Jilbab, Sorban, Kopiah Jelang Pemilu 2024: Kadrunisasi Politik atau Politisasi Kadrun?


TintaSiyasi.com -- Ada satu meme viral di pekan ini, beberapa kali lewat beranda Facebook, Instagram, juga Twitter. Meme itu bertuliskan "hijab, gamis, sorban dan peci, semua itu bukanlah budaya Arab, itu adalah budaya menjelang pemilu tiba". Di meme ini ada foto Puan, Jokowi, Erick Tohir, dan Ahok. Pada awalnya saya mau membantahnya, tetapi setelah dirasakan kok ada benernya juga. Kesan pertama yang terlintas itu adalah narasi kadrunisasi politik atau politisasi kadrun. 

Sebenarnya, ada yang lebih sadis, yaitu caption: mendadak kadrun atau semua akan menjadi kadrun pada waktunya. By the way, caption meme itu sebuah satire karena selama ini mereka banyak yang fobia terhadap busana Muslim yang disebutnya sebagai budaya Arab. Semua yang berbau Arab dilecehkan hingga pernah juga dilarang (hijab, celana cingkrang, jenggot, gamis dan lain-lain). 

Mereka menjuluki sebagai pakaian ala gurun dan pemakainya dengan julukan kadrun. Namun, mereka mendadak kadrun ketika ada maunya, untuk kampanye jelang pemilu atau ketika mereka diproses hukum karena melakukan kejahatan. 

Ada dua istilah yang mirip tetapi maknanya jauh berbeda, ada kaitannya juga dengan meme ini, yaitu: politisasi Islam vs islamisasi politik. Kedua hal ini sebenarnya masuk ranah pembicaraan tentang agama dan politik. 

Mengutip pendapat Masykuri Abdillah, Guru Besar dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Rais Syuriyah PBNU, secara teoretik, sebenarnya pelibatan agama dalam politik oleh penganutnya dimaksudkan untuk: pertama, mengawal agar politik sesuai dengan etika dan ajaran agama, kedua, melegitimasi aspirasi dan prilaku politik dengan ajaran agama, dan ketiga, membangun identitas dan solidaritas sosial. 

Karena sebagian besar negara di dunia, agama tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dari negara, maka agama pun tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dari politik dan sebaliknya. Pelibatan agama dalam politik tidak bertentangan dengan demokrasi, dan hal ini pun terjadi di negara-negara Barat yang notebene sekuler. 

Penggunaan agama dalam politik disebut politisasi agama, jika pelibatan agama dalam politik dilakukan: pertama, berdasarkan dalil-dalil keagamaan atau argumentasi yang bersifat diperselisihkan (khilafiyah), kedua, penggunaan agama disertai kampanye negatif, kebencian dan/atau permusuhan terhadap lawan politik, ketiga, berorientasi hanya kepentingan kelompok, dan mengabaikan kepentingan nasional. 

Dengan demikian, jika penggunaan ajaran agama itu merupakan ajaran agama yang absolut (qath’i), maka pelibatan agama dalam politik tidak bisa disebut politisasi agama. Tentu saja dengan syarat, jika hal ini disampaikan dengan santun dan tidak disertasi dengan kampanye negatif atau ujaran kebencian terhadap lawan politik dan tetap berorientasi kepada kepentingan umum (nasional). 

Namun, jika penggunaan agama ini disertai dengan kebenciaan terhadap calon lainnya yang berbeda orientasi politik atau agama mereka, maka hal ini merupakan politisasi agama. 

Jadi, bisa kita simpulkan beberapa hal terkait dengan politisasi agama, yaitu: 

Pertama, pengertiannya: 

Politisasi Islam: memperalat Islam sebagai sarana meraih tujuan tertentu. Politisasi agama (Islam) adalah politik manipulasi mengenai pemahaman dan pengetahuan keagamaan/kepercayaan. 

Kedua, strateginya: 

Menggunakan propaganda, indoktrinasi, kampanye, disebarluaskan, sosialisasi dalam wilayah publik dilaporkan atau diinterpretasikan agar terjadi migrasi pemahaman, permasalahan dan menjadikannya seolah-olah merupakan pengetahuan keagamaan/kepercayaan. 

Ketiga, tujuannya: 

Untuk memengaruhi konsensus keagamaan/kepercayaan dalam upaya memasukan kepentingan sesuatu ke dalam sebuah agenda politik pemanipulasian  masyarakat atau kebijakan publik. 

Penggunaan isu-isu agama (politisasi agama) dalam pemilihan di Indonesia juga terjadi di Indonesia, terutama pada masa kampanye Pemilihan Presiden (Piplres) 2014, Pilkada DKI 2016, dan juga pemilu 2019, serta mungkin juga telah, sedang dan akan terjadi menjelang Pemilu 2024 yang akan datang. 

