Radikalisme Kampus: Alat Politik Bungkam Suara Kritis


TintaSiyasi.com -- Digoreng terus, lagi dan lagi. Punggawa negeri ini seolah tak bosan-bosannya melontarkan narasi radikalisme di berbagai kesempatan. Isu tak lebih “hantu” ini diduga kuat menyasar tempat-tempat strategis pembinaan dan pendidikan anak bangsa, seperti: pondok pesantren, masjid, sekolah, tak terkecuali kampus.

Terakhir, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar mengungkapkan modus baru radikalisme di kampus misalnya propaganda ISIS seperti di Universitas Brawijaya yang menjadi kepanjangan tangan penyebarluasan informasi terkait kegiatan mereka termasuk rekrutmen. Terkaitnya, BNPT memiliki program pencegahan melalui literasi di kampus-kampus bekerja sama dengan sivitas akademika (TEMPO.CO, 30/5/2022). Boy pun mengklaim pihaknya mengantongi data kampus dan sivitas akademika yang terpapar radikalisme, namun enggan menyebutkannya (TEMPO.CO, 25/5/2022).

Seirama BNPT tentang propaganda radikalisme kampus, Menkopolhukam Mahfud MD pernah mengatakan, seluruh kampus di Indonesia harus melarang kegiatan yang mengandung paham radikalisme. Menurutnya, radikalisme harus ditangkal berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Karena itu, seluruh kampus di Indonesia harus melakukan perlawanan terhadap paham radikalisme (suarasulsel.id, 25/4/2021). 

Radikalisme, terorisme, dan ekstremisme masih menjadi trilogi isu seksih yang tak henti didengungkan rezim. Menempatkan antiradikalisme sebagai core of the core program kerja Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 dalam bidang politik dan agama, diduga membuat rezim gencar melancarkan berbagai narasi dan strategi. Resolusi PBB Hari Antiislamofobia 15 Maret lalu, nampak tak berpengaruh pada kebijakan rezim.

Sementara sebagian kalangan khawatir ancaman pemandulan fungsi kampus di balik propaganda radikalisme kampus ini. Ditengarai kampus akan kian kering terhadap upaya pencarian kebenaran dan keadilan. Hingga tidak akan menjadi ibu asuh (almamater) karena air susu murninya telah berbau anyir darah dan nanah kekuasaan. Dengan kata lain, kampus sekadar sebagai tangan panjang kebijakan pemerintah sehingga akan kehilangan otonominya, meliputi otonomi keilmuan, kebebasan akademik, maupun kebebasan mimbar akademi.

Radikalisme Kampus, Propaganda Islamofobia Membungkam Suara Kritis

Pernyataan BNPT tentang modus baru radikalisme kampus salah satunya ‘memposting konten-konten’ terasa aneh dan memprihatinkan. Kampus menjadi sasaran tuduhan adanya gerakan radikalisme, sementara tugas kampus itu memang merohanikan ilmu yakni pencarian terhadap hakikat ilmu. Adapun karakter pencarian the truth and justice dipastikan radikal yakni cara berpikir yang mengakar, mendasar, dan komprehensif. Menyeluruh, bukan sepotong-sepotong atau gradual. 

Pernyataan Boy Rafli tentang ‘memposting konten-konten’ juga tidak jelas itu konten apa. Apakah konten yang dimaksud itu sudah ditetapkan oleh hukum sebagai bentuk pelanggaran hukum atau tindak kejahatan (delik)? Hal ini harus clear dulu sehingga ada kepastian hukumnya. Jika tidak, aparat penegak hukum (APH) akan bertindak ngawur terhadap konten yang obscure (kabur) dan lentur (tidak pasti). Narasi itu akan menggiring tindakan semena-mena, SSK (suka-suka kami), terhadap orang atau kelompok yang dicurigai mengunggah konten-konten yang dianggap radikal oleh BNPT. 

Narasi BNPT bahwa radikalisme mengarah pada terorisme juga tendensius. Radikalisme itu nomenklatur yang lebih bermuatan politis daripada bermuatan hukum. Diksi "mengarah" itu ambigu dan kabur yang bisa menimbulkan kecurigaan dan ketakutan luar biasa bahkan bersifat irrasional yang disebut fobia. Untuk mengatakan bahwa radikalisme itu mengarah pada terorisme harus dilakukan pembuktian melalui penelitian yang independen, apakah betul semua radikalis itu sekarang telah dan pasti akan menjadi teroris. 

Misalnya ada ratusan nama terdaftar sebagai penceramah radikal. Silakan diteliti, apakah nama-nama tersebut telah menjadi teroris atau terbukti orang lain yang menjadi teroris karena radikalis? Berapa persen? Apakah satu orang itu bisa dianggap mewakili? Apakah itu ilmiah? Ini bangsa apa? Bangsa primitif atau bangsa maju dengan penggunaan rasio yang proporsional? 

Agar tidak menjadi hantu, kita perlu mendudukkan radikalisme dan terorisme secara proporsional. Mengingat terorisme faktanya juga ada. Yang harus dikerjakan sekarang adalah merumuskan tentang radikalisme dan terorisme yang selama ini terkesan dimaknai secara obscure dan lentur. Meskipun kita sudah mempunyai UU Terorisme, namun banyak yang menilai perumusan delik terorisme masih terlalu kabur, obscure, dan lentur. Menyasar pada seluruh tindakan yang dianggap "mengarah" (contohnya radikalisme) hingga dimasukkan dalam jaring delik terorisme. 

Tindakan di atas dinilai gegabah, tidak cermat, dan berpotensi membuat gaduh masyarakat. Mestinya BNPT dan BIN itu tidak memproduksi narasi-narasi pemicu kegaduhan dan ketakutan. Idealnya, bekerja senyap tetapi mampu menciptakan order (ketertiban dan keamanan) serta menanggulangi terorisme atau tindakan makar terhadap ideologi dan atau pemerintah. Bukan teriak radikal radikul terhadap semua pihak yang dianggap mengkritisi dan berseberangan dengan rezim berkuasa. 

Mengamati pola isu radikalisme kampus, keberadaannya sama dan sebangun dengan isu-isu lain seperti isu antikebhinekaan, anti-Pancasila, dan anti-NKRI. Dengan tudingan tersebut, seseorang bisa diberi sanksi sepihak oleh penguasa tanpa perlu membuktikannya dalam suatu forum persidangan yang terbuka untuk umum. 

Siapa pun yang dianggap bertentangan rezim dicap radikal, terpapar radikalisme, dan selanjutnya dapat ditindak berdasarkan wewenang yang melekat pada jabatan politik pihak-pihak yang merasa terusik. Sampai hari ini, belum ada satu pun putusan pengadilan yang memberikan putusan atau setidaknya penetapan tentang individu atau lembaga tertentu yang terpapar radikalisme. 

Jika ditelisik, propaganda radikalisme kampus tak lepas dari agenda war on radicalism sebagai branding baru dari war on terrorism yang dipelopori oleh AS. Setelah isu terorisme mulai tidak laku, negara-negara Barat kafir imperialis kini jualan baru: radikalisme. Sasarannya masih sama yaitu Islam dan umatnya. Pasalnya, simbol Islamlah yang muncul dari berbagai isu yang terjadi. 

Meskipun PBB telah menggulirkan resolusi Hari Antiislamofobia 15 Maret 2022, namun realitasnya islamofobia yang mewujud pada narasi radikalisme, terorisme, dan ekstremisme terhadap umat Islam terus terjadi, termasuk di negeri ini. Diduga, resolusi tersebut hanyalah lip service demi menyembunyikan permusuhan Barat terhadap kebangkitan Islam yang kian nyata.

Bagi Barat, mengubah teknik berperang tak masalah agar tetap bisa menjajah negeri-negeri kaum Muslimin. Maka, mengubah islamofobia menjadi antiislamofobia bukan hal aneh. Pengubahan gaya konfrontatif ke kooperatif ini diduga sebagai cara lebih halus demi meraih dukungan dan simpati dunia termasuk umat Islam, di tengah kekhawatiran kebangkitan Islam dan munculnya kekuatan Timur seperti China. 

Dulu Barat melontarkan islamofobia, kini ia menyuarakan antiislamofobia. Hakikatnya, antiislamofobia ala Barat ya islamofobia itu sendiri. Bagi pemerintah Indonesia, baik membuat kebijakan berbasis islamofobia maupun mendukung antiislamofobia dengan memasifkan Islam moderat, sama-sama merupakan bentuk serangan dan merugikan umat Islam. 

Dengan demikian, propaganda radikalisme kampus diduga hendak mencitraburukkan Islam kepada sivitas akademika, khususnya para mahasiswa, agar mereka takut dan menjauhi Islam. Terlebih mahasiswa Muslim adalah generasi penerus perjuangan Islam. Kecintaan mereka terhadap Islam dan perjuangannya tentu mengkhawatirkan bagi Barat dan pendukungnya.

Masifnya propaganda radikalisme kampus ditengarai bertujuan pertama, sebagai alat politik membungkam suara kritis oposisi. Kedua, untuk menebar ‘teror’ di lingkungan sivitas akademika sekaligus propaganda jahat menjauhkan insan kampus dari ajaran Islam kaffah dan menekan dakwah Islam di kampus.

Dampak Isu Radikalisme Kampus terhadap Kebebasan Sivitas Akademika Bermuhasabah lil Hukam

Selama ini, narasi radikalisme nampak sebagai alat politik membungkam setiap ujaran berbeda yang mengajukan koreksi kritis terhadap jalannya kekuasaan. Pun membungkam lawan politik penguasa dari kalangan ormas hingga insan sivitas akademika. Padahal kampus mendidik setiap insan yang tumbuh dan dibesarkan di dalamnya, agar senantiasa melakukan koreksi dan kritik terhadap kondisi dan alienasi publik berdasarkan ilmu dan pengetahuan. 

War on radicalism bagai jala pukat harimau yang menyasar ikan besar hingga teri kecil sivitas akademika agar menjadi insan pembebek dan pengabdi kekuasaan, bukan insan mandiri pengabdi ilmu pengetahuan. Lantas, mampukah garis depan ilmu pengetahuan ini beringsut ke arah kemajuan? Mungkinkah akan berkembang pemikiran-pemikiran kampus yang dipenuhi karakter critical thinking? Masihkah berharap insan kampus menjadi the agent of change dari tradisi rule breaking? Dan mungkinkah kita berharap negeri ini akan tumbuh dan tangguh jika generasi mudanya dididik laksana pelajar di masa penjajahan? 

Oleh karena itu, penetrasi isu radikalisme kampus secara masif akan berdampak pada kebebasan sivitas akademika untuk menggunakan hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat dalam rangka muhasabah lil hukam. Dampak tersebut antara lain: 

1. Sulit menunaikan tugas merohanikan ilmu pengetahuan, yakni pencarian terhadap kebenaran. 

Searching the truth, nothing but truth. Rohani itu berarti bicara tentang cipta, rasa, dan karsa. Ini yang disebut akal. Akal inilah yang mendasari seorang ilmuwan harus berkarakter ‘radikal’ (ramah, terdidik, berakal). 

2. Kehilangan critical thinking. 

Critical thinking ialah cara insan kampus berpikir terlepas dari kepentingan hegemoni kekuasaan rezim sehingga berani mengkritik kekeliruan kebijakan penguasa, bukan justru membebek dan mengamininya. Hilangnya karakter ini akan membuat kampus tak ubahnya kepanjangan tangan rezim.

3. Terjadi kelumpuhan intelektualitas. 

Ketika seorang ilmuwan telah: terinjak kakinya lantaran masalah besarnya, terbujuk janji manis, tidak mampu lagi berargumentasi, maka tunggulah kelumpuhan intelektualitasnya. Sehingga tak dapat diharapkan ada perubahan ilmu yang ideologis apalagi keberkahannya. Selanjutnya akan memandulkan peran mahasiswa sebagai agent of change dan leader of change. 

4. Polarisasi di kalangan sivitas akademika. 

Akan ada kubu yang disebut radikal dan moderat. Istilah-istilah ‘asing’ seperti Islam garis keras, radikal, teroris, ekstrem, yang diversuskan dengan Islam moderat, liberal, dan seterusnya, adalah bagian dari proyek imperialisme epistemologis penjajah Barat di dunia Islam. Tujuannya agar kaum Muslimin terpecah-belah dan saling melontarkan tuduhan satu sama lain. Selanjutnya, ini mudah konflik di antara mereka. 

5. Mahasiswa Muslim jauh dari ajaran Islam kaffah. 

Realitasnya, cap radikal disematkan pada orang atau kelompok yang berkehendak menerapkan Islam kaffah dalam bingkai negara. Agar tak dicap radikal, mereka jadi enggan mempelajari Islam dan berdekatan dengan pejuangnya. Akibatnya, mereka tak mampu mengamalkan akidah dan syariah Islam secara utuh dalam kehidupan. Pun tak memiliki daya juang demi menegakkan ajaran agama-Nya. Selanjutnya akan menghambat laju kebangkitan Islam. Inilah target utama pengguliran narasi radikalisme pada generasi muda.

6. Salah memahami hakikat permasalahan bangsa. 

Narasi radikalisme sebagai biang kerok kegaduhan bangsa akan mengalihkan hakikat permasalahan. Sejatinya, sistem sekularisme kapitalistiklah sumber problematika, bukan syariat Islam yang dituding ajaran radikal. Sebagaimana tuduhan pemerintah dan kaum sekuler bahwa wacana penerapan syariat Islam adalah tindakan berlebihan, pemicu disintegrasi, mengancam kebhinekaan, dan lain-lain. 

Berbagai dampak di atas akan mengebiri kebebasan sivitas akademika untuk menggunakah hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat dalam rangka muhasabah lil hukam. Sebaliknya, hegemoni kekuasaan sekularistik justru menguat terhadap perguruan tinggi. Sivitas akademika dipaksa bertindak berdasar kehendak rezim. Ia tak lagi memiliki independensi membuat kebijakan dan memecahkan permasalahannya. 

Strategi Menyelamatkan Misi Kampus sebagai Institusi Perjuangan Kebenaran dan Keadilan dari Hegemoni Rezim Berdalih Radikalisme Kampus

Keberadaan sivitas akademika yang kehilangan critical thinking hingga kesulitan bertugas merohanikan ilmu pengetahuan gegara takut dituduh radikal tentu tidak kita inginkan. Situasi ini mencerminkan ilmu tanpa praktik yang hanya akan menjadi ‘macan kertas.’ Garang di atas kertas tapi lumpuh di alam nyata. Seonggok kata-kata tanpa makna, sebatas syair dan jampi-jampi meninabobokkan. 

Sementara praktik tanpa ilmu hanya akan menggiring manusia ke arah kehancuran karena kehidupan yang dijalani nir ideologi, nir akal sehat. Menjadi tugas utama kampus untuk merohanikan ilmu sehingga mampu menuntun kehidupan manusia menjadi lebih baik. Itulah kampus yang diharapkan mampu memanusiakan manusia yang hakikatnya adalah mahluk rohani. Itulah kampus yang mendekatkan dirinya terhadap persoalan masyarakat, bukan menjadi menara gading. 

Maka butuh strategi demi menyelamatkan misi kampus sebagai institusi perjuangan kebenaran dan keadilan dari hegemoni rezim yang cenderung membungkam lawan politik berdalih radikalisme kampus. Strategi tersebut antara lain:

1. Membina sivitas akademika dengan wawasan keislaman. 

Kajian keislaman ini sebagai sarana menanamkan akidah serta landasan berpikir dan bersikap Muslim. Pun memperluas pengetahuan Islam sebagai filter terhadap serangan pemikiran, khususnya narasi negatif Islam sebagai ajaran radikal. Idealnya, pembinaan secara sistematis dan berkesinambungan agar sivitas akademika mendapat gambaran Islam secara utuh dan memiliki kepribadian Islam tangguh.

2. Menanamkan kesadaran politik.

Banyaknya sivitas akademika yang terpengaruh isu radikalisme dan propaganda sesat lain, bahkan terlibat dalam skenario jahat karena rendahnya kesadaran politik mereka. Harus ada upaya mengungkap makar Barat dan pendukungnya agar umat Islam mengetahuinya. Pun menyadari bahwa narasi radikalisme adalah strategi Barat memerangi Islam. Tunjukkan pula pengkhianatan penguasa, kaum elit, intelektual Muslim yang menjadi kaki tangan Barat meluaskan propaganda ini. 

3. Mengokohkan persaudaraan Islam dan menyamakan persepsi tentang common enemy. 

Mengingatkan bahwa musuh bersama umat Islam adalah negara kapitalis global, bukan sesama umat Islam, apalagi sesama sivitas akademika. Perpecahan hanya akan memperlemah kaum Muslimin sekaligus memperkuat penjajah. Karenanya, jangan mau diadu domba. 

4. Menguatkan sivitas akademika sebagai sosok ilmuwan ideal. 

Tugas ilmuwan yaitu: menyuarakan kebenaran sebagai kewajiban pokok ilmuwan, menampilkan keindahan sebagai tugas mulia ilmuwan, dan mendukung kebaikan sebagai sikap santun seorang ilmuwan. 

5. Mengokohkan karakter kampus agar tetap ‘radikal’ yaitu ramah, terdidik, dan berakal.

Pemberangusan karakter ‘radikal’ akan berakhir pada kemandegan ilmu pengetahuan dan kejumudan berpikir, hingga berujung pada situasi yang dalam bahasa Jawa kasar disebut ‘micek’, yakni membutakan diri, tidak peduli terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran serta ketimpangan sosial.

Menyitir ajakan Prof. Sulistyowati Irianto, beliau menghendaki kaum intelektual bangkit melawan ketidakadilan dan penindasan. Namun, para intelektual kampus itu tampaknya lebih suka berada di zona nyaman (comfort zone) sembari menikmati remah-remah dunia yang tidak pernah mengenyangkan. Mereka sulit sekali untuk berani beringsut ke zona ketidaknyamanan/ketakutan (fear zone). 

Ketika kaum intelektual takut ‘sedih, sengsara, sakit’, maka mereka tidak akan pernah sampai pada tahap zona pembelajaran dengan kecerdasannya (learn zone). Akhirnya para ilmuwan itu akan stagnan, garis depan ilmu mandheg, dan tidak akan menikmati zona pertumbuhan (growth zone) menuju peradaban baru yang lebih baik. 

Masihkah kita bisa berharap kepada mereka kaum intelektual yang tengah menikmati ‘tidur panjangnya?’ Bangunlah wahai kaum intelektual! Tulis di dahimu slogan live oppressed or rise up against! Will you?[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media) 


Posting Komentar

0 Komentar