Benarkah 'Kriminalisasi' Khilafah karena Bertentangan dengan Pancasila?

TintaSiyasi.com -- Sebagai umat yang meyakini Tuhan Allah sebagai Sang Khaliq dan menyadari diri manusi sebagai mahluk ciptaannya, tentu kita harus kembali kepada fitrah manusia yakni: pertama, tunduk kepada penciptanya dengan cara mengakui keberadaannya (bertauhid); kedua, mewujudkan ketundukan kepada sang Khaliq dengan cara menyembahnya (beribadah); dan yang ke ketiga, menjalankan hukum-hukum Alloh di muka bumi (bersyariat). 

Di samping itu manusia dilengkapi dengan kefitrahan yang lain yaitu: akal sehat. Maka, dengan kedua fitrah itu kita bersama dapat bertanya kepada diri kita: layakkah kita mengkriminalkan ajaran Islam khilafah yang nota bene datang dari petunjuk Allah dan rasul-Nya serta kebebasan perpendapat yang mendasar dan hal itu merupakan HAM yang dijamin oleh Konstitusi UUD NRI 1945? Saya menyadari betul bahwa tidak ada kebebasan tanpa batas, tetapi ketika kebebasan itu terus ditakuti dan diintimidasi, masih adakah kebebasan itu? 

Untuk menentukan suatu ajaran itu terlarang atau tidak perlu dilakukan pengujian oleh:
Pertama, lembaga keagamaan yang menaunginya, kalau tentang khilafah, maka MUI berwenang mengujinya.
Kedua, putusan Pengadilan atau ketentuan UU yang secara tegas menyebutkan untuk itu. 

Selama ini belum ada fatwa MUI dan Putusan Pengadilan atau Ketentuan UU yang menyatakan bahwa khilafah itu sebagai ajaran Islam (bidang fikih) yang terlarang dan bertentangan dengan Pancasila. 

Khilafah itu ajaran Islam tentang sistem pemerintahan ideal menurut tuntutan Allah, Rasul dan para sahabat bukan ideologi yang disejajarkan dengan komunisme dan kapitalisme juga radikalisme. Karena sebagai bagian dari ajaran Islam maka khilafah boleh didakwahkan. Tujuannya agar umat tahu tentang sistem pemerintahan ini sehingga tidak "plonga-plongo" ketika suatu saat sistem ini tegak di muka bumi sebagaimana janji Rasulullah dalam hadis yang shahih. Jadi, tidak ada salahnya jika siapapun orang, lembaga, ormas Islam mendakwahkan khilafah selama tidak ada unsur kekerasan, pemaksaan dan apalagi makar. 

Persekusi terhadap Pendakwah Khilafah Sebagai Ajaran Islam 

Apa itu persekusi (persecution)? Secara umum, arti persekusi adalah suatu perlakuan buruk dan sewenang-wenang yang dilakukan secara sistematis oleh individu atau kelompok tertentu terhadap individu atau golongan lain dengan cara memburu, mempersusah, dan menganiaya, karena perbedaan suku, agama, atau pandangan politik. Ada juga yang mengatakan bahwa pengertian persekusi adalah suatu sikap/ tindakan permusuhan, pemburuan, dan penganiayaan terhadap seseorang atau golongan tertentu, terutama karena ras, agama, dan keyakinan politik. 

Berdasar definisi tersebut peristiwa penggrudukan kyai, ustadz yang pernah dilakukan oleh ormas atau oleh orang atau pun kelompok orang tertentu dapat diklasifikasikan sebagai persekusi dengan bukti di lapangan telah ada: 

Pertama, tindakan kekerasan (secara psikis): bentakan, paksaan pengakuan, cercaan, perintah memaksa membuat surat pernyataan, ancaman).
Kedua, tindakan permusuhan terhadap kelompok karena perbedaan keyakinan agama dan politik (khilafah), anggota kelompok jelas dpt dideteksi dari ucapan-ucapan pelaku dan suasana "perburuan" oleh kelompok sangat jelas sekali. 

Kalau pelakunya ormas, maka konsekuensi hukumnya kembali kepada UU Ormas karena yang melakukan persekusi itu statusnya sebagai Ormas.  Anggota bahkan Ketua ormas seharusnya patut diduga telah  melakukan persekusi dan tindakan hukum yang memenuhi larangan Ormas sesuai dengan Pasal 59 ayat 3: 

a. Melakukan tindakan permusuhan terhadap agama (ajaran agama), dan kelompok (golongan, HTI), lihat penjelasan ayat ini.

b. Melakukan penistaan agama, penodaan agama dengan pernyataan tentang khilafah sebagai ideologi terlarang dan dengan demikian dianggap bukan bagian ajaran Islam. Ini pelecehan dan penodaan agama (Ps 156a KUHP).

c. Melakukan tindakan kekerasan secara verbal dan psikis terhadap Ustaz, Kyai, mengganggu ketentraman umum dengan cara gerudukan dan teriakan permusuhan.

d. Melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum dengan cara membatasi kebebasan bergerak, melakukan kekerasan psikis dan verbal, menginterogasi dugaan pelanggaran hukum, upaya pemaksaan membuat pernyataan atau perjanjian. 

Sanksinya dapat berupa:
(1) Sanksi Administratif. Pencabutan Badan Hukum atau SKT Ormas sekigus pembubaran ormas oleh Menkum HAM.
(2) Sanksi Pidana. Anggota / Pengurus dapat dijatuhi pidana penjara mulai dari 6 bulan hingga 1 tahun (Ps 59 c dan d) atau seumur hidup  atau minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun (Ps 59 a dan b). 

Menurut saya tidak fair bila kita mengharamkan khilafah dan memusuhi orang yang mempelajari dan mendakwahkan khilafah, apalagi hendak disusun proposal tentang protokol kampus anti khilafah. Itu tidak fair! Mengapa, karena dalam sejarah selama 1300 tahun umat Islam memang dalam kepemimpinan dengan sistem kekhilafahan, apapun bentuk dan variasinya. 

Bahkan, bukankah beberapa wilayah Indonesia sempat menjadi bagian atau wakil kekhalifahan Ustmani, misalnya Demak, DI Yogyakarta? Jejaknya masih jelas. Bukankah, kita juga pernah dibantu khilafah ketika kita melawan penjajah Belanda? Apakah kita akan melupakan begitu saja jejak kekhalifahan di negeri ini? Itu tidak fair! Itu a-history! 

Khilafah itu jelas terbukti merupakan bagian dari fikih siyasah sehingga khilafah adalah ajaran Islam, bukan ajaran terlarang. Oleh karena itu mendakwahkannya bukanlah tindakan kriminal dan bukan terpapar radikalisme. 

Bahkan, persekusi kepada pendakwah khilafah baik oleh perorangan maupun  organisasi merupakan perbuatan pidana yang dapat dijerat denagan KUHP (Pasal 156a) dan UU ITE serta UU Ormas 2017. Kalau demikian, maka kriminalisasi khilafah dan dakwahnya sebenarnya merupakan tindakan yang bertentangan dengan Pancasila dan Islam itu sendiri. 

Tabik...!!!
Jakarta, 20 Juni 2022


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat 

Posting Komentar

0 Komentar