Dulu sempat muncul ungkapan tokoh politik yang bisa disebut sebagai politisasi agama, misalnya partai-partai yang tergabung dalam kelompoknya adalah partai Allah (hizb Allâh) dan disebut juga poros Mekah, sedangkan partai-partai yang tergabung dalam kelompok lain adalah partai setan (hizb al-syaithân) dan disebut juga poros Beijing. Lalu juga muncul istilah kadrun (kadal gurun) sebagai ucapan peyoratif bagi umat Islam yang kokoh dalam menjalankan syariat secara ketat dan istiqamah dengan maksud agar tumbuh rasa kebencian bagi kelompok tertentu. 

Lalu, bagaimana dengan Islamisasi Politik? Dalam hal ini, ungkapan bahwa agama harus lepas sama sekali dengan politik tentu saja kurang tepat, karena Indonesia adalah negara Pancasila. Berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kita sebagai bangsa yang sangat menghormati kedudukan agama. 

Dengan perkataan lain, kita telah berkonsensus sebagai religious nation state. Agama bahkan sering dilibatkan dalam legitimasi politik untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut di atas. Jika kita bicara Islam, maka di sini dapat terjadi Islamisasi Politik. 

Yakni, pelibatan agama Islam dalam politik namun perlu diekspresikan dengan santun dan melibatkan antara kepentingan politik, termasuk yang politik praktis dan aspek agama, yang perlu diperhatikan adalah pelibatan agama ini tidak menimbulkan perpecahan, kebencian dan konflik SARA. Hal ini mengingat Islam itu bukan agama ritual saja melainkan agama kaffah, agama politik. Jadi politik Islam, ada pemerintahan Islam, ekonomi Islam, budaya Islam dan lain-lain. 

Seberapa bahaya isu ‘politisasi Islam’ ini? Jika pelibatan agama dalam politik ini tidak diekspresikan dengan santun dan benar, akan berkaibat: 

(1) Mencampuradukkan antara kepentingan politik praktis dan agama, sehingga pelibatan agama ini dapat menimbulkan perpecahan, kebencian dan konflik SARA. 

(2)  Politisasi agama akan merendahkan posisi agama karena agama hanya sebagai alat memperoleh kekuasaan. 

Dalam konteks ini, ajaran Islam sebenarnya sudah jelas menyatakan keharusan berbuat adil termasuk terhadap kelompok yang tidak disukai (Q.S. al-Maidah: 8), larangan komersialisasi atau manipulasi ayat Al-Qur'an (Q.S. al-Baqarah: 41), larangan fitnah dan adu domba (Q.S. al-Qalam: 10-11 dan Q.S. al-Lumazah: 1), dan larangan mengolok-olok atau membenci kelompok lain (Q.S. al-Hujurat: 11 dan al-An’am: 108). 

Kita sudah memahami perbedaan antara politisasi Islam dan Islamisasi politik. Jika ‘islamisasi politik’ itu tujuan, ada beberapa hal yang harus kita lakukan sebagai muslim. 

(1) umat Islam harus melek politik agar tidak dimanfaatkan oleh politikus jahat untuk melegitimasi kebijakan politiknya.  Buta politik sama saja umat Islam menyerahkan lehernya untuk "digorok" petualang politik hitam. 

(2) Umat Islam harus sadar bahwa Islam bukan hanya persoalan ritual agama seperti sholat, zakat, puasa, haji melainkan juga mengurusi soal politik dan ekonomi. Ini yang krusial karena akan dimusuhi oleh pihak yang tidak setuju ajaran Islam mewarnai politik dan ekonomi yang dinilai akan mengancam kepentingan mereka. 

(3) Perjuangan umat Islam agar politik (tata pemerintahan) dijalankan secara benar harus terus dilakukan yakni dengan menjadikan syariat Islam sebagai bingkai dalam mengatur pemerintahan negara yang mampu melindungi semua warga negara tanpa kecuali. Apakah ini salah? Saya yakin tidak salah karena 87,19 persen penduduk Indonesia itu Muslim sehinga wajar jika yang 87,19 persen ini ingin agar syariat Islam ditegakkan dalam sistem pemerintahan. 

Namun, ketika sistem demokrasi berkuasa, maka sangat sulit terjadi mengingat umat Islam pun sebagian besar menolak penerapan syariat Islam secara kaffah. Ini yang sangat ironis, umat Islam meragukan syariat Islam sendiri. Apakah dakwah harus berhenti dengan melihat fakta ini? 

Saya kira dakwah itu kewajiban semua Muslim, soal hasil kita serahkan kepada Allah. Yang penting adalah menentukan koordinat kita di mana. Anda di posisi barisan pejuang ataukah pecundang? Kembali ke persoalan kita: hindari politisasi agama dan perjuangkan Islamisasi politik! Di sisi lain, hindari kadrunisasi politik atau pun politisasi kadrun karena yang ada adalah Muslim sejati, dari mana pun latar belakangnya.


Tabik...!!!
Semarang, Ahad: 29 Mei 2022


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

(Simak videonya di Youtube Prof. Suteki:
https://youtu.be/pr8N-K0wr4I)

Posting Komentar

0 Komentar