Konvoi Khilafah: Apa Salah dan Berbahayakah?


TintaSiyasi.com -- TEMPO.CO, Jakarta tanggal 31 Mei 2022 mewartakan bahwa ada aksi sekelompok orang yang konvoi motor sambil mengkampanyekan khilafah dan menjadi viral dan perbincangan di media sosial. Aksi konvoi khiafah ini langsung diselidiki polisi. Konvoi sepeda motor yang membawa atribut khilafah tersebut diketahui sempat membagikan selebaran saat melintas di Jalan Raya Bogor, Kramat Jati, Jakarta Timur.
Salah satu warga yang sehari-hari menjadi petugas keamanan toko baju di Jalan Raya Bogor, Sholeh menceritakan tentang aksi konvoi sepeda motor sambil membagikan selabaran berisi khilafah.  

Saya sudah melihat video viral rombongan pemotor dengan membawa sebuah tulisan 'Kebangkitan Khilafah' terjadi di daerah Cawang, Jakarta Timur, Minggu (29/5). Peristiwa itu terekam dalam sebuah video dan beredar di media sosial. Dalam video itu terlihat salah satu tulisan yang dibawa oleh rombongan adalah 'Sambut Kebangkitan Khilafah Islamiyah'. Belakangan diketahui pihak yang menginisiasi konvoi itu berasal dari kelompok Khilafatul Muslimin. 

Lalu apa salahnya konvoi tersebut? Kalau kita bicara tentang negara demokrasi mestinya tidak ada salahnya jika orang atau kelompok orang menyatakan pendapat baik secara lisan maupun secara tulisan selama pendapat itu tidak bertentangan dengan hukum, misalnya mempromosikan ajaran yang jelas dilarang oleh agama, moral dan hukum. Misalnya komunisme. 

Lalu pertanyaannya sekarang adalah apakah khilafah itu? Khilafah itu sistem pemerintahan yang dibingkai oleh ajaran Islam, bukan ideologi seperti Komunisme, kapitalisme. Ideologi dari khilafah itu Islam. Jadi sebenarnya, kalau dicermati dari sisi keilmuan, maka tidak ada salahnya siapa pun yang mendakwahkan khilafah dengan cara apa pun termasuk dengan konvoi dan penggunaan selebaran. Yang penting di sini adalah tidak adanya upaya paksaan, kekerasan apalagi makar. 

Aksi konvoi khilafah ini tak urung dikomentari MUI, Densus hingga BNPT. Lalu adakah unsur bahayanya? Seberapa besar? Kita ini negara hukum, maka perintah dan larangan itu mesti juga berdasar atas hukum yang sdh ditetapkan bukan atas kemauan rezim yang sedang berkuasa. Bahkan, rezim yang berkuasa pun harus tunduk pada hukum yang telah ada, bukan suka-suka kami (SSK). 

Sebagai sebuah dakwah, saya kira tidak bahaya atau bahayanya pun dapat diantisipasi oleh aparat penegak hukum. Selama itu hanya sebuah dakwah tanpa kekerasan, paksaan dan makar tidak bisa dianggap sebagai bahaya yang mengancam NKRI sebagai negara kesepakatan. Yang menjadi aneh itu umat Islam yang merasa asing dengan sistem pemerintahan Islam yang disebut khilafah tersebut. MUI saya kira paham duduk perkara fikih khilafah ini. 

Semua madzab fikih Islam bicara bahkan mewajibkan penegakaan khilafah islamiyah. Ada yang menghukumi sebagai fardhu khifayah yang artinya jika sudah ada kelompok lain yang mengerjakan upaya penegakan itu maka, umat Islam yang lain tidak menanggung dosa. 

Kembali ke bahaya, seberapa besar? Kalau dari sisi Islam, tentu konvoi itu tidak berbahaya. Namun, bagi kelompok lain akan dianggap berbahaya, sangat berbahaya karena dianggap akan mendegradasi sistem pemerintahan yang sekarang diterapkan, yakni demokrasi ala Barat bukan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Jadi, intinya sistem pemerintahan khilafah hanya akan dianggap bahaya oleh sistem pemerintahan demokrasi Barat. Dan cilakanya kita sekarang sedang menggunakan sistem pemerintahan demokrasi Barat tersebut. Jadi dianggap sangat berbahaya. 

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa saat ini upaya "kriminalisasi" terhadap khilafah terlihat cukup berhasil. Lalu bagaimana tanggapan umat Islam seperti apa terhadap kriminalisasi khilafah? Sekali lagi, kita ini negara hukum. Sampai sekarang tidak ada norma hukum kita yang menyatakan bahwa sistem pemerintahan Islam itu sebagai sistem yang dinyatakan terlarang dan oleh karenanya pendakwahnya harus dipidana. Tidak ada. 

Upaya pemberangusan itu lebih pada tindakan politik yang tidak berdasar atas hukum. Sehingga tindakan itu bisa dikatakan vandalisme atau bar-bar. Seharusnya jika maunya mengkriminalkan khilafah, DPR dan Presiden membuat UU yang menyatakan bahwa khilafah itu sebagai ajaran terlarang dan pendakwahnya akan dipidana. 

Untuk memahami kedudukan khilafah dalam atmosfer keindonesiaan, maka perlu dipahami relasi keduanya dalam kehidupan beragama dan bernegara. Saya kembalikan kepada kaum muslimin di Indonesia. Akan menempatkan khilafah itu sebagai apa? Apakah ini sebagai ancaman atau harapan di masa depan sebagaimana janji rasululloh bahwa khilafah min hajjinubuwah akan tegak kembali. Kapan tegaknya? Kita tidak akan mengetahuinya. 

Namun, yang perlu dicatat adalah apakah mungkin sesuatu itu akan bisa dijalankan dan ditegakkan tanpa ada pengetahuan atasnya? Di sinilah peranan dakwah itu dijalankan. Untuk mengenalkan kepada umat Islam bahwa Islam itu punya sistem pemerintahan tersendiri yang pernah dijalankan selam ribuan tahun dengan segala dinamikanya. 

Di Indonesia atau pun di negara demokrasi lainnya pun seharusnya diberikan ruang dakwah tersebut dan yang penting tidak ada paksaan, kekerasan apalagi tindakan makar. Kita sebagai muslim harus menentukan koordinat kita, apakah sebagai pejuang atau pecundang yang memusuhi idenya Allah tentang khilafah ini. 

Khilafah tidak mesti tegak di Indonesia, boleh jadi di negara lain, namun juga tidak menutup kemungkinan mulai tegak di Indonesia. Semua tergantung dari bagaimana Allah mengaturnya. Tapi sesuai dengan hadist shokeh Rasulullah bahwa khilafah ala minhajji nubuwah akan tegak entah kapan pun dan di mana pun. 

Kembali ke persoalan, bahwa dakwah tentang khilafah seharusnya tetap diberikan ruang di negara demokrasi ini sepanjang tidak menggunakan paksaan, kekerasan apalagi makar. Kalau mau jujur, yang seharusnya lebih berbahaya adalah kelompok atau gerombolan yang akan mengubah Pancasila menjadi Trisila dan atau bahkan Eka sila. Siapa mereka? Mengapa meraka tindak ditindak? Apakah keadaan ini telah mencerminkan kebenaran dan keadilan? 

Tabik..!!!
Semarang, Selasa: 1 Juni 2022


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar