Khilafah Ajaran Islam, Solusi Alternatif bagi Bangsa Indonesia


TintaSiyasi.com -- Dalam chatting-an pada suatu Grup WA yang saya ikuti, ada anggota grup yang berpendapat sebagai berikut: 

"Ga ada yg bs diperbuat selain melakukan perubahan fundamental. Presiden baru harus orang yang pede banget; semua parpol yang sudah “berdosa” dibubarkan, sementara pimpinannya dicabut hak politiknya. Pemimpin-pemimpin politik yang telah memungkinkan dan menyebabkan semua malapetaka ini harus mempertanggungjawabkan kelakuannya. Nasionalisasi semua perusahaan yang selama ini telah merugikan negara dan bangsa, tanpa pandang bulu. Sangat keras ya Pak? Memang harus begitu kalau kita mau menyelamatkan NKRI. Tetapi jangan lupa juga untuk mengontrol pemimpin baru sehingga dia tidak melenceng dari kepentingan rakyat." 

Atas komentar tersebut di atas, saya kemudian mengajukan sebuah pertanyaan, dengan sistem apa tindakan-tindakan yang direkomendasikan oleh teman chating saya ini bisa dilakukan? Di bawah sistem pemerintahan apa? Monarchi, Demokrasi (jelas akan berpotensi mengulang kebobrokan demokrasi yang sudah disinyalir oleh Socrates dan Muridnya Plato sejak 600 tahun sebelum Masehi? Ataukah ada alternatif lainnya sebagai solusi tuntas? Jawabnya ada, yaitu sistem Pemerintahan Islam, mau disebut immamah atau khilafah itu soal nomenklatur saja. Jadi, sebenarnya ada proposal baru yang dapat diajukan sebagai alternatif penyelesaian perkara NKRI secara tuntas yakni khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam, yakni khusus terkait dengan fikih Siyasah

Saudara sekalian, namun sebagaimana diketahui, sistem ini terkesan ditolak sebelum didiskusikan terutama oleh pengidap Islamofobia terkait dengan ajaran Islam, khususnya tentang jihad dan khilafah, yakni bernegara ala Nabi, atas contoh Nabi menjadi kepala negara Madinah. 

Pertanyaan yang perlu diajukan adalah:  Salahkah mengikuti cara "bernegara" Nabi itu? Tokoh pejabat nasional Mahfud MD menyatakan bahwa haram hukumnya mendirikan negara ala Nabi di negeri ini. Dalam catatan saya sudah 2 kali Mahfud MD menyatakan hal itu: 

Pertama, dalam diskusi "Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia" di Gedung PBNU, Jakarta, Sabtu (25/1/2020). 

Mantan Ketua MK, Mahfud MD menjelaskan bahwa ada beberapa alasan mengapa negara khilafah tidak boleh diikuti. Mahfudz MD mengatakan: 

"Kita dilarang mendirikan negara seperti yang didirikan nabi karena negara yang didirikan nabi merupakan negara teokrasi di mana nabi mempunyai tiga kekuasaan sekaligus," tutur Mahfud 
Mengapa kok tidak boleh diikuti?  

Ada 3 alasan. 

Di zaman Nabi Muhammad, negara yang dibentuk: 

Pertama, Nabi Muhammad itu lembaga legislatif, 
Kedua, Nabi Muhammad lembaga eksekutif, 
Ketiga, Nabi Muhammad lembaga yudikatif, 

Nabi Muhammad yang membuat hukum berdasarkan wahyu Allah. Kalau dulu Rasulullah dipandu langsung oleh Allah dengan wahyu, lalu sekarang wahyu siapa karena tidak ada lagi Nabi atau Rasul? 

Kedua, pada tahun ini, 2022, Mahfud MD kembali menyebut haram hukumnya mendirikan sebuah negara layaknya pada zaman Nabi Muhammad SAW, tanpa menyebut dalil, Mahfud mengeluarkan hukum haram mendirikan negara seperti negaranya Nabi SAW. Dia mengatakan: 

"Kita enggak bisa dan dilarang membentuk negara seperti yang dibentuk oleh nabi, enggak boleh. Haram hukumnya,". 

Hal itu dikatakan oleh Mahfud pada saat Ceramah Tarawih dengan tema 'Titik Temu Nasionalis-Islam dan Nasionalis-Sekuler dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara' di Masjid UGM, Sleman, Minggu (3/4/2022). 

Menurut saya, kalau pertanyaannya wahyu siapa, Jawabnya mestinya: Wahyu Allah dalam Al-Qur'an. Lalu apalagi dasarnya? Tentu hadis Rasulullah dan juga Ijtihad Para Ulama. Bukankah begitu? Itukan sumber hukum Islam? 

Pertanyaan saya selanjutnya tetap fokus pada: "Apakah betul mengikuti cara Nabi itu salah?" Bukankah Rasulullah itu "uswatun hasanah", suri tauladan yang baik? Lalu, apa yang pantas kita teladani dari Rasulullah? Hanya shalatnyakah, zakatnyakah, hajinyakah, puasanyakah? Bukankah Rasulullah juga memberikan contoh bagaimana mengelola negara, mengelola harta, berhubungan dengan negara luar, berperang, berdagang. Apakah dikira Rasulullah itu hanya sekelas ketua RT? 

Menurut saya tidak fair bila kita mengharamkan khilafah dan memusuhi orang yang mempelajari dan mendakwahkan khilafah. Itu tidak fair! Mengapa? 

Pertama, karena dalam sejarah selama 1300 tahun umat Islam memang dalam kepemimpinan dengan sistem kekhilafahan, apapun bentuk dan variasinya. Bahkan,  bukankah beberapa wilayah Indonesia sempat menjadi bagian atau wakil kekhalifahan Ustmani, misalnya Demak, DI Yogyakarta? Bukankah, kita juga pernah dibantu khilafah ketika kita melawan penjajah Belanda? Apakah kita akan melupakan begitu saja jejak kekhalifahan di negeri ini? Itu tidak fair! Itu a-history

Kedua, taruhlah sistem dan jenis kekhalifahan itu tidak baku, namun apakah sesuatu yang tidak baku itu tidak bisa diikuti? Kalau sekarang kita ikuti sistem pemerintahan demokrasi, apakah demokrasi juga punya bentuk baku? 

Negara mana yang benar-benar menerapkan sistem demokrasi yang benar? Ala Amerika, ala Rusia, Ala China, Ala Eropah, ala Asia, ala Afrika? Sebut, berapa jenis demokrasi yang ada? 

Dan apakah negara yang menganut demokrasi benar-benar menerapkan prinsip dasar demokrasi? Atau mereka tidak tulus menerapkan demokrasi melainkan hanya sekedar pseudo demokrasi? Atau bahkan sebenarnya mereka justru telah membunuh sendiri demokrasi yang mereka puja (harakiri) sebagaimana ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt bahwa demokrasi pun akan mati bila kediktaktoran rezim justru dipertontonkan (how democracies die). 

Ketiga, seandainya memang sistem pemerintahan Islam itu dikatakan tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang majemuk, beragam, pluralistik dll, namun pernahkah kita juga berpikir bahwa apakah zaman Rasulullah dan khulafaur Rasyidin itu masyarakat Madinah juga homogen? Masyarakatnya semua Muslim? Tidak bukan? Ada yang muslim, musyrik, kafir dan tidak beragama juga ada. 

Jadi, ketika hukum Islam diterapkan masyarakat Madinah juga plural, majemuk, beragam. Lalu,  benarkah alasan menolak ide kekhalifahan itu karena pluralitas masyarakatnya? Bukan itu! Alasannya ya karena kita tidak mau dan tentu saja banyak yang merasa terancam karena ditegakkannya hukum-hukum Allah atau setidaknya hukum yang bersumber dari hukum Islam. 

Keempat, memang terbukti varian kekhalifahan itu beragam sistem. Namun, sebagai manusia yang dibekali oleh cipta, rasa dan karsa, tidak bisakah kita menyaring, memilah, dan memilih sistem kekhalifahan terbaik dari sekian banyak varian sistem kekhalifahan itu sebagaimana kita pilih demokrasi Pancasila yang konon terbaik meskipun hingga sekarang pun kita sulit mengidentifikasi karakteristiknya karena Indonesia pun sistem pemerintahannya dikelola tidak lebih dan tidak kurang sama dengan negara liberal bahkan lebih liberal lagi. 

Lalu, demokrasi Pancasila itu yang macem mana? Atau gampangnya begini, dari 7 Rezim yang berkuasa dan semuanya mengklaim rezimnya berideologi Pancasila, coba tunjukkan kepada saya rezim mana yang telah menjalankan dan menerapkan ideologi Pancasila dan oleh karenanya berbeda dengan negara dengan ideologi liberal dan atau komunis? 

Baiklah, bila dari tujuh rezim yang telah berkuasa namun tidak mampu memberikan warna demokrasi Pancasila, lalu apakah diharamkan apabila umat Islam menawarkan resep lain dalam untuk mengatasi segala permasalahan bangsa dan negara Indonesia dengan sistem hukum Islam. Atau setidak-tidaknya menawarkan agar hukum Indonesia itu dibentuk dengan menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukumnya. 

Mengapa kita tidak mengambil strategi ini bahkan makin menjauhkan kehidupan bangsa dan negara dari hukum Alloh? Ataukah memang kini umat Islam masih meragukan bahwa hukum Allah itu sumber hukum terbaik? Ya, saya kira ini persoalannya. Kita masih meragukan hukum Allah sebagai hukum terbaik dan selalu benar karena difirmankan oleh Allah Yang Maha Benar dengan segala firman-Nya? 

Kelima, bila masih meragukan  hukum Alloh sebagai hukum terbaik, tampaknya kita perlu memupuk lagi iman dan takwa kita. Tampaknya pula kita belum pantas disebut sebagai insan yang beriman dan bertakwa itu. Kita masih mengambil dan menggunakan hukum Islam secara prasmanan. 

Bagian hukum yang enak kita kita pilih dan ambil, sedang bagian hukum yang dirasa tidak enak dan bahkan mengancam eksistensi kita, ramai-ramai kita singkirkan, kita halau bahkan kita musuhi. Jika demikian, masihkah kita berharap pada nikmatnya syurga Adn yang dijanjikan bagi orang-orang yang beriman. Mereka tidak pernah takut kepada selain Allah dan mereka tidak pula bersedih hati. Hal itu pula cara Nabi menyikapi riuh rendah hidup di dunia yang fana ini. 

Dengan 5 argumentasi tersebut di atas, apakah mengikuti cara Nabi itu salah? Saya hanya mengabarkan bahwa kita hendaknya fair! Itu saja! 

Akhir kata, sebagai sebuah proposal, mestinya semua pihak menyikapinya secara fair, objektif sebagai gagasan yang dapat didiskusikan dengan hati dan pikiran yang jernih. Tidak boleh apriori, alergi dan berniat mempersekusi proposal tersebut. Ingatlah kata Heraclitus bahwa The world is flux, dunia ini panthareih, mengalir tiada henti dan kekuasaan oun dipergilirkan oleh Allah. Demokrasi pun dapat tumbang dipergantikan dengan sistem yang dijamin Allah paling baik, yakni sistem pemerintahan Islam, yang biasa disebut dengan kekhalifahan. 

Jadi, pilih mana: perpanjangan masa jabatan presiden dengan berbagai skenario (amandemen untuk tunda pemilu, tambah masa jabatan dan 3 periode), ataukah ingin menerima dan menerapkan sistem pemerintahan Islam--khilafah, imammah--- sebagai bagian dari ajaran Islam agar harapan teman chating saya terpenuhi? Atau masihkah kita akan mempertahankan sistem pemerintahan demokrasi yang sudah terbukti cacat celanya sejak 600 tahun sebelum Masehi (Sokrates dan Plato)? Saya kira, hanya sebuah kedunguanlah yang membuat kita mau terjerumus berkali-kali di lubang kesalahan yang sama. 

Ini yang perlu didiskusikan lebih lanjut pada banyak waktu dan kesempatan. Semuanya legal selama tidak ada gerakan pemaksaan, penggunaan kekerasan apalagi melakukan makar. Selamat merenung dan berdiskusi semoga mendapat dan menjadi pencerahan bagi setiap insan beriman. 

Tabik..!!!
Semarang, Rabu: 13 April 2022


Oleh: Prof. Dr. Suteki., S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar