Ade Armando Dikeroyok hingga Bonyok: Peradilan Jalanan Akibat Penegakan Hukum Tak Berkeadilan


TintaSiyasi.com -- Tragis! Datang tak diundang, pulang celana hilang. Hadir pada aksi demonstrasi mahasiswa 11 April 2022 di depan Gedung DPR/MPR-RI Jakarta, malah dianiaya hingga ‘bonyok’ dan nyaris telanjang di tengah massa aksi. Inilah nasib Ade Armando (AA). Berbagai spekulasi mengiringi. Karena selama ini AA dikenal tak hanya sebagai dosen, tapi juga influencer istana yang kerap melontarkan pernyataan yang diduga menistakan agama Islam. Sayangnya, hingga kini tak satu pun kasus penistaan itu mengantarnya ke meja pemeriksaan. AA seolah kebal hukum.

Kasus AA ini memantik polemik hingga isu drama penganiayaan terhadapnya sebagai upaya membubarkan aksi dan mengalihkan perhatian publik dari tuntutan mahasiswa pada kasus AA. Terlepas dari berbagai dugaan, satu hal menarik untuk dibahas adalah pengeroyokan atas AA yang dalam dunia hukum disebut eigenrichting (main hakim sendiri) atau peradilan jalanan. Beberapa pihak mendesak agar pelaku penganiayaan segera dicari dan diadili. 

Menurut hukum formal, main hakim sendiri tentu tidak dibenarkan. Mengingat perbuatan ini memenuhi unsur tindak pidana penganiayaan bahkan pembunuhan. Namun tak ada asap jika tak ada api. Penting juga untuk memperhatikan faktor trigger penganiayaan terhadap AA. Terkaitnya pasti terjadi polarisasi sikap masyarakat. 

Di satu sisi, pihak buzzer kekuasaan pasti menentang tindak anarkis tersebut. Di sisi lain, pihak oposisi justru mendukung dan terkesan merasa puas, seolah perasaannya telah diwakili oleh para pelaku eigenrichting. Bahkan banyak yang setuju jika diterapkan terhadap buzzer yang diduga juga menistakan agama seperti Deny Siregar dan Abu Janda yang terkesan menjadi untouchable man.  

Peristiwa AA sejatinya memberikan pelajaran bahwa orang bisa sesumbar kebal hukum, tapi ia tidak akan kebal takdir, ditawur rakyatnya sendiri. Boleh orang merasa tak tersentuh hukum penguasa, tapi dia tidak kebal hukumnya massa. Jika tidak berhati-hati dan berbenah diri dalam penegakan hukum berkeadilan, maka peradilan jalanan (street justice) sangat mungkin digelar di mana-mana. 

Penyebab Rakyat Memilih Peradilan Jalanan daripada Peradilan Legal

Meski kita mengutuk perbuatan Ade Armando dan kawan-kawannya yang diduga melakukan penistaan terhadap agama, namun Islam tidak mengajarkan untuk eigenrichting atau peradilan jalanan. Eigenrechting dalam bahasa Indonesia umumnya disamakan dengan persekusi, dalam KBBI diartikan sebagai “pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas”. Hal terpenting dari definisi ini adalah perbuatan pemburuan tersebut dilakukan tanpa dilandasi kewenangan hukum yang ada, dan lebih mengutamakan emosi belaka. 

Eigenrichting bukan merupakan jenis tindak pidana yang diatur secara tegas dalam KUHP atau UU di luar KUHP. Umumnya, eigenrichting dapat masuk ke dalam beberapa jenis tindak pidana yang berujung pada tindakan kurang menyenangkan, pengancaman, penganiayaan, hingga penculikan yang diatur dalam buku II tentang Kejahatan di KUHP. 

Bicara mengenai tindakan main hakim sendiri, yang terbayang di alam imajinasi kita adalah seseorang atau sekelompok orang yang "menghakimi" orang lain tanpa memperhatikan due process of law. Penghormatan terhadap due process of law harus dilakukan ketika menghadapi permasalahan hukum. Ini merupakan penghargaan atas moral ethic and religion yang melekat pada diri manusia dan masyarakat. 

Lalu mengapa manusia yang sadar itu bisa melakukan eigenrichting? Menurut Fritjop Capra, ketidakmampuan melihat kehidupan manusia dengan pandangan utuh menyebabkan terjadi krisis dalam dimensi intelektual, moral, dan spiritualitas manusia. Orang tidak lagi bisa memusatkan perhatian pada satu objek yang dipisahkan dari lingkungannya, melainkan membiarkan objek tersebut bersatu dengan lingkungannya. 

Akhirnya, masyarakat tidak bisa memisahkan antara akumulasi kekesalan yang terjadi sebelumnya dengan peristiwa hukum yang ada di depan matanya. Akumulasi kekesalan masyarakat ini timbul karena ketidakharmonisan penegakan hukum dan ketidakadilan sosial lainnya. 

Bahkan sudah menjadi rahasia umum ada beberapa oknum yang memanfaatkan proses rekrutmen lembaga negara untuk menjadi penegak hukum dengan meminta sejumlah imbalan.

Kekesalan-kekesalan inilah yang membawa masyarakat tidak lagi mempercayai due process of law. Dengan kata lain, distrust masyarakat terhadap pranata hukum serta inkonsistensi APH menjadi trigger dalam peristiwa belakangan ini. 

Realitasnya, eigenrichting tak hanya dilakukan oleh masyarakat seperti penganiayaan, kekerasan, pembunuhan, arakan bugil, dan lain-lain), namun juga dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum (APH) berupa penganiayaan, kekerasan, pembubaran ormas sepihak, extrajudicial killing KM 50.

Setidaknya ada empat faktor penyebab eighenrichting. Sebagian besarnya disebabkan oleh: 

Pertama, pengalaman masa lalu pelaku, terkait dengan tindak pidana yang dialaminya namun tidak ada penyelesaian secara adil dan tuntas oleh Pemerintah (APH).

Kedua, APH sering berbuat diskriminatif dalam penegakan hukum sehingga masyarakat merasa tidak percaya lagi (distrust).

Ketiga, situasi dan kondisi in situ, yaitu ketika peristiwa terjadi. Misalnya ada provokasi dalam kerumunan massa aksi, demo, dan lain-lain, sehingga tanpa kendali. Ini sudah masuk dalam hal psikologi massa. 

Keempat, kurangnya kontrol APH, petugas, dan penanggung jawab keamanan setempat. Jadi boleh diduga ada semacam pembiaran oleh aparat atau setidaknya terjadi keteledoran APH.

Untuk kasus AA ini keempat faktor di atas telah terpenuhi sebagai trigger eigenrichting. Yang paling kuat adalah diskriminasi dalam penegakan hukum. Seperti diketahui AA (yang dinilai sebagai influencer istana) ini sebenarnya telah ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama (Pasal 156 a KUHP) sejak 2017 dengan kasus yang bermula sejak 2015. Namun, seolah dia untouchsble man oleh hukum. Berbeda dengan para aktivis, ulama, dan lain-lain yang berada di seberang kekuasaan di mana APH gercep alias gerak cepat untuk memproses hingga memenjarakannya. 

Tindakan main hakim sendiri berpotensi dilakukan di mana pun. Tindakan ini didominasi adanya rasa tidak atau lambat terpenuhi atas tuntutan dan kebutuhan pencari keadilan. Ketika akses untuk mendapatkan keadilan (access to justice) menemui kebuntuan hingga memunculkan rasa ketidakpuasan, di situlah akan subur bibit eigenrichting. 

Dampak Eigenrichting terhadap Kualitas Penegakan Hukum Bercermin pada Kasus Ade Armando

Dari kasus pengeroyokan AA, tak bisa dinafikan adanya aroma distrust publik kepada pemerintah (APH) karena dipandang tak mampu memberikan jaminan keadilan. Masyarakat yang kecewa dan muak dengan tidak diperkarakannya para penista agama seolah tinggal menunggu kesempatan untuk melampiaskannya dengan memberikan hukuman ala mereka sendiri. 

Dari kasus ini, kita bisa melihat beberapa dampak negatif eigenrichting terhadap publik khususnya pada kualitas penegakan hukum di negeri ini.

1. Memicu konflik horizontal akibat polarisasi kelompok masyarakat. 

Dari kasus AA, ada pihak yang pro terhadap tindakan penganiayaan AA terutama dari kalangan seberang kekuasaan yang selama ini memendam ‘kegemasan’ tersendiri sehingga aksi tersebut dirasa mewakili perasaan mereka. Adapun yang kontra, mengecam tindakan tersebut dan meminta segera untuk mencari dan mengadili si pelaku. Jika polarisasi menajam, tak menutup kemungkinan akan melahirkan konflik, minimal saling nyiyir di media sosial.

2. Masyarakat kian beringas dalam meluapkan amarah.

Jika eigenrichting dibiarkan terus terjadi, akan menyebabkan semakin beringasnya masyarakat dalam meluapkan amarahnya. Di sisi lain, hal ini akan menghilangkan hak asasi korban sebagai manusia yang berhak hidup dengan aman dan nyaman. Ini juga akan membuat kekerasan menjadi hal wajar. Selanjutnya, orang mudah melakukan kekerasan, pun kejahatan memungkinkan bertambah.  

3. Meningkatkan distrust publik pada pemerintah (APH).

Kasus AA dan yang sejenis menjadi ‘bukti’ kegagalan pemerintah (APH) memberikan jaminan keadilan pada rakyat. Bila kasus tersebut terus berulang, masyarakat akan menyimpulkan bahwa keadilan ala hukum formal kian sulit diraih berikut penerap hukumnya kian tak bisa dipercaya.

4. Memunculkan civil disobedience (pembangkangan sosial).

Distrust yang terus ‘ndlosor’ akan memunculkan sikap pembangkangan terhadap pemerintah dan APH. Bahkan meski mereka telah berupaya bertindak sesuai hukum pun belum tentu langsung dipercayai publik.

5. Memberikan contoh buruk bagi generasi muda dan anak-anak.
 
Adegan kekerasan yang disaksikan oleh remaja atau anak-anak, dikhawatirkan akan dicontoh mereka. Terlebih jika pelaku adalah orang terdekat mereka seperti orang tua. Jika anak tak diberikan pengertian, hal ini mungkin akan membekas dan otomatis ia lakukan saat membutuhkan pelampiasan kekesalan pada seseorang.

Demikian beberapa dampak negatif eigenrichting terhadap publik khususnya pada kualitas penegakan hukum di negeri ini. Dengan melihat dampaknya, hendaknya masyarakat bisa menahan diri dari bertindak main hakim sendiri. Bagi pemerintah (APH), menjadi evaluasi sejauh mana telah menegakkan hukum yang memberikan keadilan bagi rakyat.

Strategi Penegakan Hukum Berkeadilan Tanpa Eigenrichting

Van Wifferen (2003) and Kelk (2005) reuse the old Dutch term eigenrechting to define it as an action where citizens, trying to enforce rights or reacting to crimes, transgress legal limits. Both authors emphasize that limits are overstepped: eigenrechting rebels against the state’s central authority and is illegal. De Waard (1984) and De Roos (2000) also refer to this aspect, though accenting another idea: to them, eigenrechting actually embodies a clash between different normative visions -that of the state and that of a citizen. For De Roos (2000:307), it is ‘the violation of enforceable criminal norms as a consequence of citizen’s own value perceptions, appraisals or interests’. 

Setidaknya ada dua hal yang dapat ditarik dari pendapat para ahli hukum di atas, yakni pertama, eigenrechting adalah reaksi atas kejahatan yang dilakukan masyarakat yang melampaui batasan-batasan hukum yang diperkenankan, dan hal itu adalah perbuatan illegal. Kedua, terdapat perbenturan pemahaman, penilaian, atau ketertarikan yang dimiliki suatu negara dengan masyarakat itu sendiri. 

Oleh karena itu, penegakan hukum yang berkeadilan membutuhkan sinergi dari berbagai elemen, yaitu:

1. Individu warga negara. 

Sumber daya manusia (SDM) adalah pembentuk dan pelaksana hukum yang utama. Dari sini muncul APH berkarakter mulia dan masyarakat yang berakhlaq baik. SDM ini mesti terbina pola pikir dan pola sikapnya. Dan sebaik-baik pondasi kemuliaan karakter adalah dengan penanaman iman dan takwa kepada Allah SWT, berikut dorongan untuk menaati hukum-hukum-Nya.

2. Keluarga.

Merupakan institusi terkecil dalam masyarakat namun berkontribusi besar dalam meletakkan pondasi pendidikan karakter. Dari tempaan keluargalah terlahir sosok manusia yang siap mengemban amanah kehidupan, menjadi pribadi berkarakter adil dan jujur serta siap menegakkan kebenaran.

3. Masyarakat.

Berfungsi memberikan kontrol/pengawasan terhadap anggota masyarakat lain. Diharapkan muncul rasa peduli dan peka terhadap kejadian sekitar dan berkontribusi dalam pelaksanaan dan atau pencarian solusinya. 

Dalam konteks penegakan hukum, negara dan masyarakat tak bisa dipisahkan. Meski telah terdapat berbagai institusi penegak hukum untuk menangani perkara tindak pidana, namun masyarakat juga dituntut membantu penegakan hukum, misalnya menjalankan siskamling di sekitar rumah. Di Indonesia, secara konstitusional, setiap warga negara berhak dan wajib dalam pertahanan dan keamanan negara, serta rakyat merupakan kekuatan pendukung. 

4. Negara (APH).

APH sebagai aparat yang berwenang menegakkan supremasi hukum juga harus berperan mencegah tindak pidana main hakim sendiri. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan yaitu:

a. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya hukum untuk dipatuhi;

b. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa kekerasan bukan cara terbaik menegakkan hukum, karena kekerasan juga merupakan tindak pidana dan seseorang yang melakukan perbuatan main hakim sendiri dapat dipidana;

c. Menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap APH untuk menjalankan tugas dan fungsinya;

d. Melakukan pendekatan kepada masyarakat bahwa APH dapat diajak bekerjasama untuk menindak tindakan yang dianggap meresahkan.

Adapun secara mendasar, negara mesti menerapkan sistem hukum yang berkeadilan. Sebagaimana konsep hukum yang diajarkan dalam Islam, ajaran hidup yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini. Islam jelas mensyariatkan agar penegakan hukum dilakukan secara adil, yaitu:

a. Tidak boleh dipengaruhi oleh rasa suka atau tak suka, kawan atau lawan, dekat atau jauh.

Allah SWT berfirman, “Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat pada ketakwaan.” (QS. Al Maidah: 8)

b. Tidak boleh dipengaruhi oleh rasa kasihan sehingga menyebabkan tidak menjalankan hukum terhadap pelaku kriminal. 

Allah SWT berfirman, “Janganlah rasa kasihan kepada keduanya (pelaku zina) mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah.” (QS. An Nuur: 2)

c. Hukum berlaku untuk semua. 

Tidak boleh ada privelese dalam penerapan hukum sehingga seolah ada individu atau kelompok orang yang tak tersentuh hukum, sebagaimana yang nampak dari sosok penista agama yang kebal hukum seperti Ade Armando dan kawan-kawannya itu. 

Rasulullah SAW bersabda, “Tegakkanlah hukum Allah atas orang dekat atau pun yang jauh. Janganlah celaan orang yang suka mencela menghalangi kalian untuk menegakkan hukum Allah.” (HR. Ibnu Majah, Al Hakim, dan Al Baihaqi)

Hadis ini memerintahkan agar menegakkan hukum tanpa diskriminasi/tebang pilih. Frasa “orang dekat atau orang jauh” maknanya bisa dari sisi nasab dan kekerabatan, yang kuat dan yang lemah, atau yang bangsawan/pejabat dan rakyat biasa. Bisa juga kedekatan dari sisi dekat dengan kekuasaan dan penguasa, atau orang-orang dalam lingkaran kekuasaan, pendukung rezim, seperti para influencer dan buzzer istana. 

Selain itu, hadis ini juga mengingatkan jangan sampai komentar-komentar orang memengaruhi penegakan hukum. Artinya, yang harus diperhatikan adalah penegakan hukum dan keadilan itu sendiri, yakni yang bersumber dari Allah SWT sebagai sebuah kewajiban. 

Rasul SAW pun memperingatkan bahwa penegakan hukum secara diskriminatif akan menyebabkan kehancuran masyarakat.

“Sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah bahwa mereka itu, jika orang mulia di antara mereka mencuri mereka biarkan, dan jika orang lemah mencuri mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, andai Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.” (HR. Bukhari-Muslim, Abu Dawud, An Nasai, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Hadis di atas menegaskan asas persamaan di muka hukum. Tidak seorang pun punya hak istimewa dan kebal hukum. Rasul SAW memperingatkan bahwa penyimpangan terhadap pelaksanaan asas ini menjadi penyebab kemunduran, kerusakan, bahkan kebinasaan masyarakat. 

Seperti saat ini ketika para penista agama kebal hukum negara, justru memicu pada terjadinya hukum massa. Tersebab masyarakat sudah tak percaya dan muak dengan penerapan hukum yang tak membawa keadilan.

Dengan demikian, jika menginginkan sistem hukum berkeadilan secara hakiki, ini akan sulit diraih dalam sistem hukum berasas sekularisme kapitalistik seperti saat ini. Maka kembalikan pembentukan dan pengaturannya berdasar hukumnya Sang Pembuat Hukum yaitu Allah SWT. Tak ada hukum seadil hukumnya Allah SWT Sang Mahaadil. Tidakkah kita ingin mewujudkannya?[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar