Apakah Orang Tua Berhak atas Uang Sangu Lebaran yang Didapat Anaknya?

TintaSiyasi.com -- Sebab-sebab kepemilikan sudah dijelaskan dalam kitab an Nizham Alliqtishadi karya al Imam Taqiyuddin Annabhani rahimahullahu ta'ala. Di sana tidak ada disebutkan bahwa: di antara sebab kepemilikan adalah apapun harta milik anak.

Adapun hadis yang dipahami keliru sebagai sebab kepemilikan orang tua atas harta anaknya secara mutlak, yaitu yang berbunyi:

أنت ومالك لأبيك

"Anda dan harta anda adalah 'milik' Bapak anda."

Yang benar adalah harf "li" yang biasanya diterjemahkan "milik" di situ bukan berarti: menjadikan kepemilikan (at-tamlik). Melainkan untuk kebolehan (al-Ibahah) dalam kondisi dan batas tertentu.

Al-Imam Ibnu Raslan menjelaskan sebagaimana dikutip Asy Syaukani dalam Nailul Authar nya:

ﻗﻮﻟﻪ: (ﺃﻧﺖ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻷﺑﻴﻚ) ﻗﺎﻝ اﺑﻦ ﺭﺳﻼﻥ: اﻟﻻﻡ ﻟﻹﺑﺎﺣﺔ ﻻ ﻟﻠﺘﻤﻠﻴﻚ، ﻓﺈﻥ ﻣﺎﻝ اﻟﻮﻟﺪ ﻟﻪ ﻭﺯﻛﺎﺗﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﻮﺭﻭﺙ ﻋﻨﻪ.

Kebolehan mengambil di situ dari aspek berbakti terhadap orang tua (al-birr) dan pemuliaan atasnya (ikram). 

Dijelaskan oleh Al Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitab Alistidzkar beliau:

ﺃﻥ ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ (ﺃﻧﺖ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻷﺑﻴﻚ) ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻰ اﻟﺘﻤﻠﻴﻚ ﻭﻛﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻗﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼﺓ ﻭاﻟﺴﻼﻡ (ﺃﻧﺖ) ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻰ اﻟﺘﻤﻠﻴﻚ ﻓﻜﺬﻟﻚ ﻗﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼﺓ ﻭاﻟﺴﻼﻡ (ﻭﻣﺎﻟﻚ) ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻰ اﻟﺘﻤﻠﻴﻚ ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻋﻠﻰ اﻟﺒﺮ ﺑﻪ ﻭاﻹﻛﺮاﻡ ﻟﻪ. 

Maksudnya, jika orang tua sedang kepepet butuh harta dan anaknya sedang berada, maka sebagai bentuk birr dan ikram nafkah atasnya menjadi tanggunggan anak tersebut. Kalaupun anak tidak menafkahi, orang tua boleh mengambil harta anaknya sebatas yang dibutuhkan saja. Selebihnya tidak halal, apalagi tidak dalam kondisi membutuhkannya.

Sebagaimana dijelaskan misalnya oleh al Imam As Sindi dalam Hasyiyahnya atas Sunan Ibn Majah:

ﻭﻗﺎﻝ ﻟﻪ: ﺃﻧﺖ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻟﻮاﻟﺪﻙ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﻨﻰ ﺃﻧﻪ ﺇﺫا اﺣﺘﺎﺝ ﺇﻟﻰ ﻣﺎﻟﻚ ﺃﺧﺬ ﻣﻨﻪ ﻗﺪﺭ اﻟﺤﺎﺟﺔ ﻛﻤﺎ ﻳﺄﺧﺬ ﻣﻦ ﻣﺎﻝ ﻧﻔﺴﻪ.

Hampir mirip dengan sorang istri yang boleh mengambil harta suaminya secara diam-diam, sebatas haknya sebagai nafkah, saat suami berharta namun tidak mau menafkahi istrinya zhulman.

Mengingat juga sebab wurudnya, terkait orang tua yang butuh harta sedang anaknya orang yang berada, namun malah menginfakkan harta kepada orang lain. Padahal menafkahi orang tua sendiri yang sedang membutuhkan itu lebih utama daripada sedekah kepada orang lain.

Jadi memahami hadits sebagai kemubahan secara mutlak harta anak bagi orang tuanya adalah tidak benar, dan tidak ada satupun ulama yang berpendapat demikian.

Dalam lanjutan keterangan Al Imam As Sindi di atas disebutkan:

ﻓﺄﻣﺎ ﺇﺫا ﺃﺭﺩﻧﺎ ﺑﻪ ﺇﺑﺎﺣﺔ ﻣﺎﻟﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﺠﺘﺎﺡ ﻭﻳﺄﺗﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﻻ ﻋﻠﻰ ﻫﺬا اﻟﻮﺟﻪ، ﻓﻼ ﺃﻋﻠﻢ ﺃﺣﺪا ﺫﻫﺐ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻦ اﻟﻔﻘﻬﺎء.

Al Imam Al Munawi juga menjelaskan dalam Faidhul Qadir nya:

ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺇﺫا اﺣﺘﺎﺝ ﻟﻤﺎﻟﻚ ﺃﺧﺬﻩ ﻻ ﺃﻧﻪ ﻳﺒﺎﺡ ﻟﻪ ﻣﺎﻟﻪ ﻋﻠﻰ اﻹﻃﻼﻕ ﺇﺫ ﻟﻢ ﻳﻘﻞ ﺑﻪ ﺃﺣﺪ.

"Arti hadis itu: apabila orang tuamu membutuhkan hartamu maka dia boleh mengbilnya. Bukan berarti harta anaknya menjadi mubah baginya secara mutlak. Sebab tidak ada satupun ulama yang berpendapat demikian."

Memperkuat hal itu, sebagaimana disinggung oleh Ibnu Raslan di atas: 

Bahwa zakat atas harta anak adalah tanggungan si anak sendiri, dalam menunaikannya.

Jika memang harta anak itu milik bapak, harusnya yang membayar zakat harta anaknya adalah bapak. Namun tidak demikian yang berlaku.

Dan juga bahwa jika si anak meninggal, sang bapak mendapat bagian antara: 

• 1/6 : jika ada keturunan laki-laki mayit, 

• 1/6+sisa : jika ada keturunan perempuan mayit tanpa ada keturunan laki-lakinya, atau 

• sisa (sebagai 'ashabah bin nafsi) : jika tidak ada keturunan mayit sama sekali.

Jika memang harta anak itu milik orang tuanya, maka harusnya semua harta peninggalan anak tersebut milik orang tuanya secara keseluruhan 100%.

Juga sebaliknya, jika yang meninggal sang bapak, maka harusnya harta anak juga ikut dibagi sebagai harta waris, karena terhitung harta mayit. 

Namun yang berlaku tidak demikian. Dan yang benar adalah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. 

Sampai sini gamblang, bahw uang sangu yang didapat anak saat lebaran atau pemberian orang di momen-momen lain bukanlah hak bapaknya, bukan pula hak ibunya. Melainkan hak si anak itu sendiri. 

Kebolehan orang tua mengambil terbatas saat dalam kondisi kepepet membutuhkan, dan sebatas yang dibutuhkan saja. 

Kedudukan orang tua dalam hal ini hampir seperti kafil yatama yang membawa harta anak yatim. Yaitu memanajnya, dianjurkan mengembangkannya, membelanjakan untuk si anak yang di luar kewajiban nafkah orang tuanya, dll. Boleh mengbil darinya jika dalam kondisi membutuhkan, dengan ada khilaf di kalangan ulama apakah itu terhitung utang atau tidak. Untuk kemudian menyerahkan yang terkumpul itu saat si anak sudah usia dewasa. 

Demikian, semoga bermanfaat. []


Oleh: Ustaz Azizi Fathoni

Posting Komentar

0 Komentar