Jaga 'Keberagaman' untuk Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur: Mungkinkah Terwujud dengan Kapitalisme Sekuler?


TintaSiyasi.com -- Dalam peringatan Nuzulul Qur'an, Presiden Republik Indonesia Jokowi berpesan agar tidak ada yang merasa sok suci dan mengajak untuk menjaga keberagaman agar terwujud baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. "Jangan sampai ada di antara kiita yang merasa lebih dari yang lain, merasa lebih baik dari yang lain, atau bahkan lebih suci dari yang lain. Kita mu mungkin berbeda dari yang lain, tapi bukan berarti kita merasa lebih dari yang lain," kata Presidrn Jokowi dalam Peringatan Nuzulul Quran Tingkat Kenegaraan di Jakarta, Selasa (19/4).

"Saya mengajak umat Islam untuk menjadikan peringatan nuzulul quran ini sebagai momentum untuk memperkuat kebersamaan dalam keragaman yang sangat dibutuhkan dalam mewujudkan negeri dan bangsa yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur," ujarnya lagi.

Sungguh hipokrit pernyataan tersebut, bagaimana mungkin tercipta baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur apabila umat Islam diatur dengan aturan yang jauh dari Islam? Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur berarti negara yang baik dan memiliki Tuhan yang Maha Pengampun. Tentu kebaikan yang ada di negara ini karena ketaatan kepada Allah Subhanahuwa taala, bukan yang lain. Tetapi, bagaimana itu akan terwujud jika negara justru menerapkan aturan yang bertentangan dengan aturan Tuhan, yakni syariat Islam?

Keberagaman dalam Kapitalisme Sekuler Tidak Mampu Mewujudkan Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur

Bagaimana mungkin konsep baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur mampu terwujud dalam keberagaman dalam kapitalisme sekuler? Mendedah makna keberagaman (pluralitas), jelas ini adalah sunnatullah, sebuah hal yang lumrah dan wajar yang pasti ada di setiap masyarakat. 

Sebagaimana dalam terjemah surah Al-Hujurat ayat 13 dikatakan, "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal." 

Sebagaimana yang ada dalam ayat di atas mengindikasikan, keberagaman (pluralitas) adalah sunnatullah. Tetapi, yang menjadi masalah adalah pluralisme. Pluralisme adalah paham yang menganggap semua keberagaman benar dan harus saling menghargai. Sebagai contohnya, menganggap semua agama sama, semua keyakinan benar, semua budaya benar, dan harus saling menghargai dan menghormati. Sejatinya anggapan ini yang memicu polemik dan perpecahan. Karena keragaman yang bertentangan dengan Islam dihargai, dihormati, dan dianggap sebagai wujud menghormati hak asasi manusia (HAM). 

Tetapi, di sisi lain, bentuk-bentuk syariat di dalam Islam justru dituduh intoleran dan radikal. Umat Islam yang berusaha mengimplementasikan ajaran Islam, dituduh intoleran radikal. Nah, ini aneh! Karena mereka memberlakukan standar ganda ketika berujar keberagaman. Terlebih mereka pengasong keberagaman telah bersikap diskriminatif kepada umat Islam.

Oleh karena itu, keberagaman dalam kapitalisme sekuler tidak akan mampu mewujudkan atau bahkan bertolak belakang dengan makna baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Karena makna keberagaman itu sendiri memiliki standar ganda, beragam boleh tetapi tidak untuk keberagaman Islam. Begitu pun dengan kapitalisme sekuler yang diterapkan di negeri ini.

Sadar atau tidak, diakui atau diingkari, negeri ini telah mengikuti arahan global untuk berada dalam sebuah cengkeraman kapitalisme global. Yakni, membuat aturan berdasarkan hawa nafsu mereka sendiri. Bahkan, membuat aturan yang bertentangan dengan Islam. Sebagai contohnya, dalam Islam tidak boleh menyerahkan konsensi pengelolaan sumber daya alam kepada kapitalis (baik kapitalis domestik ataupun asing). Tetapi yang kita temui hari ini, atas nama UU Migas 2003 kapitalis asing bebas menguasai sumber daya alam (SDA), terlebih dengan adanya UU Omnibus Law, mereka semakin bebas dan bisa semaunya dalam menguasai SDA yang ada di negeri ini. 

Dalam Islam, shalat wajib, menutup aurat wajib, dan puasa Ramadhan wajib. Tetapi, atas dasar HAM dan kebebasan, negeri ini justru meminta menghargai beberapa umat Islam yang tidak shalat, tidak menutup aurat, dan tidak puasa tanpa ada uzur syar'i. Masih banyak lagi bukti-bukti yang lain, yang ada dalam sistem kapitalisme sekuler.

Oleh karena itu, keberagaman tidak akan mampu terwujud di sistem kapitalisme sekuler karena kapitalisme selalu diskriminatif kepada Islam. Kapitalisme sekuler senantiasa berlaku diskriminatif kepada suatu paham atau kelompok yang mengancam eksistensinya. Pun dalam mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, kapitalisme sekuler tidak akan pernah bisa mewujudkannya. Justru yang mewujud dalam sistem ini adalah kerusakan multidimensi. Kebobrokan yang ada di setiap sendi-sendi kehidupan. 

Karena kapitalisme sekuler adalah aturan yang tidak sesuai fitrah manusia, tidak memuaskan akal, dan tidak bisa menentramkan jiwa. Kapitalisme sekuler senantiasa menjadikan hawa nafsu sebagai tonggak dan tolok ukur mencapai kebahagiaan. Inilah yang tidak mungkin mampu mewujudkan kebahagiaan dan ketentraman hakiki. Karena dengan diturutinya hawa nafsu, manusia akan memiliki sifat yang tak ubahnya seperti hewan dan berada dalam kehinaan. Maka, sejatinya hanya dengan syariat Islam, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur mampu diwujudkan.

Dampak Negara yang Menerapkan Sistem Kapitalisme Sekuler

Memang ironis, mendambakan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur dalam naungan sistem kapitalisme sekuler. Bagaimana mungkin akan terwujud? Sebagaimana dalam memperingati Nuzulul Qur'an, seharusnya sebagai penguasa negeri Muslim terbesar menyeru untuk kembali kepada Al-Qur'an secara kaffah (keseluruhan). Sehingga tidak mengabaikan isi yang terkandung dalam Al-Qur'an. 

Berbeda jika sebuah negara tetap berada sistem kapitalisme sekuler. Bukan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur yang akan terwujud, melainkan kerusakan di berbagai sendi-sendi kehidupan. Kapitalisme memiliki ide dasar sekularisme, yakni, mengatur kehidupan harus dipisahkan dari agama atau agama tidak boleh mengatur kehidupan. 

Sehingga, sering ditemui, tujuan dari penerapan aturan dalam naungan kapitalisme adalah asas manfaat atau lebih utamanya adalah untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan lagi halal dan haram. Begitulah yang ada dalam sistem kapitalis hari ini. Mau diakui atau diingkari, negeri zamrud khatulistiwa sedang menerapkan sistem kapitalisme sekuler dalam berbagai sendi-sendi kehidupan. Hal itu sejalan dengan arahan Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). Yaitu menegaskan, negeri-negeri Muslim yang menerapkan sistem kapitalisme sekuler telah berada dalam belenggu kapitalisme global. Bahkan sistem inilah yang dijadikan alat penjajahan baru oleh kaum kafir penjajah hari ini.

Kilas balik dampak penerapan sistem kapitalisme sekuler adalah sebagai berikut. Pertama, tidak akan mampu membawa umat kepada kesejahteraan. Justru dalam sistem kapitalisme, yang terjadi adalah ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Yang kaya semakin sedikit, yang miskin semakin banyak. Begitulah gambaran kapitalisme hari ini apabila diterapkan. 

Kedua, merusak tatanan sosial. Dalam kapitalisme sekuler yang menjaga kebebasan dan mengasong HAM telah merusak masyarakat. Bagaimana tidak? Seks bebas marak, L68T marak, perzinaan marak. Sungguh inilah yang menjadi pangkal kerusakan manusia. Pemenuhan ghariza nau' (naluri seksual) yang seharusnya dipenuhi dengan tolok ukur Islam, menjadi bebas tak terbatas. Akibatnya, generasi hancur dan rusak. Lantas jika generasi rusak siapa yang akan meneruskan estafet kepemimpinan negara ini? Ataukah rusaknya generasi itu akan meneruskan estafet kerusakan yang akan terjadi.

Ketiga, suburnya ribawi. Yang menjadi penopang sistem ekonomi kapitalisme adalah sistem keuangan yang berbasis ribawi. Inilah yang berpotensi mengundang azab Allah Subhanahuwa taala. Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasalam pernah bersabda, “Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).

Keempat, kapitalisasi kesehatan yang menyebabkan biaya mahal dan tidak tertanganinya manusia yang sakit. Pola kapitalisme sekuler yang menjadikan keuntungan adalah nilai yang harus dicari di berbagai lini kehidupan, ini membuat pelayanan kesehatan yang seharusnya gratis diselenggarakan oleh pemerintah menjadi dikapitalisasi oleh swasta. Wajar jika swasta memungut upah sesuai kehendak mereka.

Kelima, kapitalisasi pendidikan. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak hidup warga negara sekarang dikapitalisasi. Yang mampu mendapatkan pendidikan yang berkualitas berbanding lurus dengan biaya pendidikan. Semakin tinggi kualitas pendidikan, semakin mahal biasa pendidikan. Inilah yang menyebabkan kerusakan generasi dan terciptanya generasi salah asuhan. 

Keenam, maraknya kriminalitas. Tekanan kehidupan dan susahnya ekonomi membuat manusia berpikir pragmatis dengan menghalalkan segala cara untuk bertahan hidup. Dari situ banyak kriminalitas yang terjadi. Dari pencurian, perampokan, pembegalan, bahkan kriminalitas yang sistemis adalah korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara secara kolektif.

Ketujuh, terjadinya banyak diskriminasi dan kriminalisasi yang menimpa umat Islam. Tanpa disadari kapitalisme sekuler adalah sumber malapetaka dunia Islam. Ketidakadilan hingga kezaliman sering dirasakan oleh umat Islam di mana saja mereka berada. Oleh karena itu, kebebasan, HAM, keberagaman itu memiliki standar ganda yang senantiasa tidak memihak Islam. 

Kedelapan, hukum yang tidak berkeadilan, sehingga hukum tajam kepada umat Islam, dan tumpul kepada penghina Islam. Begitulah yang ada di dalam kapitalisme sekuler, hukum hanya milik mereka yang memiliki kepentingan. Kezaliman muncul di berbagai sendi-sendi kehidupan. Seolah-olah hukum tidak mampu membuat jera dan justru semakin maraknya tindak kejahatan yang ada di negeri ini.

Begitulah dampak buruk diterapkannya sistem kapitalisme sekuler, tidak akan tercipta kesejahteraan, apalagi keberkahan. Sistem ini juga tidak akan mampu mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Oleh karena itu, akan tercipta baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur jika negeri ini mau mencampakkan kapitalisme sekuler dan kembali pada hukum Al-Qur'an secara totalitas.

Strategi Islam dalam Mewujudkan Negara yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur

Untuk mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur Islam memiliki jawabannya. Dikutip dari eramuslim.com, salah satu kisah yang diabadikan dalam Al-Qur’an adalah kisah kerajaan yang dipimpin oleh seorang ratu. Kerajaan ini berada di negeri yang bernama Saba’; sebuah negeri yang berada di Syam. Hingga nama Negeri Saba’ terabadikan secara khusus menjadi nama satu surat dalm Al-Qur’an.

Di dalam surah tersebut dijelaskan bahwa Saba’ mendapat sebutan khusus dari Allah, yaitu baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Istilah ini diambil dari firman Allâh Subhanahu wataala ketika menyebut Negeri Saba’ yang pada waktu itu indah dan subur alamnya, dengan penduduk yang selalu bersyukur atas nikmat yang mereka terima.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

Sungguh bagi Kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Rabb) di kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan:) “Makanlah dari rizeki yang dianugerahkan Tuhan kalian dan bersyukurlah kepadaNya!’. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr”. [Saba’/34:15].

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, ketika menafsirkan ayat ini, ia mengatakan: “Saba’ adalah (sebutan) raja-raja Negeri Yaman dan penduduknya. Termasuk diantara mereka ialah raja-raja Tababi’ah dan Ratu Bilqis -istri Nabi Sulaimân-. Dulu, mereka berada dalam kenikmatan dan kebahagiaan (yang meliputi) negerinya, kehidupannya, kelapangan rizekinya, tanaman-tanamannya, dan buah-buahannya. Allâh mengutus kepada mereka beberapa rasul, yang menyeru mereka agar memakan rizeki yang diberikan-Nya, dan agar bersyukur kepada-Nya dengan mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya. Keadaan mereka (yang baik) itu terus berlangsung hingga (waktu) yang dikehendaki Allâh, lalu mereka berpaling dari apa yang diserukan kepada mereka, sehingga mereka dihukum dengan datangnya banjir bandang dan terpencar-pencarnya mereka di banyak negeri”. [Tafsir Ibnu Katsîr, 6/504].

Jika dimaknai dari sudut pandang bahasanya (makna lughowi), istilah ini terangkai dari dua susunan kalimat yang digabung dengan menggunakan kata sambung (wa). Baldatun thayyibatun, yang berarti negara yang baik.  Sedangkan Rabbun Ghafur, Tuhan Yang Maha Pengampun.  Sedangkan kata sambung wa disini diartikan dengan

Istilah ini dalam bahasa arab termasuk dalam kategori ijaz, yaitu meskipun istilah ini singkat namun maknanya padat, dan dapat mewakili semua kebaikan yang dulunya ada pada Negeri Saba’ tersebut, karena “negeri yang baik” bisa mencakup seluruh kebaikan alamnya, dan “Rabb Yang Maha Pengampun” bisa mencakup seluruh kebaikan perilaku penduduknya sehingga mendatangkan ampunan dari Allâh Subhanahu wataala, Rabb alam semesta.

Dalam tafsir Asy-Syaukâni rahimahullah disebutkan: “Maknanya (baldatun thayyibatun) ialah: ini negeri yang baik, karena banyaknya pohon-pohon, dan bagus buah-buahannya”.

Dalam tafsir At Thabari, ibnu Zaid menambahkan keterangan kebaikan Negeri Saba’: “Di daerah mereka, sama sekali tidak pernah terlihat ada nyamuk, lalat, kutu, kalajengking, dan ular. Apabila seseorang masuk ke dalam dua tamannya, dan meletakkan keranjang di atas kepalanya, maka pada saat keluar, keranjang itu akan penuh dengan beraneka buah-buahan, padahal ia tidak memetiknya dengan tangannya”.
 
Sedangkan rabbun ghafur, At-Thabari rahimahullah mengatakan, “Rabb kalian adalah Rabb Yang Maha Pengampun, jika kalian mentaati-Nya”. [Tafsir Thabari, 19/248]. Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan: “Yakni (Rabb kalian) adalah Rabb Yang Maha Pengampun, jika kalian terus-menerus dalam mentauhidkan-Nya”.

Ibnu Katsîr rahimahullah juga mengatakan: “Para ahli tafsir yang lain mengatakan, dahulu di negeri mereka sama sekali tidak ada lalat, nyamuk, kutu, dan hewan-hewan yang berbisa. Hal itu karena cuaca yang baik, alam yang sehat, dan penjagaan dari Allâh, agar mereka mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya”.

Dari beberapa pendapat ahli tafsir, dapat diartikan bahwa baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur adalah sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya. Secara lebih luas, ialah sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat.

Dari pemaparan di atas sebenarnya dapat ditarik benang merah. Yaitu, untuk mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur adalah dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Syariat Islam tidak akan pernah bisa diterapkan secara sempurna dalam sistem kapitalisme sekuler. Melainkan hanya dengan Khilafah Islamiah, syariat Islam dapat diterapkan secara totalitas.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama. Keberagaman tidak akan mampu terwujud di sistem kapitalisme sekuler karena kapitalisme selalu diskriminatif kepada Islam. Kapitalisme sekuler senantiasa berlaku diskriminatif kepada suatu paham atau kelompok yang mengancam eksistensinya. Pun dalam mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, kapitalisme sekuler tidak akan pernah bisa mewujudkannya. Justru yang mewujud dalam sistem ini adalah kerusakan multidimensi. Kebobrokan yang ada di setiap sendi-sendi kehidupan.

Kedua. Berbeda jika sebuah negara tetap berada sistem kapitalisme sekuler. Bukan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur yang akan terwujud, melainkan kerusakan di berbagai sendi-sendi kehidupan. Kapitalisme memiliki ide dasar sekularisme, yakni, mengatur kehidupan harus dipisahkan dari agama atau agama tidak boleh mengatur kehidupan. Dampak penerapan kapitalisme sekuler adalah tidak terjadi kesejahteraan, merusak tatanan sosial, suburnya ribawi, kapitalisasi kesehatan dan pendidikan, maraknya kriminalitas, terjadinya diskriminasi, kriminalisasi, hingga hukum yang tidak berkeadilan.

Ketiga. Untuk mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur adalah dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Syariat Islam tidak akan pernah bisa diterapkan secara sempurna dalam sistem kapitalisme sekuler. Melainkan hanya dengan Khilafah Islamiah, syariat Islam dapat diterapkan secara totalitas.[]


Oleh: Ika Mawarningtyas (Dosol Uniol 4.0 Diponorogo dan Mutiara Umat Institute) 
Materi Kuliah Online Uniol 4.0 Diponorogo, Rabu, 20 April 2021
Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum. #Lamrad #LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar