Bantahan Argumen Terkait Haram Dirikan Negara seperti Nabi


TintaSiyasi.com -- Ahli Fiqih Islam K.H. Muhammad Shiddiq al-Jawi layangkan bantahan atas pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyatakan haram mendirikan negara seperti Nabi.

"Bantahan terhadap argumen mahfud MD itu terdapat dalam lima poin berikut," tuturnya dalam Ngaji Subuh, Kajian Soal Jawab Fiqih: Khilafah Hukumnya Wajib Bukan Haram, Kamis (7/4/2022) di kanal YouTube Ngaji Subuh TV. 

Pertama, ia mengatakan, memang benar setelah Nabi SAW meninggal dunia, wahyu tidak diturunkan lagi, tetapi tidak berarti kita kehilangan bimbingan wahyu, karena wahyu kini sudah terbukukan dalam Al-Qur`an dan as-sunnah. 

Hal itu ia nyatakan berdasarkan hadis dari Anas bin Malik ra, Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya ke-Rasulan dan kenabian telah terputus, maka tidak ada rasul dan nabi lagi setelah aku.” (HR Tirmidzi, no. 2272).

"Namun apakah setelah Nabi SAW meninggal, wahyu yang telah turun kepada Nabi SAW lalu lenyap tidak berbekas, sehingga umat Islam kehilangan bimbingan wahyu? Jelas tidak. Hal itu karena wahyu sudah terbukukan atau terkodifikasi dalam bentuk Al-Qur`an dan as sunnah," imbuhnya. 

Kiai Shiddiq memjelaskan bahwa Rasulullah SAW sudah berpesan kepada umat Islam terkait apa yang menjadi pedoman umat setelah beliau wafat. Dalam hadis riwayat Al Hakim dan Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda, ”Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kamu, wahai manusia, apa-apa yang jika kamu berpegang teguh dengannya, kamu tak akan pernah tersesat selama-lamanya; yaitu Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya.”

"Maka dengan demikian, gugurlah argumen Mahfud MD yang mengharamkan khilafah dengan argumen setelah Nabi SAW wafat wahyu tidak turun lagi," imbuhnya. 

Kedua, ia menyatakan memang benar banyak hal-hal baru (kontemporer) yang terjadi setelah Nabi SAW meninggal dunia, sementara wahyu tidak diturunkan
lagi, tetapi tak berarti kita tidak bisa memberikan solusi untuk menjawab hal-hal baru itu berdasarkan wahyu Allah. 

"Mengapa demikian? Karena walau wahyu tidak turun lagi melalui Malaikat Jibril as yang turun dari langit, tetapi dengan ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid, dengan merujuk kepada wahyu yang terbukukan, yaitu Al-Qur`an dan as sunnah, hal-hal baru itu dapat dijawab melalui ijtihad para mujtahid tersebut," jelasnya. 

Dia menjelaskan bahwa Rasulullah SAW sendirilah yang mensyariatkan ijtihad untuk menjawab hal-hal baru. 

"Rasulullah SAW kepada Mu’adz bin Jabal ra yang diutus oleh Rasulullah SAW ke Yaman : “Bagaimana kamu memutuskan jika datang kepadamu suatu perkara peradilan?”, Mu'adz menjawab; ”dengan Kitabullah.” Nabi SAW bertanya, "Bagaimana jika kamu tidak mendapatkan di dalam kitabullah?, Mu'adz menjawab, ”Dengan sunnah Rasulullah.” Nabi SAW bertanya,”Bagaimana jika kamu tidak mendapatkan di dalam sunnah Rasulullah ?” Muadz menjawab, ”Aku akan berijtihad dengan pendapatku…” (HR Abu Dawud, no. 3172)," jelasnya. 

Ketiga, ia menegaskan pendapat bahwa khilafah itu haram hukumnya, justru bertentangan dengan perintah Rasulullah SAW untuk mengikuti bentuk pemerintahan yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para Khulafaur Rasyidin, yaitu khilafah. 

"Rasulullah SAW bersabda :”…Sesungguhnya barang siapa yang hidup di antara kamu dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku, dan
juga sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi gerahammu…” (HR Abu Dawud no. 4607; Tirmidzi no. 2676; Ibnu Majah no. 42; Ahmad no. 17184; Al Hakim 1/176, hadis sahih)," jelas Kiai Shiddiq. 

Ia menerangkan bahwa Syekh Abdullah Ad Dumaiji menjelaskan hadis tersebut dengan berkata: “Hadis ini menunjukkan wajibnya meneladani sunnah (thariqah/jalan) Khulafaur Rasyidin. Diantara sunnah mereka, adalah mengangkat seorang khalifah, sebagaimana diriwayatkan secara mutawatir bahwa para sahabat telah membaiat Abu Bakar sebagai khalifah setelah wafatnya Rasulullah SAW".

"Maka, hadis ini menunjukkan wajibnya mengangkat seorang khalifah bagi kaum Muslim. (Abdullah Ad Dumaiji, Al Imâmah Al ‘Uzhmâ, hlm. 51-52)," uajrnya. 

Keempat, ia menjelaskan, andaikata benar haram hukumnya khilafah dengan dalih wahyu sudah tidak turun lagi, niscaya yang pertama kali melakukan perbuatan haram itu justru para shahabat Nabi Muhammad SAW. 

"Hal itu dikarenakan para sahabatlah yang mengangkat Abu Bakar Shiddiq, sebagai khalifah dalam negara khilafah yang meneruskan negara Islam yang telah dirintis dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW," terangnya. 

Dengan demikian, Kiai Shiddiq menegaskan orang yang mengatakan khilafah hukumnya haram, secara tidak langsung telah menuduh para sahabat Nabi Muhammad SAW melakukan dosa dan keharaman. 

"Jelas pendapat yang menyatakan bahwa khilafah hukumnya haram, akan berkonsekuensi sangat serius, karena berarti telah menuduh khalifah yang empat itu sebagai manusia-manusia fasik pelaku dosa dan keharaman," tegasnya. 

"Subhanallah, hadza buhtanun ‘azhiem. Kami tidak mengatakan Mahfud MD
telah memfasikkan para khalifah itu. Tetapi pendapat Mahfud MD yang mengharamkan khilafah, dapat berkonsekuensi serius akan membuka peluang adanya tuduhan bahwa khalifah-khalifah yang sudah dijamin surga oleh Nabi SAW itu," tuturnya. 

Ia menyeru umat Islam untuk mengingat sabda Rassulullah SAW yang mengharamkan caci maki atau celaan kepada para shahabat beliau yang mulia dan terhormat: ”Janganlah kamu mencaci maki para shahabatku, janganlah kamu mencaci maki para shahabatku, karena demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, andaikata salah seorang dari kamu menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud, maka pahalanya tidak akan sampai setara dengan pahala satu mud, atau bahkan setengah mud, dari [infak] salah satu dari mereka.” (HR Muslim, nomor 2540).

Kelima, pendapat yang mengharamkan khilafah, sangat bertentangan dengan pendapat para ulama yang terpercaya di kalangan umat Islam, yang justru mewajibkan khilafah. 

Dia menjelaskan, para imam yang empat dalam lingkup Sunni, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, telah mewajibkan Khilafah (Imamah). Bahkan kelompok (firqah) di luar Sunni, seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, dan Murji`ah, semuanya mengatakan bahwa khilafah itu wajib hukumnya. 

"Yang berpendapat selain itu, misalnya yang mengatakan khilafah tidak wajib,
pendapatnya dianggap syadz (menyimpang, nyeleneh), yang sesat dan menyesatkan," tegasnya. 

Kia Shiddiq mengungkapkan, Syekh Abdurrahman Al Jaziri menjelaskan, pendapat imam mazhab yang empat seputar Imamah (khilafah): ”Telah sepakat para imam bahwa imamah (khilafah) adalah fardhu; dan bahwa kaum Muslim harus mempunyai seorang imam yang menegakkan syiar-syiar agama dan melindungi orang-orang yang dizalimi dari orang-orang zalim; dan bahwa tak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam, baik keduanya sepakat maupun bertentangan.” (Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, Juz V hlm. 416). 

"Imam Al Qurthubi menjelaskan, pendapat yang menolak wajibnya khilafah, merupakan pendapat orang yang tuli (bodoh) dari syariat Islam," tegasnya. 

Imam Al Qurthubi (w. 671 H) berkata, ”Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya hal itu (mengangkat khalifah) di antara umat dan para imam [mazhab], kecuali apa yang diriwayatkan dari Al Asham, yang dia itu memang ‘asham’ (tuli) dari syariat. Demikian pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta mengikutinya dalam pendapat dan mazhabnya" (Imam Qurthubi, Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, Juz 1 hlm. 264)," pungkasnya.[] Rasman

Posting Komentar

0 Komentar