengan sistem politik, ekonomi dan sosial budaya.


Penutup

Jika kurikulum merdeka ini tidak lebih sebagai tangan panjang kepentingan kapitalisme global. Penerapannya hanya sebagai pintu penguatan sekularisasi pendidikan bagi generasi, maka kurikulum ini tak bisa dijadikan standar baku pendidikan di Indonesia untuk mencetak SDM unggul yang hakiki.

Jika benar kurikulum merdeka ini salah satu tangan panjang memuaskan kepentingan penjajah, menjadi pintu penguatan sekularisasi pendidikan bagi generasi, maka dampaknya bagi generasi di antaranya:

Pertama, standar karakter generasi Muslim semakin jauh dari berkepribadian Islam, yang tercipta lebih diarahkan pada gaya hidup sekuler, yang semakin menciptakan generasi individualis dan hedonis. Kedua, melunturkan tujuan mulia dari pendidikan yang sesungguhnya. Ketiga, krisis kepemimpinan, melemahkan generasi Muslim yang menjadi harapan kebangkitan Islam. Keempat, semakin menancapnya ruh kapitalisme, yaitu materialisme. 

Negara khilafah memberikan perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan. Islam mewajibkan negara menjamin terwujudnya generasi pembangun peradaban Islam. Generasi adalah anak-anak umat (abna’ul ummah) yang rasul banggakan karena jumlah dan kontribusinya bagi Islam. Dengan tujuan pendidikan Islam yang terlahir sesuai dengan syariat Islam dapat menghasilkan generasi yang bertakwa, tunduk dan taat pada hukum-hukum Allah. Bukan generasi yg miskin moral, lemah dan tidak memiliki ghirah Islam. []

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar