Eljibiti, Propaganda Global nan Binal dalam Demokrasi Liberal


TintaSiyasi.com -- Kala kebejatan kian berani dipertontonkan. Inilah yang terjadi belakangan ini. Pelaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (eljibiti) sering mendapatkan panggung untuk hadir di ruang publik. Sempat geger, beberapa hari lalu pasangan gay Ragil dan Fred diundang oleh Deddy Corbuzier dalam podcast-nya. Sebelumnya, Deddy juga mengundang pasangan lesbian tampil pada kesempatan serupa. 

Tak urung, kontennya menuai polemik. Ormas keagamaan hingga kementerian berkomentar. Berujung hilangnya seratus ribu subscribers di akun YouTube dan 56 ribu followers Instagram. Sanksi sosial yang tak seberapa dibandingkan azab Allah SWT yang bakal diterima sebagai promotor kebejatan kaum sodom. Deddy pun minta maaf lalu menghapus videonya.

Menarik respons dari Menkopolhukam Mahfud MD. Ia berpendapat, karena ini negara demokrasi maka negara tak berwenang melarang Deddy menampilkan eljibiti di podcast miliknya. Menurutnya, rakyat pun berhak mengkritik Deddy seperti halnya Deddy berhak menampilkan video wawancara dengan eljibiti tersebut (detik.com, 10/5/2022).

Pernyataan Menkopolhukam tersebut justru membuka tabir yang menyelubungi demokrasi selama ini. Pendapatnya seolah mengkonfirmasi memang demokrasi membebaskan perilaku eljibiti. Tak aneh karena demokrasi adalah sistem pemerintahan yang lahir dari rahim sekularisme, ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan. Mengagungkan kedaulatan rakyat, demokrasi sekularistik meniscayakan aturan hidup dibuat manusia. Bukan pada Tuhannya manusia. 

Berkelindan dengan liberalisme, demokrasi tegak dengan empat pilar kebebasan yaitu: kebebasan beragama, kepemilikan, berpendapat, dan bertingkah laku. Atas nama hak asasi manusia (HAM), kemaksiatan bebas dilakukan. Jadilah demokrasi liberal sebagai lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya eljibiti. 
  
Eljibiti, Gerakan Global Terstruktur, Sistematis, dan Masif Berbasis Sekularisme

Masifnya dukungan terhadap eljibiti sungguh mengkhawatirkan. Padahal jumlah kaum sodom sudah sangat banyak. Bisa dikatakan Indonesia mengalami darurat eljibiti. Data Kemenkes tahun 2012, ada sekitar 1.095.970 LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki) di Indonesia. Jumlah ini naik 37 % dari tahun 2009. Hingga tahun 2022 saat ini, sangat mungkin bertambah ribuan lagi.  

Dari data beberapa lembaga survey independen, Indonesia memiliki populasi 3% eljibiti. Berarti dari 250 juta penduduk, 7,5 jutanya adalah eljibiti. Kini, mereka kian berani tampil di publik dengan menggelar pesta sex gay, berkumpul di tempat umum, beradegan tak senonoh di sudut–sudut kota, hingga membuat grup komunitas di media sosial.

Menjamurnya eljibiti menjadi ironi. Mengingat perilaku ini dilaknat dalam agama (Islam) dan terlarang secara hukum dan moral. Islam jelas mengharamkan eljibiti sebagaimana kisah Nabi Luth yang Allah perintahkan untuk melarang eljibiti. Dalam Islam, eljibiti dikenal dalam dua istilah yaitu liwath (gay) dan sihaaq (lesbian). Kaum gay sudah ada sejak kaum Luth as. Allah SWT menamai perbuatan menyimpang ini sebagai perbuatan keji (fahisy) dan melampaui batas (musrifun). 

Sementara dalam perspektif hukum dan HAM, setidaknya ada tiga hal yang perlu ditekankan terkait eljibiti. Pertama, menjalankan hukum bukan hanya dengan logika tapi juga rasa. Bercermin pada pendapat-pendapat di berbagai diskusi, tidak sedikit orang yang mengagungkan positivism hukum. Menjadikan seolah semua serba technics automate mechanistic. 

Kepastian didewakan, HAM diagung-agungkan seolah hidup hanya memenuhi keserakahan individu memuaskan hasrat birahi meski menyimpang dari kodrat ilahi. Logika dituhankan seolah diri tak pernah tersusun rasa dan karsa yang penuh hasrat pada pencarian kebenaran ilahi. Jangankan diyakini, ilahi justeru disebut ilusi. Adanya tak pernah dirasakan karena logikanya selalu terjebak segala empirika. 

Kedua, ini bukan Amerika atau Eropa tapi Indonesia, bumi di titik sudut Asia yang kaya dengan nilai oriental-transenden. Mistisisme menjadi ruh perilaku kita untuk tidak mengandalkan cipta, logika, tapi juga rasa. Berhukum pun tidak boleh hanya mengandalkan logika, melainkan juga rasa (compassion). Cara bertindak kita tidak sama ala Amerika dan Eropa, diakui atau pun tidak. Lalu, mengapa kita mati-matian mengidentifikasi diri untuk sejalan (mengimitasi) agar cara kita berhukum dan berpolitik sama dengan mereka? 

Indonesia tidak mengikuti aliran Hukum Murni (reinerechtslehre) secara letterlijk. Sejak 1964 bersambung dengan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman mulai UU No. 14 Tahun 1970 hingga sekarang UU No. 48 Tahun 2009 selalu mengamanatkan: (1) Memutus demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa, bukan peraturan belaka; (2) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat; (3) Pancasila mulai Tap MPRS XX/MPRS 1966 hingga UU No. 12 Tahun 2011 dijadikan sebagai sumber hukum nasional; (4) Pembangunan hukum nasional Indonesia juga bersumber dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum modern.

Inilah yang mewajibkan kita untuk tidak memisahkan antara hukum, moral, dan agama. Upaya memisahkannya berarti menggiring kepada jurang keruntuhan negara religious nation state. Berdasarkan prinsip ini, para penegak hukum khususnya hakim apalagi hakim konstitusi wajib membaca hukum dan konstitusi secara moral (moral reading on constitution). 

Ketiga, membaca HAM sebagaimana tertuang dalam UUD NRI 1945 harus dengan bingkai moral dan agama. Keduanya berfungsi membatasi hingga melarang perbuatan yang dinilai bertentangan moral dan agama. Dengan prinsip agung ini, akankah kita biarkan eljibiti sebagai penyimpangan seksualitas terus berkembang tanpa mengambil langkah seribu demi mencegahnya? 

Hukum dapat dipakai sebagai sarana preventif dan represif menyelamatkan manusia dari kehancuran rasnya. Dengan catatan, cara kita berhukum tidak boleh hanya mengandalkan logika melainkan juga rasa mengagungkan keluhuran umat manusia sesuai harkat dan martabatnya. 

Di sisi lain, ada persoalan tersendiri terkait isu diskriminasi yang dialami eljibiti di mata hukum. WHO telah menghapus eljibiti dari daftar penyakit mental (Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders). Menurut mereka, eljibiti adalah perilaku normal bukan kelainan mental. Bahkan sebagai wujud pengakuan terhadap eksistensinya, kini telah ditetapkan Hari Gay Sedunia, ada 14 negara yang membolehkan pernikahan sejenis, dan hanya tiga negara yang menganggap eljibiti sebagai kriminal (Republika, 12/02/2016). 

Masifnya pergerakan eljibiti di abad 21 ini karena tak lagi sebagai aktivitas individual atau semacam komunitas sosial. Melainkan menjadi gerakan global  terorganisir di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Penyebaran dan kampanye komunitas eljibiti di Indonesia banyak dipengaruhi oleh serangan budaya asing dan disokong dana oleh lembaga-lembaga asing seperti USAID, AusAID, UNAIDS, dan UNFPA. Pendanaan paling luas dan sistematis oleh Hivos, sebuah organisasi Belanda yang berkolaborasi dengan Ford Foundation.

Mereka mengkampanyekan program-programnya melalui berbagai sarana dan prasarana yaitu:
 
1. Jalur Akademik (Intelektual) 

Memanfaatkan perguruan tinggi sebagai sarana mempromosikan gerakannya, misalnya membuat ”Prinsip-Prinsip Yogyakarta” (The Yogyakarta Principles) yang mendukung keberadaan kaum eljibiti. Muncul lembaga-lembaga pro eljibiti di Universitas Indonesia (UI) bernama SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies) Januari 2016 lalu. 

2. Jalur Sosial Budaya
 
Keberadaan LGBT dipropagandakan lewat berbagai media: advokasi, konsultasi, film, aksi lapangan, seni, media massa, dan sebagainya. Bertujuan agar terjadi pemahaman umum sehingga masyarakat menerima keberadaannya. 

3. Jalur Jaringan/Komunitas

Tahun 2016 di Indonesia ada 2 jaringan nasional pendukung eljibiti dan 119 kelompok eljibiti di 28 propinsi (dari 34 propinsi) di Indonesia dengan jutaan pengikut. Atas sponsor UNDP dan USAID, pada 13-14 Juni 2013, mereka mengelar Dialog Komunitas eljibiti Nasional Indonesia di Nusa Dua Bali. Pesertanya 71 orang dari 49 lembaga pro eljibiti di Indonesia.

4. Jalur Bisnis 

Keberadaan kaum eljibiti mendapatkan dukungan opini dan dana dari dunia bisnis. Beberapa merek dagang dunia terang-terangan berkampanye pro eljibiti. Misalnya: Facebook, Whatsapp, LINE, dan lain-lain  yang mempunyai simbol atau emoticon pro eljibiti.

5. Jalur Politik 

Eljibiti telah menjelma sebagai gerakan politik karena didukung oleh Amerika Serikat, negara superpower yang melegalkan pernikahan sejenis pada tahun 2015, menyusul dua puluhan negara Barat lainnya. Rasa jumawa mereka bertambah karena PBB melindungi dan mengakui hak-hak mereka dalam UN Declaration on Sexual Orientation and Gender Identity pada Desember 2008. Pun mengeluarkan seruan menanggulangi diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender pada April 2011, sebagai komitmen menentang segala jenis diskriminasi terhadap pelaku eljibiti. Sekaligus memantau negara-negara dalam melindungi eljibiti dan menyerukannya mencabut UU dan kebijakan diskriminatif.

Jelas propaganda eljibiti merupakan konspirasi global yang berbahaya bagi negeri ini. Masifnya dukungan global terhadapnya telah membuka kran penyebaran idenya secara liar. Diduga merupakan upaya sistematis untuk menjauhkan masyarakat Indonesia dari ajaran agamanya alias sekularisme.  

Pelakunya selalu berlindung di bawah ketiak HAM. Penentang eljibiti sering dicap sebagai pelanggar HAM. Sebaliknya, pelaku dan pendukungnya disebut sebagai pembela HAM. HAM merupakan ide yang muncul dari prinsip hidup sekularisme liberal. Dalam masyarakat sekuler, seseorang bebas berperilaku termasuk melampiaskan hasrat seksual. Dengan siapa pun dan cara apa pun.

Karenanya harus ditolak dan dilawan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Perlawanan dari segi hukum harus siap sanksi bagi pelaku. Apakah ini diskriminatif? Mungkin iya! Namun, diskriminasi itu diperbolehkan untuk mencegah maraknya kejahatan seksual yang jelas haram secara agama. Pun tidak termasuk diskriminasi yang dilarang oleh UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. 

Jika perilaku menyimpang ini berkembang, siapkah kita menerima peringatan-Nya berupa bencana dan malapetaka? Sebagaimana yang pernah Allah SWT timpakan kepada kaumnya Nabi Luth as.

Dampak Eljibiti terhadap Penciptaan Ketertiban  di Tengah Interaksi Sosial yang Kompleks

Agar publik menerima eksistensi kaum gay, para pendukungnya sering menyampaikan faktor penyebab eljibiti adalah genetis (bio genic). Mereka menyebutnya dengan teori ‘gen gay’ (gay gene theory) atau teori ‘lahir sebagai gay’ (born gay). Jika ditelisik, eljibiti diakibatkan oleh salahnya asuh (psycho genic) dan salah budaya/lifestyle (socio genic). Bukan sebab bawaan lahir atau genetis.

Contoh salah asuh ialah orang tua tidak membekali pendidikan agama, tidak menjalin hubungan baik dengan anak, tidak peduli teman bergaul anak, memperlakukan anak tidak sesuai jenisnya, anak laki–laki kehilangan figur ayah. Sementara salah budaya/gaya hidup misalnya bergaul dengan komunitas eljibiti, terpapar kampanyenya dari internet.

Adapun dampak dari perilaku eljibiti adalah hal-hal berbahaya, yaitu:  

1. Bahaya secara medis 

a. 78% pelaku homoseksual terjangkit penyakit menular (Prof. Abdul Hamid Al-Qudah, spesialis penyakit menular dan AIDS di Asosiasi Kedokteran Islam Dunia dalam bukunya Kaum Luth Masa Kini).

b. Gay 2x lebih tinggi terkena resiko kanker anus dan mulut dibandingkan pria normal (penelitian oleh Cancer Research di Inggris pada 2001, 2003, 2005).

c. Rentan terhadap penyakit HIV/AIDS. Tahun 2010 terdapat 50 ribu infeksi HIV baru, dua pertiganya adalah gay (data CDC/Centers for Disease Control and Prevention AS).

d. Wanita transgender resiko terinfeksi HIV 34x lebih tinggi dibanding wanita biasa (Republika, 12/2/2016).

e. Di Indonesia, penularan HIV di kalangan LGBT meningkat signifikan. Dari 6% pada tahun 2008, naik menjadi 8% di 2010, menjadi 12% di tahun 2014. Sedang jumlah HIV di kalangan PSK cenderung stabil 8–9% (Republika, 12/2/2016).

2. Bahaya dari sisi agama

a. Merupakan perbuatan terlaknat yang sangat bertentangan dengan ajaran agama. Pelakunya dinilai berdosa besar yang layak mendapatkan azab pedih.

b. Pelaku eljibiti cenderung memperturutkan nafsu syahwatnya. Orang yang lebih mengutamakan pemenuhan satu naluri (seksual), akan cenderung melalaikan pemenuhan naluri beragamanya. Sehingga ia akan jauh dari Allah SWT dan pengamalan agama-Nya.

c. Perilaku eljibiti yang masif dipromosikan akan dianggap sebagai kenormalan. Kemaksiatan yang terus dilakukan dan dipertontonkan akan dianggap sebagai kebenaran. Akibatnya, pelakunya akan bertambah.

3. Bahaya sosial 

a. Mengancam eksistensi keluarga. Pelaku eljibiti menganggap tidak harus menikah dengan lain jenis untuk mendapatkan kenikmatan seksual. Akibatnya keberadaan (ketahanan) keluarga kian berkurang. 

b. Menghambat pertumbuhan umat manusia. Pasangan sesama jenis tidak akan bisa melahirkan keturunan, sehingga mereka mencari solusinya dengan sewa rahim. 

4. Bahaya moral 

a.Merusak tatanan masyarakat. Seorang gay bisa punya pasangan 20–106 orang pertahunnya. Adapun pasangan zina heteroseksual tidak lebih dari 8 orang seumur hidupnya. Bahkan ditemukan sekitar 43% gay selama hidupnya melakukan homoseksual dengan 500 orang bahkan lebih. 79% dari mereka mengatakan bahwa pasangan sejenisnya itu merupakan orang yang tidak dikenalnya sama sekali.

b. Moral masyarakat kian terpuruk. Salah satunya, akibat dari pelaku eljibiti belia yang putus sekolah tanpa bekal pendidikan hingga perilaku negatif yang kian banyak. 

5. Bahaya dari sisi hukum

a. Memunculkan tindakan kriminal. Beberapa gay menjadi psikopat yang mudah membunuh dan memutilasi orang lain. Seperti kasus Ryan yang membunuh sebelas nyawa di Jombang, Jawa Timur.

b. Menimbulkan persoalan hukum. Pelaku eljibiti bebas berkeliaran di negeri ini sebab dari aspek legalitas belum ada payung hukum untuk mengatur, melarang atau memberikan sanksi. 

Demikian berbagai bahaya akibat perilaku eljibiti. Mengingat bahayanya yang begitu besar bagi kehidupan umat Islam yaitu mengancam kelangsungan jenis manusia, generasi dan peradaban Islam, maka perilaku ini wajib ditolak dan dihilangkan.

Penanganan Eljibiti Melalui Strategi Multidisiplin untuk Mencapai Tertib Hukum, Agama, dan Moral yang Dinamis 

Allah menurunkan Islam sebagai ajaran rahmatan lil alamin. Salah satu tujuan syariat Islam (maqoshid syariah) adalah melestarikan nasab (keturunan) manusia. 

”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya. Dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya, kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisa: 1)

Islam memandang bahwa perilaku eljibiti hukumnya haram dan dinilai sebagai tindak kejahatan (al jarimah) yang harus dihukum. Sanksi Islam terhadap lesbian berupa ta’zir yaitu hukuman yang tidak dijelaskan oleh nash khusus, jenis dan kadarnya diserahkan pada qadli, bisa berupa cambuk, penjara, publikasi, dll. Bagi pelaku gay (liwath), jumhur ulama bersepakat mereka dihukum mati. Sementara bagi transgender, jika sekadar berbicara atau berbusana menyerupai lawan jenis, hukumannya diusir dari pemukiman. 

Mencermati bahaya LGBT yang kampanyenya berskala global dan bersifat politis, tentu umat Islam tak cukup melakukan boikot terhadap perusahaan yang mendukungnya. Meskipun boikot dari konsumen ke produsen merupakan tindakan moral legal sebagai instrumen menyuarakan aspirasi di pasar global dan untuk meningkatkan sensitivitas konsumen. Namun, dampak boikot hanya merugikan perusahaan itu sendiri, bukan menyelesaikan tuntas akar masalah LGBT.

Solusi menangani perilaku eljibiti meliputi solusi jangka pendek dan panjang, yaitu:

1. Solusi jangka pendek (praktis):

a.Sebagai orang tua:

1). Mendidik anak berlandaskan iman takwa serta pemahaman syariat.

2). Memahamkan adab dan batasan pergaulan baik dengan lawan maupun sesama jenis seperti menutup aurat, tidak mandi bareng, tidak tidur dalam satu selimut.

3). Menjalin hubungan baik dengan anak melalui komunikasi efektif dalam nuansa kasih sayang.

4). Mendidik anak sesuai karakter jenisnya.

5). Memantau teman bergaul si anak.

6). Mengarahkan dan memantau anak dalam menggunakan media sosial.

b. Sebagai bagian dari masyarakat. 

Islam memerintahkan amar makruf nahi mungkar yang berfungsi sebagai sistem kekebalan dalam masyarakat untuk mencegah penyebaran penyakit sosial. Tugas kita sebagai bagian masyarakat ialah:

1). Mengedukasi masyarakat tentang buruknya perilaku eljibiti berikut ajaran HAM. Ajaran HAM bertentangan dengan Islam dan membahayakan kemanusiaan itu sendiri. Akibat paham kebebasan individual sehingga tidak peduli kemaslahatan orang banyak, apalagi generasi masa depan.  

2). Menyampaikan bahwa Islam memelihara keturunan umat manusia dan semua yang dilarang Allah pasti bertentangan dengan fitrah manusia.

3). Peduli dan amar makruf nahi mungkar. Dr. Adian Husaini berpendapat bahwa bentuk kepedulian terbaik kepada para pelaku homoseksual adalah menyadarkan bahwa perilakunya menyimpang. Lalu mendukung mereka untuk bisa sembuh dan kembali pada kodratnya. Bukan memotivasi untuk tetap mengidap perilaku menyimpang dan dibenarkan atas nama HAM. 

4). Jika menemukan pelaku eljibiti di sekitar tempat tinggal, segera lapor penguasa setempat/digerebek bareng warga. Meski saat ini belum tersedia pasal hukum untuk menjerat, minimal pelaku tahu bahwa perilakunya tidak diterima oleh masyarakat.

c. Pemerintah harus hadir dan jangan membiarkan pengrusakan sendi-sendi kehidupan berbudaya dan berbangsa terjadi. 

1). Memberikan perlindungan kepada anak bangsa dari ancaman budaya, gaya hidup, dan ideologi yang merusak kepribadian.

2). Tidak membiarkan masuknya bantuan luar negeri yang mendukung kampanye eljibiti berdalih HAM, demokrasi, dan penghapusan diskriminasi.

3). Memberikan edukasi tentang kerusakan eljibiti dan menerangkan gaya hidup agamis sebagai filter pengaruh eljibiti.

4). Memfasilitasi kalangan akademisi dan ilmuwan melakukan kajian mendalam tentang eljibiti dengan pendekatan multidisiplin. Bukan untuk memperkokoh eksistensi eljibiti, tetapi membebaskan masyarakat dari belenggu pengaruhnya. Dengan dukungan ormas keagamaan, misi ini akan lebih produktif.

5). Menegakkan hukum dengan menyiapkan sanksi sepadan bagi pelaku eljibiti. Jika tidak ada sanksi apa gunanya hukum? Bukankah hukum dibuat sebagai sarana mencegah dan membuat jera pelaku kriminal?

2. Solusi jangka panjang (strategis)

Eljibiti tak lagi sekadar masalah individual-sosial, melainkan problem bernuansa politis yang makin eksis dengan dukungan negara-negara Barat yang notabene memusuhi kaum Muslimin. Bahkan diduga kuat merupakan salah satu propaganda Barat untuk merusak dunia Islam. 

Jika umat Islam hendak mencabut hingga ke akar–akarnya, tentu tak cukup hanya dengan boikot produk sponsornya, tetapi sekaligus memboikot sistem hidup yang memfasilitasi tumbuh dan berkembang biaknya perilaku sesat ini. Menjadi keniscayaan pergantian sistem kehidupan dari sekularisme liberal menuju tatanan Islam yang menerapkan aturan Allah SWT dan Rasul-Nya. Mari bersama mewujudkannya.[]

Pustaka:

Al Jawi, Muhammad Shiddiq, Fiqih Ijtima’i: Eljibiti, Bahaya dan Solusinya Menurut Syariah Isl

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar